Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Malam itu suasana rumah Puri berubah menjadi hangat dan meriah.
Lampu-lampu gantung sederhana menghiasi teras, meja makan dipenuhi aneka hidangan rumahan mulai dari nasi liwet, ayam goreng, hingga kue favorit Puri.
Mama benar-benar menyiapkan semuanya dengan sepenuh hati.
Tamu-tamu mulai berdatangan. Yudha datang lebih dulu, mengenakan kemeja putih sederhana dan membawa kotak berisi kue tart bertuliskan [Selamat Puri & Yudha].
Disusul oleh Karan yang datang bersama Tante Mamik dan Om Sasongko.
Karan terlihat lebih rapi dari biasanya, membawa buket bunga kecil untuk Puri.
“Wah, ini baru namanya perayaan kelulusan,” ujar Om Sasongko sambil menepuk punggung Karan dan Yudha.
Puri keluar dari kamarnya, mengenakan dress santai warna pastel. Senyumnya merekah saat melihat semua orang yang ia sayangi berkumpul di sana.
“Terima kasih udah datang semua… Mama pasti capek banget masak segini banyaknya.”
Mama tersenyum sambil melambai, “Mama senang, Puri. Sekali-kali rumah ini ramai itu menyenangkan. Apalagi buat ngerayain anak mama yang luar biasa.”
Karan menghampiri Puri dan menyerahkan bunganya.
“Selamat, sayang. Aku bangga banget sama kamu.”
Yudha juga menyodorkan kotak kue tart sambil tersenyum, “Kalau ini, hadiah kecil dari aku. Kamu yang pilih tulisannya, jadi jangan salahkan aku ya.”
Semua tertawa. Acara pun dimulai. Mereka makan bersama, berbagi cerita tentang perjuangan skripsi, kenangan lucu masa kuliah, dan rencana masa depan.
Tante Mamik beberapa kali memuji masakan Mama, sementara Om Sasongko tak henti-hentinya menyelipkan nasihat-nasihat tentang kerja dan dunia pasca-kampus.
Di sudut meja, Yudha dan Karan sempat duduk berdampingan.
Meski ada sedikit ketegangan awal, mereka mulai berbicara pelan-pelan, seperti dua pria dewasa yang sama-sama peduli pada satu orang yang sama yaitu Puri.
Pesta itu sederhana, tapi penuh makna. Tidak ada musik keras atau keramaian berlebihan hanya suara tawa, canda, dan kasih yang tulus.
Setelah para tamu berpamitan dan suasana rumah mulai tenang, Karan mendekati Mama yang tengah membereskan piring-piring di meja makan. Dengan suara pelan tapi tegas, Karan membuka percakapan.
“Bu.... ” ucap Karan dengan nada sopan, “Saya mau minta ijin. Rencananya minggu depan saya ingin mengajak Puri ke Yogyakarta.”
Mama menghentikan gerakannya sejenak, menoleh menatap Karan.
“Ke Yogyakarta?” tanyanya, mencoba memastikan.
“Iya, Ma. Saya ingin memperkenalkan Puri ke keluarga saya. Hanya perkenalan, tidak lebih. Saya tahu Mama pernah bilang jangan terburu-buru soal pernikahan, dan saya menghormati itu.”
Karan menunduk sedikit, sikapnya sangat hati-hati.
“Saya hanya ingin mereka mengenal siapa perempuan yang saya sayangi.”
Mama menatap Karan lama. Ia terdiam, memikirkan banyak hal tentang Puri, tentang masa depan anaknya, dan tentang lelaki yang kini berdiri di hadapannya.
“Begini, Karan,” ujar Mama akhirnya. “Mama tidak melarang kalian dekat, tapi Mama titip Puri. Dia anak perempuan satu-satunya. Kalau memang niatmu baik, Mama tidak akan menghalangi.”
Karan tersenyum lega. “Terima kasih, Mama. Saya janji akan menjaga Puri sebaik mungkin.”
“Jaga ucapan, jaga sikap. Jangan kecewakan kepercayaan Mama.”
“Insya Allah, Ma,” ucap Karan dengan mantap.
Dari balik pintu, Puri yang sempat menguping percakapan itu menahan senyumnya.
Ia merasa hangat di hati, karena perlahan, semua orang yang ia sayangi mulai saling memahami.
Puri yang sejak tadi berdiri di balik pintu langsung berlari kecil dan memeluk Mama dari belakang. Pelukannya erat, penuh rasa syukur dan haru.
“Terima kasih, Ma…” bisiknya pelan.
Mama menoleh dan mengusap kepala Puri dengan lembut.
“Mama cuma ingin yang terbaik buat kamu, Nak. Kalau memang dia niatnya baik, Mama percaya. Tapi kamu juga harus tetap jaga diri dan jangan lupa tujuan utama kamu.”
Puri mengangguk, air matanya menetes pelan. “Puri janji, Ma. Puri nggak akan kecewakan Mama.”
Karan yang melihat momen itu hanya bisa tersenyum haru. Di dalam hatinya, ia semakin mantap untuk menjaga Puri dengan sepenuh hati.
Malam itu ditutup dengan kehangatan dan rasa lega. Perlahan, segalanya mulai menemukan jalannya.
Yudha yang belum sempat pulang, ternyata masih duduk di teras samping rumah.
Tanpa sengaja, ia mendengar percakapan Karan dan Mama, termasuk rencana Karan yang ingin membawa Puri ke Yogyakarta untuk dikenalkan pada keluarganya.
Hatinya mencelos. Meski ia sudah berusaha mengikhlaskan, ternyata mendengar kenyataan itu langsung dari mulut Karan tetap membuat dadanya sesak.
Ia menarik napas panjang, mencoba meredam rasa yang tak lagi berhak ia miliki.
Saat Puri memeluk mamanya dan ucapan terima kasih terdengar jelas, Yudha tahu, semuanya benar-benar sudah berubah.
Dengan langkah pelan, Yudha bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan rumah tanpa pamit.
Di sepanjang jalan pulang, pikirannya melayang jauh, penuh kenangan, tapi juga dengan tekad baru untuk belajar benar-benar merelakan.
Dengan langkah berat dan mata yang mulai memerah, Yudha terus berjalan menyusuri jalanan malam yang lengang.
Setiap langkahnya seperti membawa beban rindu yang tak lagi bisa dititipkan. Hatinya remuk, tapi wajahnya tetap berusaha tegar, meskipun air mata tak lagi bisa ia tahan.
Di dalam kepalanya, suara tawa Puri, senyum hangatnya, dan kebersamaan mereka yang dulu, berputar seperti film lama yang diputar ulang tanpa henti.
Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan sesak yang makin menghimpit.
“Sakit sekali rasanya…” gumam Yudha lirih, hampir tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Ia berhenti di bawah lampu jalan, menengadah, menatap langit malam yang gelap seolah berharap angin bisa membisikkan kekuatan untuk merelakan.
Tapi yang ada hanya sunyi. Sunyi yang menampar dan mengingatkannya bahwa cinta tak selalu harus memiliki.
Meski sakit, malam itu jadi titik balik bagi Yudha bahwa mencintai juga berarti tahu kapan harus mundur, dan bagaimana belajar melepaskan dengan kepala tegak.
Sesampainya di rumah, Yudha membanting tubuhnya ke ranjang tanpa mengganti pakaian.
Tangannya gemetar saat membuka laci meja dan mengeluarkan tumpukan foto-foto lama potret-potret kebersamaannya dengan Puri saat masih akrab, saat dunia mereka hanya berisi tawa dan rahasia kecil yang hanya mereka tahu.
Satu per satu foto itu ia genggam. Ada tawa, ada senyum, ada kenangan yang tak akan pernah bisa diputar ulang. Dan di tengah tawa yang perlahan berubah menjadi tangis, Yudha tak kuasa menahan perasaannya lagi.
Ia tertawa kecil sambil menangis, seakan tak percaya semuanya hanya tinggal kenangan. Lalu dengan suara parau yang mengguncang, ia berteriak:
“PURI, AKU MENCINTAIMU!! JANGAN TINGGALKAN AKU, PUR! AKU BERHARAP... SEMOGA KAMU MENJADI ISTRIKU!!”
Tangisnya pecah. Ia memukul-mukul dadanya yang terasa seperti dihimpit batu besar.
Napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Rasa sakit karena kehilangan begitu nyata, menusuk hingga ke tulang.
Malam itu, Yudha sendirian. Tak ada pelukan, tak ada yang mendengar.
Hanya dinding kamarnya yang menjadi saksi dari cinta yang tak sempat terwujud… dan hati yang perlahan belajar untuk sembuh.