NovelToon NovelToon
Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romansa
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: PenulisGaje

Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.

Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.

Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Menyelamatkan Sang Putri

"Gimana, Man? Sesuai nggak sama yang kau mau?"

Armand tak langsung menjawab.

Dalam diamnya, Armand kembali mengingat apa isi di dalam rumah yang sedang dipandanginya saat ini.

Berdiri di depan pagar besi yang terbuka di depannya, Armand yang menyandarkan punggungnya di mobil sementara kedua tangannya berada dalam saku celana dibuat kembali mengingat tiap ruangan yang ada di rumah yang sedang dipandanginya.

Terdapat 1 kamar utama, 2 kamar tamu dan 1 kamar untuk pembantu rumah tangga. Ruang tamu yang luas serta ruang tengah yang memakai atap skylight, sesuai dengan yang ia inginkan. Untuk masalah dapur, Armand sangat puas dengan apa yang dilihatnya. Dan yang menjadi fokusnya tadi adalah kamar utama, dimana tak hanya benar-benar tepat seperti apa yang ia minta, tetapi juga membuatnya memikirkan sesuatu yang 'nakal' saat memandang dinding kaca yang mengelilingi kamar mandi.

Namun, secepatnya pikiran tak senonoh itu muncul di kepala, secepat itu pula Armand menyingkirkannya.

Armand tak ingin menodai kepolosan Nissa, meskipun hanya melalui pikirannya saja. Gadis mungil nan cantik jelita itu hanya mendapatkan segala yang terbaik. Sangat layak untuk diperlakukan seperti seorang putri.

"Kalau kau kurang puas, aku bisa minta orangku buat nyari yang lain." Daffa berucap kala melihat Armand hanya terdiam sambil terus memandangi rumah yang ada di depan mereka. "Mungkin kau merasa kurang sreg dengan halamannya yang terlalu luas, jad... "

"Justru halaman yang luas begini yang aku mau." cepat Armand berucap. Sorot matanya yang tajam memindai seluruh halaman luas yang mengelilingi rumah yang hampir keseluruhannya terbuat dari bahan kayu berkualitas tinggi itu. Seulas senyum tanpa sadar terbentuk di bibir saat pria matang yang sedang kasmaran itu serta tatapannya seolah membayangkan sesuatu saat mengatakan, "Dia keliatan sangat bahagia saat berada di taman bunga ibuku. Bunga-bunga yang sedang bermekaran itu seakan nggak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kecantikannya. Badannya yang mungil membuatnya terlihat begitu menggemaskan saat tersenyum menatap hamparan bunga."

"Ternyata kau benar-benar sedang jatuh cinta ya, Man." Daffa berucap santai. Tapi sorot mata terlihat geli saat melihat ekspresi sahabatnya yang sedang dimabuk cinta. "Kalau memang gadis itu semungil yang kau bilang, aku justru khawatir badannya bakalan remuk bahkan saat kalian akan melewati malam pengantin nanti." perkataan Daffa malah tak sebanding dengan ekspresi wajahnya. Tidak ada tatapan khawatir. Yang ada malah penasaran mengenai akan seperti apa malam pertama yang akan dilalui oleh sahabatnya itu.

Perkataan Daffa tersebut malah membuat Armand mengernyit.

Meski dari nada suara Daffa malah terdengar geli, Armand justru membayangkan semua itu dengan ekspresi yang sangat serius. Bayangan akan tubuh mungil Nissa yang berbaring pasrah di bawah tindihan tubuhnya yang ukurannya bisa dibilang dua kali lipat dari tubuh gadis itu entah mengapa membuat Armand merasakan sedikit khawatir dalam hatinya.

'Bagaimana jika ia tanpa sadar melukai gadis itu?'

'Dengan badan semungil itu, bisakah Nissa menahan gairahnya yang takutnya tak bisa dibendung?'

'Mampukah Armand menahan diri dan bersikap lembut saat menyentuh si mungil?'

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tak bisa Armand temukan jawabannya.

Bahkan bukan hanya itu, masih banyak pertanyaan lainnya lagi yang ada di benaknya yang tak mampu Armand temukan jawaban pastinya.

Tanpa sadar Armand menghembuskan napas berat hingga membuat Daffa terkekeh yang sepertinya bisa menebak apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya.

"Dibawa santai aja, Man." Daffa yang tadinya berdiri tegak di samping Armand langsung ikut menyandarkan punggungnya di mobil sang sahabat dan menatap rumah yang dikelilingi oleh pagar besi tersebut. "Walau buru*gku belum pernah bersarang di 'sangkar' yang digilai sama si somplak satu itu, aku tau, kalau untuk menghadapi perempuan yang masih perawan, lelaki berpengalaman sepertimu pasti bisa memberikan pengalaman yang nggak akan dilupakannya."

"Masalahnya, aku nggak berpengalaman dengan yang namanya perawan."

"Apa?" mata Daffa membola. Ia bahkan mengusap-ngusap telinganya karena takutnya dirinya salah mendengar.

"Kau nggak salah dengar, Daff." hela napas Armand terdengar berat. Senyum di bibirnya tampak pahit saat bercerita, "Aku bukannya ingin mengungkit masa lalu ataupun aib seseorang. Aku juga bukan tipe orang yang suka menilai seseorang dari masa lalunya. Aku cuma mau bilang kalau aku nggak pernah merasakan gimana rasanya menjebol 'gawang' seorang gadis yang masih perawan."

Daffa mengerjap berulang kali.

Kenyataan akan pengakuan Armand mengenai mantan istri dari sahabatnya itu yang sudah tidak perawan saat pertama kali digauli membuat Daffa sedikit tak percaya.

Bagaimana bisa wajah selugu itu malah melakukan sesuatu seperti itu?

Dulu, saat pertama kali Daffa dikenalkan dengan wanita itu, Daffa bahkan sempat berpikir jika Armand beruntung bisa mendapatkan pasangan yang masih 'murni' di zaman yang sudah semakin gila seperti ini.

Namun ternyata, penampilan luar bisa sangat menipu. Hingga Daffa tersenyum miris kala mengingat penampilan mantan istri Armand saat pertama kali dulu mengenal dengan sekarang yang sudah berubah begitu drastis.

Rupanya wanita itu tak bisa lagi menahan diri untuk menunjukkan jati dirinya yang asli. Terbukti tak hanya cara berpakaiannya saja yang selalu kekurangan bahan, wanita itu juga berkencan dengan banyak pria sekaligus.

"Siapkan surat-suratnya, Daff." Armand bersuara setelah cukup lama keheningan menyelimuti mereka. "Untuk masalah harga, nggak perlu dipikirkan. Berapa pun itu, aku pasti setuju." imbuhnya secara meraih ponselnya dari dalam saku celana karena merasakan getaran dari benda pipih tersebut.

"Tapi buat rumah dengan halaman luas begini, kau butuh seenggaknya 2 satpam buat berjaga, Man."

"Kau atur aja." Armand mengangguk. "Aku percayakan hal itu padamu. Pokoknya aku Terima beres aj... "

Perkataan Armand seketika terhenti.

Kedua matanya membola karena terkejut saat membaca pesan yang dikirimkan Lala padanya.

"ABANG, CEPAT PULANG! NISSA MAU DINIKAHKAN PAKSA OLEH KEDUA PAMANNYA YANG SINTING SAMA LELAKI TUKANG KAWIN DARI DESA SEBELAH."

Sontak saja tiap kata yang ditulis dengan huruf besar tersebut membikin jantung Armand berdebar karena rasa takut yang tiba-tiba melanda.

Saking takutnya jika si gadis mungil direnggut paksa dan dinikahkan kepada pria lain, Armand dengan cepat menggeser tubuh Daffa dari pintu mobilnya dan kemudian bergegas masuk.

"Loh, Man, mau kemana buru-buru begitu?" tanya Daffa bingung dengan disertai alis yang terangkat sebelah.

"Menyelamatkan sang putri."

Jawaban singkat serta suaranya mesin mobil yang melaju setelahnya membuat Daffa terpaku ditempat dengan mulut yang sedikit menganga dikarenakan tak mengerti akan apa yang Armand maksud.

*****

Ditengah keterpakuan Daffa tersebut, pria itu tak menyadari adanya sepasang kaki yang perlahan melangkah mendekat ke arahnya.

Daffa masih tak menyadari hingga...

"Ngapain kamu bengong di sini, Daff? Itu tadi yang sama kamu, mas Armand, kan?"

Barulah Daffa berbalik. Hela napasnya terdengar kasar bahkan ekspresi tak suka di wajahnya tak ia sembunyikan. Wanita yang berdiri di depannya yang lagi-lagi mengenakan pakaian kekurangan bahan itu membuatnya benar-benar merasa muak.

"Terserah aku lah mau ngapain di sini. Itu nggak ada urusannya denganmu." Daffa menjawab tanpa harus repot-repot menyembunyikan rasa tak sukanya.

"Kamu kok nge'gas sih, Daff? Aku 'kan cuma nanya aja tadi." Lina tak suka akan reaksi dari sahabat sang mantan suami yang selalu bersikap tak bersahabat dengannya. Bahkan si mulut sampah Fandy, pria itu sering kali menghinanya bila mereka tak sengaja bertemu.

"Ya udah, pergi sana. Jangan dekat-dekat. Aku alergi dan bisa gatal-gatal kalau dekatan sama ulat bulu nggak tau malu."

Lina menggererakkan giginya. Rasa marah serta terhina akan perkataan Daffa membuatnya ingin sekali menampar wajah pria yang dikenal sebagai perjaka diantara para sahabat mantan suaminya itu.

Tetapi, Lina mencoba menahan diri.

Rasa penasarannya akan keberadaan sang mantan suami yang tadi sempat ia lihat punggungnya jauh lebih besar daripada rasa marahnya.

Ketimbang meladeni perkataan Daffa yang hampir sebelas duabelas sifatnya dengan Fandy, Lina lebih tertarik ingin mengetahui mengenai ada urusan apakah mantan suaminya itu di kompleks perumahan mewah dan berkelas tersebut?

Karena itu, Lina berusaha mengatur ekspresinya agar terlihat biasa saja saat menanyakan, "Tadi itu mas Armand, kan? Trus ngapain dia di sini?"

"Ya beli rumah lah, memangnya mau ngapain lagi." Daffa menjawab sekenanya.

"Beli rumah?" mata Lina membuka lebar. Mulutnya bahkan sedikit menganga karena terkejut mendengar sang mantan suami mau membeli rumah di kompleks perumahan dimana hanya orang-orang berkantong tebal saja yang bisa membeli rumah di sana.

Daffa memutar matanya malas.

Tak ingin lebih lama berinteraksi dengan wanita yang sudah membuat sahabatnya bertahun-tahun dihantui trauma itu, Daffa segera menutup gerbang rumah yang terbuat dari besi tersebut dan kemudian menggemboknya.

Dan setelahnya, seolah menganggap keberadaan Lina di sana tak lebih dari butiran debu, Daffa sempat mendengus saat melewatinya dan ia pun melangkah ringan menuju mobilnya yang diparkir tak jauh dari sana.

Sedangkan Lina sendiri masih terpaku. Suara mesin mobil yang perlahan menjauh hanya mampu membuatnya berkedip dengan sekujur tubuh yang berdiri kaku.

Bagaimana bisa pria yang selalu menjalani hidup sederhana meski memiliki yang tak sedikit itu kini malah akan membeli sebuah rumah yang harganya hanya akan membuat Lina menangis meraung karena tak sanggup membelinya?

Akan tetapi, seiring pertanyaan tersebut, muncul juga pertanyaan lainnya mengenai,

Apa alasan mantan suaminya itu membeli rumah?

"Hei, Lin, ngapain berdiri bengong di sini?"

Teguran yang disertai dengan tepukan lembut di bahunya itulah yang pada akhirnya mampu membuat Lina bisa menghembuskan napasnya kembali seperti biasa.

Dengan pandangan yang dipenuhi ketidakpercayaan serta rasa ingin tahu yang besar, Lina menoleh ke arah teman, yang mana Lina baru saja bertandang ke rumahnya, yang balas menatapnya bingung.

"Nik, rumahmu itu, kamu beli secara kontan, kan?" tanya Lina yang suaranya serak karena lehernya tiba-tiba saja terasa kering. Begitu melihat temannya itu mengangguk namun tetap menatapnya bingung, terbata Lina kembali menanyakan, "Ru... rumahmu da... dan rumah di belakangku ini, harganya sama atau malah lebih mahal punya kamu?"

Wanita yang berdiri di depan Lina itu terkekeh geli. Kepalanya menggeleng seolah merasa lucu akan pertanyaan yang Lina ajukan. Tapi, saat melihat sorot mata Lina menjadi serius, wanita itu berusaha mengendalikan diri dan akhirnya membalas tatapan Lina sama seriusnya.

"Rumah aku itu kalau bukan hasil ngangk*ng di depan aki-aki kaya raya yang cuma bisa cro* pas lagi nganu, mana bisa aku belinya, Lin." suara wanita terdengar sangat santai saat menjelaskan. "Kalau kamu tanya perbandingan harganya dengan rumah di belakangmu itu, ya jelas beda jauh lah. Rumah dengan halaman sangat luas ini, aku butuh merayu 3-4 aki-aki lagi baru bisa membelinya."

Lina tersentak. Jawaban temannya yang meski diucapkan dengan santai malah membuatnya merasakan panas di dalam dadanya. Wanita yang hari itu mengenakan pakaian ketat berwarna hitam yang mencetak jelas lekuk tubuhnya itu menundukkan menatap ujung jemari kakinya seraya dengan lirih bertanya kepada dirinya sendiri, "Lalu, buat apa mas Armand beli rumah semahal itu?"

"Siapa yang beli, Lin?"

Meski seolah tenggelam dalam lamunannya, Lina masih bisa mendengar apa yang temannya tanyakan. "Mas Armand."

"Wah, jangan-jangan mau nikah lagi tuh, makanya beli rumah buat ditinggali bersama istrinya nanti."

Perkataan temannya yang kembali diucapkan dengan nada santai dan tak terasa adanya niat untuk memanasinya itu justru membuat Lina semakin merasakan bara panas dalam dada.

Rasa tak rela itu begitu kuat. Lina rasanya ingin mengamuk saat membayangkan lengan-lengan kokoh yang dulu pernah memeluknya hangat itu kini memeluk wanita lain.

1
Ana Umi N
lanjut kak
y0urdr3amb0y
Wuih, penulisnya hebat banget dalam menggambarkan emosi.
Alucard
love your story, thor! Keep it up ❤️
PenulisGaje: makasih udah mau mampir dan baca cerita saya 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!