Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Rianti bekerja di perusahaan milik Bramantya, mantan suami adiknya. Menjelang pernikahannya dengan Prabu, ia mengalami tragedi ketika Bramantya yang mabuk dan memperkosanya. Saat Rianti terluka dan hendak melanjutkan hidup, ia justru dikhianati Prabu yang menikah dengan mantan kekasihnya. Di tengah kehancuran itu, Bramantya muncul dan menikahi Rianti, membuat sang adik marah besar. Pernikahan penuh luka dan rahasia pun tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Sore itu, suasana di rumah kecil tempat persembunyian Prabu terasa hening.
Lampu redup menyala, dan tirai ditutup rapat. Prabu duduk di kursi, wajahnya penuh gelisah, sementara Linda mondar-mandir dengan wajah kesal.
Tiba-tiba ponsel di meja bergetar dan nama Tryas muncul di layar.
Prabu buru-buru mengangkatnya.
“Tryas? Kamu di mana? Kamu nggak apa-apa?”
“Aku baik, Mas. Dan aku punya kabar.”
Prabu mengerutkan dahinya saat mendengar perkataan dari istrinya.
"Kabar apa?”
“Bramantya, dia sudah mencabut laporannya. Tapi…”
Prabu langsung berdiri, nadanya setengah berteriak.
"Apa?! Serius?! Dia cabut?!”
"Iya, tapi hanya untuk kamu.”
Prabu menghela nafas panjang dan bersyukur karena Bramantya mencabut laporannya.
“Cuma aku?” tanya Prabu.
“Iya. Laporannya untuk Linda tetap berjalan.”
Linda yang mendengar itu langsung memutar tubuhnya.
“APA?! Itu nggak adil! Aku cuma bantu kamu, Prabu! Kenapa cuma aku yang dikorbanin?!”
Tryas terdengar menarik napas dalam di seberang telepon.
“Linda, kamu bukan ‘bantu’. Kamu yang biusin Rianti dan nyuruh orang bawa dia pergi. Kamu sadar nggak hampir aja Kak Rianti kehilangan nyawanya waktu itu?”
Linda menggigit bibirnya keras, matanya berkaca-kaca tapi penuh kebencian.
“Dia yang ngambil segalanya dariku! Bram, cinta, perhatian Mama—semuanya! Aku cuma mau dia ngerasain sedikit dari apa yang aku rasain!”
“Kamu salah jalan, Linda. Dan sekarang kamu harus tanggung jawab.”
Prabu terduduk lemas di kursi, memegangi kepalanya.
“Tryas, kamu bilang Bram cabut laporan untuk aku. Kenapa? Padahal aku juga salah.”
"Karena saat ini aku hamil anakmu, Prabu.”
Prabu terdiam. Matanya membesar, menatap kosong ke arah lantai.
“Kamu hamil?”
“Iya. Dan aku nggak mau anak ini tumbuh dengan bayang-bayang kebencian. Makanya Bram mau kasih kamu kesempatan. Tapi itu tergantung kamu.”
Prabu menatap Linda yang masih berdiri di dekat jendela.
Wajah Linda terlihat tegang, hampir marah sekaligus takut.
“Tryas, aku janji. Aku akan tanggung jawab. Aku bakal pulang. Tapi Linda…”
“Linda harus hadapi hukumannya, Prabu. Itu satu-satunya cara buat dia belajar.”
Linda menatap Prabu tak percaya dengan apa yang terjadi.
“Kamu juga akan biarin aku ditangkap? Kamu mau tinggalin aku sendirian?”
Prabu menatapnya dengan mata sayu.
"Linda* aku udah bikin kesalahan besar. Kita nggak bisa terus sembunyi. Aku harus tebus semuanya. Dan kamu juga.”
“Kamu pengecut.” ucap Linda dengan wajah kecewa.
“Mungkin. Tapi aku capek jadi orang jahat.”
Linda menatapnya beberapa detik, lalu berlari keluar rumah sambil menangis.
Tryas di seberang telepon hanya bisa mendengar suara pintu dibanting keras.
“Dia pergi?” tanya Tryas.
“Iya. Aku nggak tahu ke mana.”
“Aku akan kabari Bram. Biar dia bisa bantu cari Linda sebelum dia melakukan hal yang lebih gila.”
Prabu menatap jendela, langit mulai gelap, hujan rintik turun.
Ia menutup matanya dan berbisik lirih, seolah menyesali segalanya.
"Maafkan aku, Rianti. Semoga kali ini aku bisa benar-benar berubah.”
Malam itu suasana rumah Bramantya begitu hangat namun penuh aroma khas mie instan pedas yang mengepul dari dapur.
Rianti duduk di kursi dapur dengan rambut dikuncir asal, wajahnya bersinar bahagia sambil memegang sumpit.
Bramantya berdiri di ambang pintu dapur dengan ekspresi pasrah bercampur khawatir.
“Astaga… calon ibu dari anak kembarku ngidamnya mie pedas.”
“Tapi ini cuma sedikit, kok! Aku janji, cuma sekali.” ucap Rianti.
“Kamu juga bilang ‘cuma sekali’ waktu ngidam rujak tiga hari lalu.”
“Itu beda, rujak itu buah, Bram. Ini… cinta sejati dalam bentuk mie.”
Bramantya menutup wajahnya dengan tangan.
“Baiklah, baiklah. Tapi habis ini kamu minum susu dan vitamin. Dan mie-nya jangan terlalu pedas.”
“Setuju, tapi kamu harus nyuapin.”
“Hah? Ny—nyuapin?”
“Iya. Aturan ngidam nomor satu: suami harus ikut.”
Bramantya akhirnya duduk di hadapan Rianti, mengambil sumpit dengan wajah pasrah namun penuh cinta.
Ia meniup mie itu pelan-pelan sebelum menyuapkannya.
“Hati-hati panas.” ucap Bramantya.
“Aku tahan panas kalau dari kamu.” ujar Rianti.
“Aduh, mulai lagi gombalnya.”
“Belajar dari kamu, Pak Konglomerat Gombal Nasional.”
Mereka berdua tertawa.
Rianti menikmati setiap suapan, sementara Bramantya terus memastikan air putih dan susu ada di dekatnya.
Setelah suapan terakhir, Bram langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“Oke! Janji ditepati. Hanya satu porsi! Tidak ada porsi kedua, ketiga, apalagi tambahan topping cabai!”
“Tapi kalau bayi kita ngidam juga?”
"Bayi kita belum bisa pesan makanan, Sayang.”
“Yaudah, aku jadi juru bicara mereka.”
“Cukup, Ratu Mie Pedas. Sekarang waktunya istirahat.”
Bram menggendong Rianti dari kursi dapur menuju kamar, meski Rianti terus protes.
“Aku bisa jalan, Bram!”
“Aku tahu. Tapi ini bonus karena kamu berhasil menahan diri cuma makan satu mangkuk.”
Rianti menyandarkan kepala di bahu suaminya, tersenyum kecil.
“Kamu baik banget akhir-akhir ini. Aku takut ini cuma mimpi.”
“Kalau mimpi, aku nggak mau bangun.”
Mereka pun masuk ke kamar, dan Bramantya menyelimuti istrinya dengan hati-hati.
Rianti tertidur cepat dengan tangan memeluk bantal, senyum masih menempel di bibirnya.
Bram menatapnya lama, lalu berbisik pelan.
“Kamu boleh ngidam apapun, asal jangan ninggalin aku lagi.”
Malam itu udara begitu dingin.
Lampu kamar hanya menyala redup, sementara Rianti terlelap dengan posisi meringkuk di sisi tempat tidur.
Tiba-tiba—
Tubuhnya mengejang.
Keringat dingin membasahi dahinya. Nafasnya terengah, lalu—
“Bram…” suara lirihnya nyaris tak terdengar sebelum pandangannya menggelap.
Beberapa detik kemudian, Bramantya yang baru saja kembali dari balkon melihat tubuh istrinya terkulai di tempat tidur.
“Rianti?! Rianti!”
Ia langsung berlari, mengguncang bahu istrinya, tapi Rianti tidak merespons.
Tanpa berpikir panjang, Bramantya segera mengangkat tubuh Rianti ke dalam pelukannya dan berlari keluar kamar.
“Tolong! Panggilkan ambulans! Cepat!!"
Tak berselang lama ambulans datang dan segera membawa Rianti ke rumah sakit
Ruang gawat darurat dipenuhi aktivitas dokter dan perawat.
Bramantya berdiri di depan pintu, wajahnya pucat dan penuh amarah bercampur cemas.
Beberapa menit kemudian dokter keluar.
“Istri anda.kelelahan dan kemungkinan besar efek dari makanan pedas yang dikonsumsinya malam ini.”
“Mie itu…”
“Kami sudah stabilkan keadaannya, tapi tolong, jangan biarkan dia makan sembarangan lagi. Ini bisa berpengaruh pada janinnya.”
Bram hanya mengangguk, menunduk lama.
Beberapa jam kemudian, di dalam kamar rawat, Rianti membuka matanya perlahan.
Bramantya duduk di kursi sebelah ranjang, diam dan tegang.
“Bram, aku kenapa?”
“Kamu pingsan. Karena mie pedas itu.”
Rianti terdiam. Air matanya mulai menetes tanpa suara.
“Aku cuma pengin sedikit saja, Bram. Maaf, aku nggak tahu bakal separah ini…”
Bram menatap lurus ke depan, rahangnya menegang.
“Aku hampir kehilangan kamu lagi, Ri. Aku nggak bisa…”
Suara Bram pecah di tengah kalimatnya. Ia menunduk, menggenggam ujung selimut erat-erat.
Rianti menangis semakin keras, suaranya bergetar.
“Aku janji nggak bakal bandel lagi. Aku cuma, pengin sesuatu yang aku suka, tapi aku lupa kalau aku udah nggak sendiri…”
Mendengar itu, Bram akhirnya bangkit dan duduk di sisi ranjang.
Tanpa berkata apa-apa, ia langsung menarik Rianti ke dalam pelukannya.
“Jangan minta maaf. Aku yang salah, aku harusnya lebih sabar…”
“Aku takut kamu marah sama aku…
“Aku marah… karena aku sayang. Karena aku nggak mau kehilangan kamu, atau anak-anak kita.”
Bram mencium puncak kepala Rianti dengan lembut, air matanya jatuh di rambut istrinya.
“Mulai sekarang, aku nggak akan biarin kamu makan pedas sendirian. Kalau kamu ngidam, aku ikut. Tapi aku yang masak, oke?”
Rianti tersenyum samar di tengah tangisnya.
“Oke, tapi kamu jangan masak yang hambar ya.”
“Aku akan kasih bumbu cinta ekstra.” ucap Bramantya.