Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih Berbahaya Dari Musuh
Langkah-langkah berat bergema di lorong batu yang dingin dan berdebu, saat Andreas, Arthur, dan Dimitri bergegas keluar dari ruang bawah tanah. Richard memimpin di depan, gerak tubuhnya tegang, seolah-olah ia tengah membawa kabar kematian. Di belakangnya, ketiga pria itu berjalan cepat, tidak satu pun mengeluarkan suara.
Lorong itu terasa lebih panjang dari biasanya. Lukisan-lukisan tua di dinding tampak memandang mereka dengan sorot mata kosong, menambah kesan mencekam. Aroma lembap bercampur debu memenuhi udara.
Setibanya di lantai atas, mereka mendekati sebuah kamar besar di sisi kanan koridor. Pintu kayu ukiran itu terbuka lebar. Dari balik ambang pintu, terlihat beberapa pelayan wanita tengah sibuk mengelilingi ranjang besar berkanopi putih. Di atas kasur, seorang wanita muda terkapar lemah. Rambut hitam panjangnya berantakan, kulitnya tampak pucat kontras dengan baju putih tipis yang dikenakannya—baju itu kini bernoda merah di bagian dada.
Andreas melangkah lebih dulu ke dalam ruangan, alisnya berkerut dalam. Begitu melihat noda darah di pakaian Mistiza, ia menghentikan langkah dan bertanya dengan nada dingin namun penuh tekanan, "Apa yang terjadi di sini? Dari mana asalnya dari itu?"
Seorang pelayan wanita berambut pirang membungkuk dalam-dalam, suara gemetar saat menjawab, "Maafkan kami, Tuan... Tadi tiba-tiba Nona Mistiza pingsan, dan darah itu keluar dari hidungnya. Kami juga merasa suhu tubuhnya sangat tinggi. Kami mencoba menurunkan panas tubuhnya dengan kompres air"
Suaranya mengecil di akhir kalimat, takut membuat kesalahan di hadapan majikan mereka yang terkenal tidak sabaran itu.
Arthur dan Dimitri bertukar pandang, lalu mendekat ke arah ranjang. Mereka baru pertama kali melihat sosok Mistiza secara langsung. Wajah wanita itu cantik, meski saat ini dipenuhi rona sakit. Bibirnya sedikit membiru, nafasnya pendek dan berat.
Arthur, dengan ekspresi setengah terhibur, menoleh ke Andreas sambil mengangkat alis. "Siapa gadis ini? Kau tidak pernah bilang punya mangsa secantik ini pada kami"
Dimitri yang berdiri di sisi lain ranjang, menambahkan dengan suara serius, "Apakah dia bagian dari operasi kita? Sepertinya terlalu lemah jika dia merupakan seorang lawan"
Andreas menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat, berhenti tepat di sisi Mistiza. Dengan suara berat, ia menjawab, "Dia Mistiza. Calon istri Ryan."
Arthur mengerutkan kening. "Calon istri adikmu? Maksudmu...?"
Andreas mengangguk tanpa ragu. "Aku menculiknya di hari pernikahan mereka."
Untuk beberapa detik, ruangan itu sunyi. Kemudian, nyaris serempak, Arthur dan Dimitri meledak dalam tawa keras. Arthur bahkan harus memegang pinggangnya, tertawa terpingkal-pingkal hingga wajahnya memerah.
"Astaga, Andreas," seru Arthur di sela tawanya. "Kau benar-benar tidak pernah kehabisan akal untuk membuat kekacauan."
Dimitri menggeleng sambil tersenyum lebar. "Aku kira aku sudah melihat semua kegilaan di dunia ini, tapi kau benar-benar memberikan level baru untuk itu. Kenapa kau menculiknya? Kalian saling berebut wanita?"
“Omong kosong apa itu?!” Andreas menatap mereka dingin, membiarkan kedua sahabat lamanya puas menertawakannya.
Setelah gelak tawa mereka mereda, Dimitri segera beralih ke mode profesional. Ia mendekat, menempatkan punggung tangannya ke dahi Mistiza. Keningnya berkerut.
"Suhu tubuhnya di atas normal," gumamnya. "Sekitar tiga puluh sembilan derajat Celsius, mungkin lebih. Denyut nadinya cepat, tapi masih teratur. Ini tanda-tanda tubuh mengalami penurunan kondisi drastis... mungkin infeksi ringan atau kelelahan parah."
Ia lalu mengambil pergelangan tangan Mistiza, mengecek denyut nadinya dengan hati-hati.
"Dia drop" simpul Dimitri setelah beberapa saat. "Tekanan darahnya kemungkinan turun. Dia butuh cairan, pendinginan, dan mungkin antibiotik ringan kalau ada infeksi tersembunyi."
Andreas mengerutkan alis, menatap wajah pucat Mistiza. Ada ketidaknyamanan yang tersembunyi di balik ekspresi kerasnya. Bukan karena rasa takut atau panik, melainkan rasa heran—semacam ketidakpercayaan atas situasi yang terjadi.
"Aneh," gumam Andreas. "Aku memberikan makanan bergizi. Daging tanpa lemak, buah segar, sup panas. Bahkan tadi pagi, ia membantu para pelayan menyiram bunga di taman. Tidak ada tanda-tanda ia akan jatuh sakit."
Arthur menatap Andreas dengan senyum separuh mengejek. "Mungkin tubuhnya tidak terbiasa dengan kehidupan dalam penyanderaan."
Dimitri melirik Arthur, lalu berkata serius, "Bisa jadi. Stres emosional bisa memicu reaksi fisik, terutama pada wanita yang sebelumnya hidup dalam tekanan rendah. Kau seharusnya lebih memperhatikan faktor psikologisnya juga."
Andreas mendengus pelan. "Dia terlalu keras kepala untuk stres."
Pelayan-pelayan di sekitar ranjang masih menunggu instruksi. Andreas mengibaskan tangannya. "Keluar semuanya. Biarkan kami yang urus."
Mereka segera membungkuk dalam-dalam, lalu bergegas meninggalkan kamar, menutup pintu perlahan di belakang mereka.
Setelah ruangan kembali sepi, Dimitri melirik Andreas. "Aku harus memeriksanya lebih teliti. Kau punya peralatan medis kan, aku bisa melakukan penanganan darurat di sini dulu. Apakah kau mengizinkan?"
Andreas mengangguk sekali, singkat. Dia menyuruh seorang pelayan mengambil koper medis di ruang kesehatan, tak lama pelayan kembali sambil menyerahkan barang yang diminta.
Dimitri bergerak cepat. Ia membuka koper tersebut, mengambil beberapa peralatan dasar—termometer digital, stetoskop, dan jarum suntik kecil berisi larutan saline untuk pertolongan pertama.
Sementara Dimitri sibuk, Arthur berjalan perlahan semakin mendekat ke tepi ranjang, mengamati wajah Mistiza yang damai namun tampak memprihatinkan.
"Aku penasaran," katanya sambil tetap memandang keluar. "Apa yang kau rencanakan dengan wanita ini, Andreas? Kenapa tidak membiarkan dia m*ti saja? Kau justru merawat dan mengurusnya"
Andreas tidak langsung menjawab. Ia menatap Mistiza, melihat gadis itu menggeliat lemah di bawah perawatan Dimitri.
"Aku belum memutuskan," ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. "Tetapi yang pasti aku tak akan membiarkan dia bertemu dengan Ryan sampai aku mendapatkan kepemilikan perusahaan"
Arthur berbalik, menatap Andreas dengan sorot penuh rasa ingin tahu. "Kau masih mengharapkan perusahaan yang tak seberapa itu? Come on, bisnis mu lebih maju daripada perusahaan tua itu"
“Banyak keringat serta darah mendiang ibuku disana, dialah yang ikut berjuang membangun perusahaan itu dan akulah pewaris sebenarnya. Aku akan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku!” Tutur Andreas penuh tekad.
Dimitri menyelesaikan pemeriksaan awalnya. Ia berdiri dan menarik napas dalam-dalam.
"Kondisinya stabil untuk saat ini. Aku sarankan kau memindahkannya ke ruangan yang lebih sejuk, berikan kompres dingin, dan beri cairan infus ringan. Aku akan mengirimkan antibiotik dan vitamin lewat Richard."
Andreas mengangguk. "Apa dia akan pulih cepat?"
Dimitri mengangkat bahu. "Kalau tidak ada komplikasi lain, dalam dua atau tiga hari, ia akan kembali normal. Tapi untuk berjaga-jaga, harus ada yang memantaunya setiap beberapa jam."
Arthur menyeringai kecil. "Tampaknya markas ini bukan hanya menjadi pusat konspirasi dan persekongkolan kriminal, tetapi juga klinik darurat sekarang."
Andreas tidak menanggapi ejekan itu. Ia melangkah ke sisi ranjang, membungkuk sedikit, memperhatikan wajah Mistiza dari dekat.
Perlahan, ia mengulurkan tangan dan menyibak helaian rambut hitam dari wajah Mistiza, gerakan yang begitu lembut hingga membuat Arthur dan Dimitri sama-sama tertegun.
Ada sesuatu yang mereka, sebagai sahabat lama Andreas, tidak biasa lihat.
"Dia kuat," gumam Andreas nyaris untuk dirinya sendiri. "Terlalu kuat untuk menjadi korban."
Arthur mendekat, menepuk bahu Andreas sekali dengan telapak tangannya. "Hati-hati, sahabatku. Wanita seperti itu bisa lebih berbahaya daripada musuh bersenjata."
Dimitri menyeringai. "Kalau kau tidak berhati-hati, bisa jadi kau yang akan jatuh ke dalam jaring yang kau buat sendiri."
Andreas mengangkat matanya, menatap kedua sahabatnya. "Aku selalu tahu apa yang kulakukan."
Arthur hanya tertawa pendek, seolah tidak sepenuhnya mempercayai keyakinan itu.
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu