Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Mentari pagi menyinari pelataran istana Bai, sisa lentera semalam masih bergoyang tertiup angin lembut. Udara pagi membawa aroma bunga peoni yang mulai layu setelah semalam memenuhi halaman. Burung-burung kecil berkicau dari atap paviliun timur, seolah menyanyikan lagu perpisahan bagi pengantin yang akan berangkat menuju negeri baru.
Putri Xue Yi berjalan perlahan di antara koridor panjang menuju taman samping. Jubah sutra merah lembutnya bergoyang tenang di bawah cahaya mentari, rambutnya kini disanggul sederhana tanpa hiasan berat. Setelah semalam upacara besar dan pesta megah, pagi ini ia memilih diam, memandangi taman yang sempat ia rawat sendiri sewaktu kecil. Namun di hatinya, ada satu hal yang belum tenang.
Ia menoleh ke arah dayang yang lain, yang berjalan di belakang. “Jangan ikuti aku terlalu dekat. Aku ingin sendiri sejenak,” ucapnya pelan.
Lan Er membungkuk. “Baik, Putri. Tenang saja aku yang akan menjaga”
Xue Yi melangkah keluar dari pintu belakang istana, membawa satu keranjang kecil berisi makanan dan bunga. Langkahnya menuju arah kuil timur tempat ia tahu Mei Lin biasa berada setiap pagi. Angin membelai lembut wajahnya, seakan memberi restu pada niatnya pagi itu.
Di pelataran kuil, aroma dupa tipis menyambutnya. Beberapa biksu muda tengah membersihkan lantai batu. Di sisi timur, di bawah pohon magnolia, tampak sosok perempuan bergaun ungu muda sedang menata bunga di wadah kayu sederhana. Ia bekerja dengan gerakan pelan namun pasti, wajahnya tenang seperti permukaan danau.
“Mei Lin,” panggil Xue Yi lembut.
Wanita itu menoleh cepat, lalu terperanjat melihat siapa yang datang. Ia buru-buru berlutut. “P-Putri Bai! Ampun, saya tidak tahu bahwa Anda akan datang ke tempat ini.”
Xue Yi tersenyum. “Bangunlah. Tak perlu bersikap setakut itu padaku.”
Mei Lin perlahan berdiri, masih menunduk. “Apakah Yang Mulia memerlukan sesuatu? Atau mungkin ada pesan dari istana?”
“Tidak. Aku datang bukan sebagai Putri Bai, tapi sebagai seorang perempuan… dan seorang adik,” ujar Xue Yi sambil menatapnya dalam.
Mei Lin tampak bingung. “Seorang adik?”
Xue Yi mengangguk. “Adik dari seseorang yang hatinya terus memikirkanmu.”
Wajah Mei Lin seketika memerah. Ia menunduk dalam-dalam. “Saya… saya tidak tahu harus berkata apa.”
Xue Yi mendekat, menatapnya lembut. “Kemarin malam, ketika semua orang bersorak merayakan pernikahanku, aku sempat melihat kakakku, Bai Xiang, menatap ke arah luar aula. Tatapannya bukan kepada pesta, melainkan pada seseorang di luar istana.”
Mei Lin diam, kedua tangannya menggenggam erat ujung lengan bajunya.
“Aku menyelidiki, Mei Lin,” lanjut Xue Yi. “Aku tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Mata Mei Lin membesar. “Saya… saya tidak—”
“Tidak perlu menyangkal,” potong Xue Yi lembut. “Kau adalah putri dari Jenderal Yao, bukan? Panglima besar dari Kerajaan Dong yang gugur dalam perang dua belas tahun lalu.”
Mei Lin terdiam lama. Matanya mulai berkaca-kaca. “Bagaimana Anda bisa tahu…?”
Xue Yi menunduk sedikit, suaranya pelan. “aku mengirim orang untuk memastikan keselamatanmu. Namun laporan yang kembali membuatku menangis semalaman. Setelah ayahmu gugur, ibumu pun meninggal tak lama kemudian. Dan paman mu orang yang seharusnya menjagamu mengusirmu dan mengambil seluruh harta keluarga.”
Mei Lin menunduk, air matanya jatuh menetes di atas tangan. “Itu sudah lama sekali, Putri. Saya tidak ingin mengingatnya lagi.”
“Tapi aku ingin kau tahu,” lanjut Xue Yi, “bahwa kisahmu tidak berakhir di penderitaan itu. Karena ada seseorang yang ingin menulis ulang takdirmu dengan kasih sayang.”
Mei Lin mengangkat wajahnya perlahan, menatap Xue Yi yang tersenyum lembut.
“Kau tahu,” kata Xue Yi, “Gege-ku… bukanlah orang yang mudah jatuh hati. Tapi saat ia melihatmu, bahkan sebelum tahu siapa dirimu, ia sudah merasa ingin melindungimu. Aku melihat caranya memandangmu. Itu bukan tatapan seorang pangeran pada rakyat, tapi seorang pria yang melihat cahaya di tengah kabut.”
Mei Lin terdiam, napasnya berat. “Tapi… saya hanyalah wanita biasa. Saya tidak pantas berdiri di sisi seorang pangeran.”
Xue Yi menggeleng. “Kau salah. Justru karena hatimu murni dan keberanianmu yang tulus, kau pantas. Aku sudah berbicara dengan Ayahanda dan Ibunda semalam. Mereka tahu semua tentangmu. Mereka bahkan bersyukur karena putra mereka menyukai perempuan berhati seperti dirimu.”
Mei Lin memandangnya tak percaya. “Mereka… tidak menolak?”
“Tentu tidak.” Xue Yi menatapnya hangat. “Ibu berkata, ‘Lebih baik istana memiliki satu hati jujur daripada seribu perhiasan palsu.’ Dan Ayah hanya tersenyum sambil berkata, ‘Jika itu membuat putraku bahagia, biarkan ia memilih dengan hatinya sendiri.’”
Air mata mengalir di pipi Mei Lin. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Saya tidak tahu harus bagaimana membalas semua ini…”
“Cukup dengan menerima,” kata Xue Yi lembut. “Gege-ku tidak pernah memaksa, tapi aku tahu, jika kau menolaknya hanya karena merasa rendah, itu akan menghancurkannya.”
Mei Lin menggigit bibir, air matanya terus jatuh. “Saya tidak pernah berniat menolak. Saya hanya takut. Dunia istana tidak seperti dunia luar, Putri. Di dalamnya penuh racun dan tipu daya. Saya… saya tidak yakin bisa hidup di sana.”
bersambung
makanya, sebelum bertindak itu mikir² dulu dong