Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Di Antara Dua Pilihan
Langit sore di kota tempatku tinggal kini tampak asing. Bukan karena warnanya berbeda, tapi karena aku tak lagi melihatnya dari balik jendela kamar rumah yang dulu. Aku berada di ruang yang baru, tempat yang sepi tapi damai. Setiap detik terasa seperti fase penyembuhan. Namun di tengah ketenangan itu, datanglah badai kecil yang membuatku bertanya kembali pada diri sendiri: Apakah aku benar-benar sudah selesai dengan masa laluku?
Hari itu, ponselku berdering. Nomor yang tak asing: ibunya Arvan.
Aku ragu untuk menjawab, tapi entah kenapa jemariku justru menekan tombol hijau.
"Nayla… maafkan ibu, ya…," suara di ujung sana lirih.
Aku menarik napas dalam. "Ada apa, Bu?"
"Ibu tahu semuanya sudah terlambat. Tapi Arvan sekarang seperti orang hilang arah. Dia… dia ingin bicara denganmu. Satu kali saja."
Aku diam. Hatiku mendadak berat.
"Ibu tidak memaksa. Tapi kalau kamu bersedia, dia ada di kafe tempat kalian biasa duduk dulu. Sore ini… dia menunggu."
Aku tak langsung menjawab. Setelah mengakhiri panggilan, aku duduk lama di tepi ranjang. Di satu sisi, aku tak ingin kembali. Tapi di sisi lain, ada bagian kecil dalam hatiku yang penasaran: apakah Arvan akhirnya sadar… atau hanya mencari pengampunan yang tak pernah benar-benar ingin dia perjuangkan?
Satu jam kemudian, aku berdiri di depan kafe tua itu. Tempat di mana kami dulu sering berdebat kecil, tertawa bersama, dan diam dalam tatapan yang semu.
Arvan duduk di sudut, dengan wajah lebih kurus dan mata yang tampak lelah. Ketika ia melihatku, ada sorot lega yang sulit dijelaskan.
“Nay…”
Aku duduk tanpa banyak kata. Ia menunduk sebentar, lalu menatapku dalam-dalam.
“Kamu terlihat lebih kuat sekarang.”
Aku tersenyum tipis. “Dan kamu terlihat kehilangan arah.”
Arvan tertawa getir. “Kamu benar.”
Dia terdiam, menatap cangkir kopinya yang masih penuh.
"Selama ini aku pikir aku tahu segalanya. Tapi ternyata, aku hanya pengecut. Aku membiarkanmu berjalan sendirian dalam pernikahan ini. Aku tahu aku menyakitimu. Tapi yang paling menyakitkan sekarang… adalah kehilanganmu."
Aku menelan ludah. Sakit itu kembali menguar, tapi tidak seperti dulu. Sekarang aku lebih mampu menahannya.
"Aku ke sini bukan buat dengar penyesalanmj, Van. Aku cuma mau tahu… kenapa baru sekarang kamu bicara?"
Dia menarik napas dalam.
"Aku terlalu lama percaya bahwa kamu akan terus ada, apapun yang kulakukan. Tapi sejak kamu pergi, aku sadar… kamu nggak pernah benar-benar menjadi pilihan, karena aku terlalu takut untuk jujur pada diriku sendiri."
Aku menatapnya, dalam. “Dan sekarang kamu ingin aku kembali?”
Arvan menggigit bibir bawahnya, lalu berkata pelan, “Aku ingin kamu bahagia. Tapi kalau kamu memilih bukan bersamaku… aku akan belajar menerima.”
Hening beberapa saat.
Aku berdiri.
“Terima kasih sudah jujur, Arvan. Tapi aku juga ingin jujur… Aku belum tahu apakah aku siap membuka ruang itu lagi. Yang aku tahu, sekarang aku sedang belajar mencintai diriku sendiri. Dan itu… sudah cukup.”
Aku meninggalkan kafe dengan dada yang lebih ringan. Arvan tak mengejar. Mungkin karena dia tahu, kali ini aku tak butuh lagi kepastian darinya. Aku hanya butuh kebebasan dari luka.
Malamnya, aku membalas pesan Arvan.
Aku siap menulis bersama kalian.
Dan saat aku menekan tombol kirim, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa punya kendali atas jalan cerita yang kuinginkan.