Istri kedua itu memang penilaiannya akan selalu buruk tapi tidak banyak orang tau kalau derita menjadi yang kedua itu tak kalah menyakitkannya dengan istri pertama yang selalu memasang wajah melas memohon simpati dari banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ranimukerje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Wisnu pulang dengan tampilan kusut. Kemeja keluar dari celana dasi sudah terlepas jas tersampir ditangan rambut berantakan menandakan banyaknya beban pikiran. Sejak mobil yang dikendarainya keluar dari halaman rumah orangtuanya, ponsel di saku celana terus berdering. Wisnu tau itu nara sang istri yang menelpon tapi tak ada keinginan sama sekali untuk menerima telpon itu. Entah kenapa, makin hari rasa yang dulu begitu menggebu perlahan hambar bahkan tanpa wisnu sadari sudah hilang.
"Mas, kemana aja? Aku telpon ga diangkat."
Baru juga masuk kedalam rumah sudah dibentak. Seharusnya kan wisnu disambut dengan senyuman lalu dibuatkan segelas teh dan disiapkan makan tapi ini malah langsung mendapat omelan.
"Kamu darimana mas? Aku telpon ke kantor katanya kamu udah keluar kantor dari jam 3 nah sekarang udah jam 9 kamu baru sampai rumah. Selama itu, kamu kemana?"
Tak langsung menanggapi, wisnu memilih menjatuhkan tubuhnya di sofa. Kepalanya seketika diserang pening begitu mendengar omelan panjang dari istrinya.
"Mas" sentak nara lagi dengan suara yang lebih keras.
"Ra, kamu ga usah teriak-teriak. Aku ga budeg."
Nara merotasi bola matanya, jengah sekaligus masih marah pada wisnu yang tak mau menerima panggilan darinya. Padahal, nara sudah menyiapkan acara makan malam untuk mereka bertiga. Nara wisnu dan juga febri, mereka rencananya akan makan malam bersama membahas pernikahan antara wisnu dan febri yang sudah febri setujui.
"Aku dari rumah mama tadi, kamu bisa kan tanya baik-baik ga perlu teriak-teriak. Ini bukan hutan dan lagian kepala ku sakit sekarang mending kamu menjauh."
Mengusir, ya wisnu mengusir istrinya guna menjaga kewarasannya agar tidak ikut tersulut emosinya karena kalau sampai wisnu ikut emosi dengan kondisinya yang sedang sakit kepala begini malah takut saja kalau nanti wisnu jadi kelepasan.
"Kamu apaan sih mas, ngusir aku kayak gitu. Buat apa juga kamu ke rumah mama lagi, pasti disana mama jelek jelekin aku kan. Apalagi yang mama omongin tentang aku?"
Wisnu yang tadi memejamkan mata seketika membuka matanya lebar lebar.
"Maksud kamu ngomong gitu itu apa?"
Nara diam, wajah wisnu yang merah padam jadi penyebab nara diam.
"Kamu tanya aku ngapain ke rumah orangtua ku?"
Wisnu menggeleng kasar. Amarah yang ditahan sejak tadi seketika berkobar.
"Aku ke rumah mama itu ya buat apa ga perlu kamu tanya juga, mereka itu orangtua ku kalau kamu lupa. Dan juga, kamu harus dengar lagi dan lagi kalau mama ku ga pernah sekalipun ngomongin kamu pas aku datang kesana apalagi menjelek jelekkan kamu seperti tuduhan mu selama ini."
Nara makin diam, wisnu yang begini ini baru pertama kali nara melihatnya. Wajah merah mata menatap nyalang dan gemeletuk gigi tanda marah itu terdengar jelas sekali. Malam sunyi itu semakin mencekam saat wisnu maju satu langkah kearah istrinya.
"Ra, aku tanya sama kamu. Kamu pernah ga anggap papa dan mama ku sebagai orangtua mu? Karena yang aku lihat selama ini kamu menganggap orangtua ku seperti musuh khususnya mama."
Wisnu diam sejemang, memperhatikan wajah takut istrinya. Dalam hati, wisnu tak tega melihat nara yang ketakutan begini tapi wisnu sudah muak. Sangat muak sekali.
"Sejak kita menikah, secara ga langsung kamu meminta ku menjauh dari mereka. Mereka yang membuat ku terlahir dan bisa hidup dengan nyaman bahkan kenyamanan ini juga kamu ikut merasakannya. Jangan terus egois dengan menuntut lebih ke aku ra. Aku bisa capek bahkan lelah."
Suara wisnu melemah, ia lihati lagi wajah istrinya yang sekarang sudah basah karena air mata. Nara memang diam tapi air matanya banjir.
"Kamu dengan segala permintaan mu yang tak bisa dibantah, aku selalu iyakan. Apapun itu ra karena aku cinta aku cinta kamu. Yang aku jadikan patokan itu adalah sisa hidup ku akan sama kamu ga sama orangtua ku tapi makin kesini kamu malah makin menjadi. Jujur saja, aku lelah sama kamu."
Deg
Dada nara sesak, mendengar setiap kata yang keluar dari mulut suaminya membuat nara kesulitan bernapas. Tak menyangka kalau wisnu akan bisa mengucapkan hal semenyakitkan ini. Wisnu yang menurut nara akan selalu cinta pada dirinya juga tak mungkin mengatakan lelah akan dirinya tapi nyatanya wisnu sudah sampai batas sabarnya saat ini.
"Kamu mau aku menikah lagi kan? Ayo bawa gadis itu kemari, aku siap menikahinya."
Kalimat yang baru saja wisnu ucapkan sebagai akhir dari percakapan keduanya karena sejak malam itu wisnu sudah tak lagi masuk kekamar mereka untuk berbagi ranjang dengan nara. Wisnu tetap tinggal disana satu rumah denhan nara namun akan banyak menghabiskan waktunya diruang kerja bahkan istirahat pun disana, kembali kekamar hanya untuk mengambil setelan kerja saja.
.
.
.
Diminggu kedua setelah perdebatan itu.
"Mas, febri sudah bilang siap kamu nikahi. Kapan bisa ....."
Ucapan nara berhenti karena wisnu sudah berbicara dengan nada dingin.
"Lusa, bawa dia kerumah papa. Aku akan menikah dengannya disana."
"Tapi febri ....."
Wisnu menatap nyalang kearah istrinya yang duduk diseberangnya karena mereka sedang sarapan bersama pagi itu.
"Apa?"
"Dia minta kamu melamar dulu keorangtuanya juga minta agar aku dan orangtua ku ga ada disetiap acara itu."
Senyum wisnu tercetak dibibirnya. Menarik batin wisnu.
"Apapun, kamu urus. Aku mau semuanya beres kalau untuk urusan dengan gadis itu. Sisanya biar jadi urusan ku."
Sarapan belum habis tapi wisnu memilih pergi. Nafsu makannya hilang, walau wajahnya datar seperti menerima apa apa yang jadi kemauan istrinya sejatinya juga tak begitu. Wisnu belum rela berbagi hati juga tubuh dengan wanita lain. Masih ada nara di hatinya, wisnu masih memikirkan akan bagaimana nara nanti kalau dirinya benar benar sudah menikah lagi.
Beruntung kesibukan dikantor bisa mengalihkan pikiran wisnu yang penuh dengan masalahnya dirumah. Walau beberapa waktu wisnu sempat tak fokus tapi hari ini semuanya berjalan dengan lancar tapi wisnu tak yakin untuk hari hari berikutnya karena wisnu yakin masalah baru akan terus muncul setelah ini.
"Jalani saja, gimana besok entahlah."
Hanya kalimat itu yang terus wisnu ulang dalam hati setiap pikirannya teringat dengan sang istri yang hatinya begitu keras dengan ego tinggi.
"Semoga saja kamu tidak akan menyesal dengan semua keinginan mu ini."
"Happyreading"