Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
''Semalam kupikir kita akan-'' Ben bergumam sendiri sambil mencuci piring. Setelah makan siang bersama, keduanya berebut untuk mencuci piring. Tentu Clarissa tak menyukai kegiatan itu tapi suaminya kan belum sembuh. Masa iya dirinya membiarkan pasien ini melakukan pekerjaan melelahkan begitu.
Lalu Ben menyarankan untuk melakukan suit, yang kalah harus membersihkan piring dan barang lainnya. Dan pada akhirnya Ben sendiri yang kalah tetapi ia malah senang karena bisa membantu pekerjaan rumah.
Walaupun pikirannya masih di malam itu, padahal ia sudah mempersiapkan tubuhnya. Tapi tak terjadi apapun, ia dan istrinya hanya bergandengan tangan. Clarissa berkata kehangatan juga bisa tersalurkan lewat tangan dan Ben mengiyakan saja pendapat istrinya. Tapi kenapa Clarissa ke ruang ganti dahulu waktu itu, itu membuat Ben berpikir aneh-aneh. Ia jadi seperti lelaki mesum.
Suara ketukan pintu terdengar, Ben menghentikan kegiatannya dan hendak mendekati arah suara.
''Biar aku saja,'' Clarissa berjalan cepat agar mendahului suaminya. Ia tak tahu siapa yang datang dan takut orang yang mereka kenal datang.
Clarissa mendorong pintu itu dan melihat sosok laki-laki muda yang mengenakan pakaian formal dan tas kerja yang berwarna hitam.
''Bu Bos... Maaf saya ke sini tapi Bos besar menyuruh saya untuk memberi dokumen kantor ke Pa Bos.''
Sudah Clarissa duga, Alan pasti akan datang. Walau bukan keinginannya ke sini tetapi permasalahan yang akan di bahas tetap pekerjaan kantor.
''Alan sudah kamu bicarakan dengan Ayah mertuaku untuk menunda waktu Ben bekerja, hanya dua minggu lagi. Ben masih seorang pasien,'' Clarissa merasa frustasi dengan masalah pekerjaan kantor ini. Dan bila Ben bekerja bisa memungkinkan kesehatannya menurun.
''Saya juga sudah mengatakannya tapi Bos Besar bilang kesehatan atau kesembuhan Pak Bos tidak akan memburuk karena pekerjaan, katanya pekerjaan kantor tidak terlalu berat.'' Alan menjelaskan dengan rinci perkataan Morgan Hilton, Ayah suaminya yang tak peduli kesehatan anak nya sendiri.
''Siapa?'' Setelah selesai mencuci piring, Ben langsung menghampiri istrinya. Obrolan dengan tamu ini membuat Ben penasaran, ingin mengetahui arah pembicaraan ini.
''Oh ini Alan, sebelumnya aku sudah memberitahu kamu soal sekertaris kamu di kantor.'' Clarissa melirik Alan,ia memberi isyarat untuk segera pergi dari sini namun Alan membalas isyarat itu dengan sebuah gelengan kepala.
Ben menyadari keduanya melakukan itu, ia memandangi istrinya lekat-lekat kemudian menatap tajam pada lelaki di hadapan nya.
''Ada apa ini?'' Ben berbisik di telinga istrinya. Clarissa menggeleng cepat baru kemudian menarik tangan suaminya sambil menutup pintu.
''Tunggu dulu Bu Bos, ijinkan saya berbincang dengan Pak Bos sebentar. Sebentar saja tolong, ini perintah Bos Besar, saya janji tidak akan berlangsung lama. Tolong Bu...'' Alan menyatukan kedua tangan, memohon dengan segenap hatinya agar bisa mengobrol sebentar dengan Bosnya.
Clarissa melirik suaminya, sebenarnya ia tak mau Ben mendengar masalah berat dari kantor tetapi ia juga merasa kasihan dengan Alan, biar bagaimana pun ia hanya menuruti perintah dari Ayah mertua nya.
''Ya sudah tidak apa-apa, aku tidak keberatan.''
Ben menyadari istrinya tampak cemas dan ragu, ia tak tahu apa yang akan lelaki ini katakan padanya tau pada Clarissa namun sebaiknya tak ada salahnya mengijinkan nya masuk dan berbincang.
Clarissa kembali membuka pintu dan mempersilahkan Alan masuk, ''terima kasih Bu Bos Pak Bos.''
Ketiganya sudah duduk di kursi, Alan tersenyum lebar. Ia terus memandangi Ben sejak tadi.
''Akan ku ambil minuman dan cemilan,'' Clarissa bergegas ke ruang makan. Walau Alan bilang akan sebentar di sini tetapi menurut Clarissa terlalu tidak sopan kalau tak menawarkan makanan atau minum pada tamu.
Alan memajukan tubuhnya dan berbisik pada Benjamin, ''Pak Bos beneran hilang ingatan?''
Ben mengangkat alis, kenapa dia penasaran pada hal yang sudah jelas. Bahkan media masa juga sudah mengetahui fakta ini. Ben melirik istrinya sebentar sebelum menjawab, ''kenapa kau tanya?''
''Hehehe... Saya cuma penasaran Bos? Kalau begitu Bos tidak mengenali saya?'' Alan kembali bertanya dengan cengengesan.
Entah mengapa Ben malah sedikit kesal, pertanyaan yang di ajukannya sudah jelas jawabannya. Kenapa anak ini tak berpikir dahulu sebelum bertanya.
Ben menghembuskan nafas panjang, ia tak menjawab pertanyaan Alan. Biarlah lelaki di hadapannya ini berbicara sendiri.
Clarissa kembali dengan membawa kopi dan makanan ringan, ia dan suaminya hanya minum air putih saja. Sejujurnya Clarissa tak tahu apakah Ben menyukai kopi atau tidak.
''Sebenarnya apa tujuan mu ke sini? Hanya menyampaikan sesuatu dari orang itu, yang ku maksud Ayahku.'' Ben bertanya pada Alan, tidak mungkin orang ini hanya datang menyampaikan amanat atau apapun itu yang bisa di ucapkan oleh mulut. Kalau hanya itu, dia bisa menyampaikannya lewat ponsel atau telepon rumah.
''Oh benar, Bos Besar ingin saya memberikan ini pada Bos Benjamin.'' Alan mengentikan sebentar kegiatannya meminum kopi, ia mencari tas yang di bawanya. Lalu menyodorkan tas itu di meja, ia juga mendorongnya sedikit agar sampai ke dekat Ben. ''Ini yang di perintahkan Bos Besar, katanya di baca dulu saja.''
''Lalu...'' Alan menghentikan kalimatnya, ia ragu mengatakannya. ''S-sebenarnya Bos Besar akan kemari, katanya ia ingin berbicara serius dengan Anda. Sepertinya Anda harus segera bekerja, mungkin itu inti dari niatnya ke sini.''
''Apa? Sebentar lagi? Maksudnya ia benar-benar kemari? Kenapa repot-repot ke sini?'' Clarissa terkejut mendengar ucapan Alan, bukankah ini terlalu awal untuk Ben. Clarissa juga agak sedikit khawatir dengan reaksi Ben bila bertemu dengan Ayahnya, dari dulu hubungan keduanya tak terlalu baik.
''Karena perusahaan sekarang jadi kacau, Bos tidak ada dan banyak rumor yang bilang Bos tidak akan bekerja lagi jadi banyak dari investor yang ragu untuk bekerja sama lalu beberapa direksi juga berusaha berebut posisi Bos Ben. Kantor menjadi sangat berisik karenanya.'' Alan sebenarnya agak lelah, dulu ia pikir suasana sepi di kantor sangat tidak seru atau tidak asik namun ternyata suasana berisik lebih membuatnya tidak nyaman sampai merasa ingin cuti bekerja.
''Kalau begitu saya permisi dulu, sebentar lagi Bos Besar ke sini, saya pamit duluan. Sampai jumpa lagi Bu Bos dan Pak Bos.'' Alan langsung melangkah keluar dari rumah mereka, ia takut dengan Pemimpin perusahaan Hilton yang emosian itu.
''Emmm... Ben, kamu tidak apa-apa bertemu Ayahmu?''
''Memangnya kenapa? Dia orang yang buruk? Kamu takut padanya?'' Ben mendekatkan dirinya dan menatap istrinya.
Clarissa menggeleng, ia tak takut. Hanya saja dirinya khawatir Ben akan mengingat masa lalu mereka. Ia takut akan kehilangan Ben untuk selama-lamanya. Clarissa ingin menghabiskan waktunya bersama Ben selama mungkin namun ia tahu itu mustahil, ia merasa bodoh karena tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan.
''Aku takut Dia menyuruhmu bekerja keras untuk perusahaannya, kalau kamu sakit kepala lagi bagaimana! Aku tidak mau kamu merasakannya.''
Ben memegang pipi istrinya, ''kamu tidak usah khawatir.'' Keduanya terbalut suasana sampai akhirnya Clarissa memalingkan wajah.
''Bagaimana kalau kamu mandi dulu, nanti aku yang akan berbicara terlebih dahulu dengan Ayahmu. Kamu berkeringat banyak tahu,'' Clarissa mencoba agar Ayah mertuanya mengobrol dengannya. Ia ingin memintanya untuk tak terlalu keras pada suaminya dan meminta beberapa waktu lagi untuk Ben bekerja. Misalnya satu minggu lagi, walau memang tetap beresiko tetapi lebih baik di banding sekarang.
Ben meneliti tubuhnya dan mencium pakaian yang ia kenakan, ''sebenarnya tidak mau tapi kamu benar sepertinya aku harus mandi dulu.''
To be continue...