Dari sekian banyak yang hadir dalam hidupmu, apa aku yang paling mundah untuk kau buang? Dari sekian banyak yang datang, apa aku yang paling tidak bisa jadi milikmu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYU 18
Sudah dua hari gue ngga denger kabar dari Gibran. Bahkan sudah dua hari juga Gibran tidak berangkat sekolah. Sempat sekali mendengar desas desus kalau pria itu sedang sakit. Tapi beberapa juga bilang kalau Gibran hanya sedang membolos.
Tepat dijam empat sore setelah pulang sekolah. Gue masih duduk di teras dengan seragam sekolah lengkap. Menatap layar ponsel yang akhir akhir ini berulang kali gue lihat, hanya untuk memastikan Gibran mengirim pesan atau tidak.
Tapi ternyata, apa yang gue lakuin cuma sia sia. Bahkan untuk duduk disini dan berharap dia datang pun tampak menjadi kegiatan terbodoh gue.
Pandangan gue tertuju pada pekarangan rumah Biyan. Hanya ada Bunda nya Biyan yang sedang menyirami tanaman. Bersama motor yang beberapa saat lalu diparkiran di sana.
"Dek, ganti baju dulu"
Gue menoleh, menatap Bunda yang membawa segelas coklat panas. Namun kali ini tatapan gue justru teralihkan pada seseorang yang baru saja datang. Gadis yang kala itu datang ke rumah Biyan kali ini datang lagi. Tak peduli dengan Bunda yang sudah lebih dulu masuk.
Sebenernya dia siapa sih?
Gue bisa lihat dengan jelas Biyan keluar dengan pakaian santainya. Bersamaan dengan gadis itu yang memberikan salam kepada Bunda nya Biyan. Gue ngga tau pasti apa percakapan mereka yang ngebuat akhirnya Biyan masuk lagi ke dalam rumah. Sampai gue melihat notifikasi yang gue tunggu.
Sudah pulang?
Gue tersenyum tipis. Disela notifikasi Kara dan beberapa grup sekolah, gue bisa melihat dengan jelas nama Gibran tertera. Selang beberapa saat setelah gue membalas pesan Gibran. Pria itu datang dengan motor varionya, memarkirkannya di pekarangan bersamaan dengan Bunda nya Biyan masuk ke dalam. Mungkin untuk memanggil Biyan kembali?
"Cepet banget?"
"Chatnya didepan" Gibran kali ini bergabung untuk duduk di teras. Dengan kaus hitam yang diselimuti jaket hitam dan celana jeans, pria itu tampak baru saja mandi.
"Oh"
"Baru banget pulang?" Pria itu menatap ke arah gue yang masih memakai seragam. Sebelum akhirnya tersenyum saat gue hanya mengangguk kecil. Tangannya mengusap puncak kepala gue sebelum kembali membuka percakapan.
"Biasanya langsung mandi, Na"
"Lo dari mana aja?"
Gibran kembali tersenyum. Kali ini sedikit menampakkan gigi rapihnya, tanpa mengalihkan pandangan dari gue.
"Ngga dari mana mana"
"Janji ngga bohong?"
"Dirumah aja, Na"
Gue menghela napas. Lagian berharap apa agar pria itu bisa ngomong yang sebenarnya? Sampai detik ini gue selalu menekankan ke diri gue kalau bukan siapa siapa nya Gibran. Yang peduli sama dia disini cuma gue, bukan Gibran juga yang peduli ke gue. Yang nyariin dia disini cuma gue, bukan dia yang akan bales hal itu ke gue.
"Ngga perlu khawatir"
"Ngga ada yang khawatir" gue sejenak melirik, menatap Biyan yang keluar menemui gadis itu tanpa Bunda nya.
"Janji ngga bohong?"
Gue menoleh ke arah Gibran yang masih dengan senyum yang sama.
"Lagi ada sedikit masalah yang harus di selesein"
"Iya, gue ngga perlu tau lebih lanjut"
Kali ini Gibran lah yang menghela napas. Menatap gue penuh dengan keraguan. Gue bisa rasain dia lagi bingung mau cerita atau engga. Tapi agaknya, dia lebih memilih untuk memendam semuanya.
"Sudah makan?"
Gibran menggeleng pelan, "hari ini mau datang ke kafe sama lo"
"Jadi sengaja ngga makan ya?"
"Iya"
"Ya udah, tungguin siap siap"
Gibran mengangguk pelan, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga gue sebelum mengusap sejenak rambut gue.
"Sebentar"
"Iya"
Mungkin gue butuh waktu lima belas menit aja buat mandi dan siap siap. Sebelum kembali menemui Gibran yang entah sudah sejak kapan bicara sama Ayah.
"Jangan malem malem ya, Dek" ucap Bunda saat gue mengecup punggung tangan Bunda. Pandangan kita tertuju pada dua pria itu setelah gue mengangguk.
"Mas Gibran tuh pinter ambil hati Ayah"
"Padahal anaknya ngga gampang akrab"
"Kamu suka sama dia?"
Gue terkekeh, setelah bilang kalau suka sama Biyan apakah jawaban gue juga iya sama pertanyaan yang baru saja Bunda lontar kan?
"Gibran anak baik, Bun"
Bunda mengusap puncak kepala gue, "ya sudah hati hati"
Gue mengangguk, menghampiri Ayah yang masih terus sibuk bicara dengan Gibran. Kedengaran asik sampai ngga sadar kalau gue baru saja datang.
"Ngobrolin apa?"
Kedua pria itu menoleh ke arah gue sambil melontarkan senyum mereka masing masing.
"Obrolan laki laki, kamu ngga akan paham"
Gue sedikit menekuk mulut ke bawah sambil berpamitan. Begitu juga dengan Gibran yang tersenyum setuju dengan ucapan Ayah barusan.
Setelah percakapan yang agaknya cukup lama, gue dan Gibran ada di sini. Diatas motor berdua menikmati senja di kota Jakarta. Seperti cuma polusi yang terlihat, tapi udara seakan sedang sejuk sejuknya. Meromantisasi kebersamaan gue dan Gibran, dimotor berdua.
Sebelum akhirnya kita sampai di kafe yang Gibran maksud. Tempatnya bagus, gue akui. Iterior yang masih baru dan jangan lupa remang lampu yang menghiasi sekeliling kafe. Tempat ini sungguh cocok untuk tongkorongan anak remaja, terlebih sepasang kekasih atau dua manusia yang sedang saling ingin dekat.
Kaya gue sama Gibran, misalnya?
"Lo mau pesen apa?"
Gue mendongak. Menatap menu yang terpampang jelas di atas sambil sesekali menyipitkan mata untuk memilih.
"Disini ada, Na" gue bisa lihat dengan jelas Gibran terkekeh sambil menunjuk menu di meja dekat kasir. Gue lemparkan senyum kecil saat Gibran menunjuk menu best seller di kafe ini.
"Mau ini?"
Gibran mengangguk pelan saat gue menunjuk salah satu dessert yang terlihat menarik.
"Harus makan nasi!"
Gibran terkekeh, "Kak, nasinya dua porsi ya"
"Untuk lauknya, Kak?"
"Cumi pedas satu, udang asam manis,"
"Kamu minum apa?"
Gue mendongak saat suara Gibran sembari tadi belum gue sela. Pandangan kita sejenak bertemu saat panggilan 'kamu' terdengar lebih merdu.
"Mineral water aja,"
Gibran terkekeh mengusap puncak kepala gue lantas kembali meneruskan pesanannya.
Kita cuma butuh waktu kurang dari setengah jam untuk menerima pesanan sampai menu utara datang. Terkecuali dessert yang sempat Gibran bilang akan keluar di akhir setelah makanan habis.
Ditemani dengan lampu kota yang mulai menyala satu persatu, menghiasi kota Jakarta yang sibuk dari ketinggian. Kafe ini cukup strategis untuk menikmati citylight, terlebih makanannya juga punya harga yang tergolong ramah di kantong mahasiswa.
"Lo suka cumi?"
Gibran mengangguk pelan, "apa aja gue makan"
Kali ini, gue bisa lihat dengan jelas gimana lahapnya Gibran saat makan. Kaya ngga makan seminggu! Tapi pria itu menggemaskan. Rambutnya yang sedikit lebih gonrong, jangan lupa manik tajamnya itu. Gue bahkan selalu terpana saat dia natap gue dengan senyuman manisnya.
"Ntar dipotong ya rambutnya?"
Gibran menoleh, "lagi coba panjangin malah disuruh potong"
"Nanti ganggu makan" gue menyelipkan poni yang sembari tadi tergelantung ke arah depan wajah Gibran. Seperti menganggu pemiliknya sedang makan.
"Kan ada lo yang bantu singkirin"
"Kalo lagi ngga makan sama gue gimana?"
"Ya makannya harus makan sama lo terus"
Gue terkekeh. Dibalik sikapnya yang dingin, Gibran sesekali menampakkan sisi hangatnya ke gue. Entah dengan alasan apa, tapi gue suka. Jujur aja gue lebih suka Gibran yang seperti ini, jangan berubah ya!!!