CEO dingin Ardan Hidayat harus bertunangan dalam tiga bulan demi warisan. Ia memilih Risa Dewi, gadis keras kepala yang baru saja menghancurkan kuenya, untuk kontrak pertunangan palsu tanpa cinta. Tapi saat mereka hidup bersama, rahasia keluarga Risa sebagai Pewaris Tersembunyi keluarga rival mulai terkuak. Bisakah kepura-puraan mereka menjadi kenyataan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ᴛʜᴇ ꜱᴀᴅɪᴇ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan di Malam Terakhir
Risa kembali ke penthouse dalam keadaan panik. Wajah Bima di gerbang tanah itu menghantuinya. Ia tahu Bima tidak hanya mengikutinya; Bima sekarang memiliki potongan teka-teki terakhir yang ia butuhkan untuk menghancurkan Ardan—lokasi pengeluaran dana tunai rahasia.
Malam itu adalah malam terakhir mereka sebelum pernikahan. Menurut tradisi, mereka seharusnya tidur terpisah. Namun, Risa tahu ia tidak bisa menunggu.
Ia menemukan Ardan di ruang kerja, dikelilingi dokumen. Ardan mendongak, matanya sedikit lelah namun bahagia.
"Kau kembali. Bagaimana fitting gaun pengantinnya? Kau harus cepat tidur, Risa," kata Ardan, tersenyum kecil.
Risa tidak membalas senyumnya. Ia mengunci pintu, dan berjalan mendekati Ardan, ekspresinya dipenuhi ketakutan.
"Ardan, kita dalam masalah besar," Risa memulai, suaranya tercekat. "Ini tentang Bima. Saya melanggar kontrak. Saya menyelidiki ancamannya."
Ardan langsung berdiri, semua kehangatan di wajahnya lenyap. "Kau melakukan apa? Risa, apa yang sudah kukatakan tentang kejutan? Apa yang kau temukan?"
Risa mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pesan anonim dari Bima, lalu melanjutkan dengan menceritakan pertemuan rahasianya dengan Pak Hadi, sampai pada penemuan tentang tanah yang dibeli Ardan.
"Bima mengancam akan menggunakan pembelian tanah tunai itu, yang tidak tercatat di dewan, untuk menuduh Anda melakukan penggelapan dana perusahaan, tepat pada hari pernikahan. Dia akan menjatuhkan kepercayaan investor," jelas Risa, napasnya tersengal.
Ardan mendengarkan dengan rahang yang menegang. Wajahnya menjadi sekeras batu saat ia menyadari seberapa dekat Bima datang. "Aku tahu dia akan menyerang kelemahan finansialku. Tapi aku menyembunyikan transaksi itu begitu baik... Bagaimana kau tahu, Risa?"
"Pak Hadi. Dan saya pergi ke sana," kata Risa, lalu ia menunjukkan foto-foto papan nama proyek panti jompo. "Bima tahu saya pergi ke sana. Dia melihat saya. Dia tahu apa yang Anda sembunyikan."
Ardan menatap foto panti jompo yang dinamai Nenek Wulan. Untuk pertama kalinya, ia melihat kebaikan yang ia coba sembunyikan, diekspos oleh Risa. Ia juga menyadari betapa Risa mempertaruhkan segalanya, termasuk kepercayaannya, untuk melindunginya.
Ardan berjalan ke Risa, dan alih-alih marah, ia memeluknya erat-erat. Pelukan itu terasa seperti badai yang akhirnya mencapai pelabuhan yang aman.
"Kau gila," bisik Ardan, suaranya sedikit gemetar. "Kau mempertaruhkan kontrak dan hidupmu. Mengapa kau tidak memberitahuku?"
"Karena Anda sudah terlalu banyak berkorban untuk saya, Ardan. Dan saya tidak ingin Anda mengira saya mata-mata. Saya ingin melindungi Anda," jawab Risa, membalas pelukannya dengan kekuatan penuh. "Jadi, benar. Itu untuk Nenek Wulan?"
Ardan mengangguk. "Itu adalah hadiah untuk Nenekmu, dan untukmu. Agar Nenekmu tahu bahwa kau tidak salah memilih. Itu harus dirahasiakan karena dewan direksi akan menuduhku menggunakan dana perusahaan untuk membelimu."
"Sekarang Bima tahu. Dia akan memutarbalikkan narasi itu," kata Risa, melepaskan diri. "Apa yang harus kita lakukan? Dia akan menyerang di hari-H."
Ardan menyeringai, matanya yang tajam memancarkan semangat juang yang dingin. "Bima lupa satu hal, Risa. Dia tidak bisa memutarbalikkan cerita jika kita yang mengungkapkannya terlebih dahulu. Dan kita akan menggunakan altar itu, bukan hanya untuk menikah, tetapi untuk menghancurkan Bima."
Ardan mengambil tangan Risa, mencium punggung tangannya. "Kita tidak akan membiarkan Bima menyerang kita dengan rahasia. Kita akan menggunakan kebenaran sebagai tameng. Besok, kau bukan hanya pengantinku. Kau adalah rekan setimku, Risa. Kau harus siap untuk improvisasi terakhir, kejutan yang tidak ada dalam kontrak."
Risa mengangguk, semua ketakutannya menghilang digantikan oleh adrenalin dan tekad yang dibagi bersama. "Saya siap, Ardan. Apa pun rencana Anda."
Ardan tersenyum, senyum yang begitu tulus sehingga menerangi seluruh ruangan. Ia memeluk Risa lagi, pelukan yang berlangsung lama. "Terima kasih, Risa. Untuk memilihku. Bahkan ketika kau tidak harus melakukannya."
Malam itu, mereka tidur di kamar yang berbeda, sesuai tradisi. Tetapi, mereka tidur dengan pikiran yang saling terhubung, berjanji untuk menghadapi pertempuran terakhir yang menanti mereka di altar.