"Kenapa kau menciumku?" pekik Liora panik, apalagi ini adalah ciuman pertamanya.
"Kau yang menggodaku duluan!" balas Daichi menyeringai sembari menunjukkan foto Liora yang seksi dan pesan-pesan menggatal.
Liora mengumpat dalam hati, awalnya dia diminta oleh sahabatnya untuk menggoda calon pacarnya. Tapi siapa sangka Elvara malah salah memberikan nomor kakaknya sendiri. Yang selama ini katanya kalem dan pemalu tapi ternyata adalah cowok brengsek dan psikopat.
Hingga suatu saat tanpa sengaja Liora memergoki Daichi membunuh orang, diapun terjerat oleh lelaki tersebut yang ternyata adalah seorang Mafia.
Visual cek di Instagram Masatha2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Masatha., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Liora benar-benar takut. Ia tidak mau menjadi santapan lelaki yang hanya mempermainkan perasaan. Dengan refleks, ia mengangkat lutut, mencoba menendang. Namun Daichi sigap, gerakan itu terbaca jelas. Satu langkah ke samping membuatnya lolos dari serangan.
Kesempatan tipis muncul. Liora berlari menuju pintu, tangannya meraih gagang dengan panik. Tetapi sebelum sempat membukanya, suara berat terdengar di belakangnya—diikuti benturan keras. Telapak tangan Daichi menahan pintu, tubuhnya menutup ruang hingga Liora terjepit di antara dinginnya daun pintu dan panas tubuh lelaki itu.
“Kau yakin mau keluar dengan gaun basah begini?” suara Daichi merendah, namun tajam seperti bilah. “Mau pamer lekuk tubuhmu pada semua orang?”
Liora tercekat. Benar—kain tipis itu menempel erat di kulit, setiap garis tubuhnya terlihat jelas. Nafasnya terengah, putus asa. Ia tahu tidak ada jalan lain. Untuk pertama kalinya, gengsi seorang Liora runtuh.
Dengan gemetar ia jongkok, lalu pecah dalam tangisan keras. Suara itu jujur, rapuh, dan sama sekali bukan tipuan.
"Huaaa... Hiks... Hiks... "
Daichi terdiam. Ada keterkejutan sekaligus sesuatu yang aneh merayap di dadanya. Gadis itu… lucu dalam kepasrahannya. Tangisnya mengingatkan Daichi pada Elvara kecil—dulu, ketika ia menangis keras hanya karena sebatang permen direbut.
Senyum samar muncul di wajah Daichi. Ia menunduk, meraih handuk di rak, lalu melemparkannya ke arah Liora. “Sudah,” ucapnya pelan, tapi tetap dingin. “Aku tak akan menghukummu lagi. Ganti pakaian. Jangan sampai masuk angin.”
Liora mendongak, air mata masih membasahi pipi. Sorot matanya penuh amarah, tapi tubuhnya gemetar. Daichi menatap balik dengan campuran gemas dan puas—seakan baru saja menaklukkan binatang liar yang sulit dijinakkan.
"Kenapa dia lucu sekali," batin Daichi.
Sementara Liora bergegas ke ruang ganti, melepaskan gaun basahnya dan memakai piyama hangat. Dia masih takut ingin keluar dari ruang ganti.
Tubuhnya gemetar, jika tadi dia tidak menangis sudah pasti habis. Aku tidak boleh tinggal dengannya. Besok aku harus mencari alasan untuk pulang ke rumah papa. Lebih baik berurusan dengan Nayshila dari pada bajing4n ini.
Setelah menenangkan diri, Liora kembali ke kamar. Matanya membelalak—Daichi sudah duduk di tepi ranjang, sebuah nampan kecil di tangannya. Uap tipis dari gelas jahe hangat mengepul, aromanya menenangkan tapi justru membuat dada Liora semakin sesak.
Senyum Daichi begitu manis, nyaris seperti lelaki kekasih sejati. “Minumlah, agar tidak masuk angin,” ucapnya lembut, seolah-olah beberapa menit lalu tidak ada pertengkaran yang membuat Liora menangis.
Liora menerima dengan ragu. Ia menyesap sedikit, sementara di dalam hati mendengus—kalau bukan karena dia, aku tidak akan basah kuyup seperti ini.
Selesai minum, Daichi menepuk ranjang, memintanya berbaring. Liora tak berani menolak. Begitu tubuhnya jatuh di atas kasur, lengan Daichi segera melingkari pinggangnya. Hangat, namun bukan kehangatan yang menenangkan—lebih mirip jerat halus yang membuatnya sulit bernapas.
Sepanjang malam, Liora hanya bisa memejamkan mata. Tubuhnya kaku dalam dekapan yang bagai belenggu, sementara dalam hati ia bersumpah: Besok… aku harus pergi dari sini.
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis. Begitu membuka mata, Liora mendapati sisi ranjang kosong. Napasnya lega sejenak, sebelum matanya menangkap sosok Daichi yang berdiri di ruang makan, menata makanan hangat di atas meja.
“Cepat mandi, lalu sarapan,” katanya datar tanpa menoleh. “Aku tidak bisa menemanimu pagi ini. Harus mengantar adik temanku ke suatu tempat.”
Kalau kemarin Liora masih bisa terbakar cemburu, kali ini ia justru tersenyum riang. Senyum yang dipaksakan, tapi cukup rapi untuk menipu orang lain.
Namun tidak Daichi. Lelaki itu menoleh, alisnya terangkat. “Kau tidak cemburu?” tanyanya heran.
Liora menegakkan bahu. “Tidak. Kita kan hanya pacaran sebulan,” jawabnya tegas, sebelum melangkah ke kamar mandi.
Air mulai mengalir, uap tipis memenuhi ruangan. Liora mencoba menenangkan diri, tapi mendadak pintu kamar mandi terbuka. Daichi masuk tanpa izin, langkahnya berat, tatapannya dingin menusuk.
Ia mendekat, membiarkan jarak di antara mereka semakin sempit. “Ingat baik-baik,” bisiknya pelan namun tegas. “Selama masih jadi kekasihku, kau tidak boleh dekat dengan lelaki lain. Sekali saja kulihat, aku yang akan menghukummu.”
Liora terdiam, keringat dingin bercampur dengan uap hangat. Dengan patuh ia mengangguk, meski hatinya berteriak ingin melawan. Aku harus bersabar, jika aku memberontak dia bisa menggila. Aku tidak boleh dirugikan lagi.
*
Usai sarapan, Liora merasa tubuhnya benar-benar lemas. Alih-alih berangkat ke kampus, ia memutuskan pulang ke rumah papanya.
Beruntung, setibanya di sana, papanya belum berangkat ke kantor. Begitu melihat Liora, lelaki paruh baya itu langsung membuka kedua lengannya. “Sayang, kau kelihatan pucat sekali,” ucapnya penuh khawatir.
"Aku tidak enak badan, Pa."
"Kalau gitu istirahatlah, nanti papa panggilkan dokter."
"Iya, Pa."
"Kami sudah sarapan?"
"Sudah."
Tanpa ragu, Liora berlari dan memeluknya erat. Dadanya yang sesak semalaman terasa longgar, seolah semua beban bisa larut hanya dalam pelukan itu. Berbeda sekali dengan Nayshila yang berdiri di belakang, menatap mereka dengan wajah cemberut, bibirnya terkatup rapat menahan kesal.
“Papa… bolehkah aku tidur di rumah ini?” bisik Liora dengan suara lemah.
Papanya tersenyum lembut, menepuk punggungnya. “Selamanya rumah ini milikmu. Kau boleh tinggal kapan pun kau mau.”
Kalimat itu membuat dada Liora hangat, namun di sisi lain wajah Nayshila makin masam. Gadis itu memalingkan wajah, matanya berkilat, seolah tidak rela tempat ini kembali direbut oleh Liora.
"Ya sudah, kalau gitu Papa selamat bekerja. Aku akan ke kamar aku dulu," pamit Liora.
Diapun berjalan tanpa menyapa Nayshila, papanya tidak mempermasalahkan karena Liora mau pulang saja sudah merupakan keberuntungan.
Saat memasuki ke kamar miliknya di lantai tiga, Liora merasa terharu. Kamar itu masih sama seperti tiga tahun lalu, sebelum badai itu merusak keluarga cemaranya.
Hingga tiba-tiba penyebab bada itu muncul dari pintu.
"Tumben pulang, ada apa?" tanya Nayshila.
Liora tertawa, tertawa mengejek.
"Kenapa tertawa?" tanya Nayshila heran.
"Nggak papa, hanya saja melihat kamu aku ingin tertawa. Cuma numpang tapi berlagak seperti pemilik rumah," cibir Liora.
"Jangan keterlaluan, aku istri papamu!" tegas Nayshila.
"Kira-kira, jika aku mengajak teman-teman aku menginap kemari apakah Papa akan tergoda lagi ya?" sarkas Liora.
"Apa maksud kamu?"
"Ya itu maksud aku, jika nanti Papa menikah lagi apakah kamu masih bisa bersikap sok di depan aku? Jangan lupa, istri seperti pakaian yang bisa digonta-ganti. Tapi tidak dengan hubungan ayah dan anak!" ancam Liora.
"Tapi aku sudah mengandung anak papamu," balas Nayshila tak takut.
"Oh iya? Apakah kamu yakin anakmu itu bisa lahir dengan selamat?" cibir Liora menyeringai.
semoga sehat selalu
gemes deh bacanya