Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.
Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.
Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.
bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal pengobatan
Malam turun pelan, menyelimuti seluruh sisi bangunan tersembunyi yang berada di pegunungan sunyi. Di dalamnya, lampu-lampu LED putih menyala di sepanjang lorong bawah tanah. Ruangan itu steril—tapi terasa bukan rumah sakit.
Di balik pintu logam yang terkunci dua lapis, Margaret masih terbaring lemah.
Tapi kali ini… ada dua orang asing di dalam ruangan.
Pria dan wanita berpakaian serba putih, tanpa identitas. Mereka sibuk menyiapkan cairan infus baru dan alat medis yang tidak umum.
Arkan berdiri di sudut, mengenakan pakaian medis lengkap.
Wajahnya tertutup masker, tapi matanya penuh ketegangan.
Ini bukan hanya soal cinta. Ini soal hidup—dan rencana yang tak boleh gagal.
“Jangan terlalu banyak dosis awal. Kondisi jantungnya rapuh,” ucap Arkan dingin pada wanita itu.
Wanita itu mengangguk. “Aku tahu risikonya. Tapi kalau kita gak mulai sekarang, waktu dia habis.”
Sementara itu, pria satunya menyiapkan sebuah tabung kecil berisi cairan bening kehijauan.
“Terapi enzim biologis ini masih dalam uji coba. Tapi kalau benar, bisa menghentikan penyebaran sel abnormal dalam tubuhnya.”
Arkan mendekat ke sisi tempat tidur Margaret. Ia menggenggam tangan kurus itu dengan pelan, suaranya nyaris bergetar di balik tenangnya:
“Ini mungkin akan nyakitin lo...
Tapi kalau lo sadar nanti, gue harap lo ngerti... gue ngelakuin ini supaya lo gak mati di dunia yang udah nyakitin lo terlalu lama.”
Margaret mengerang kecil. Efek obat bius sudah menipis. Matanya sempat terbuka setipis garis, tapi belum sepenuhnya sadar.
Arkan memberi kode.
“Mulai sekarang.”
**
Jarum ditusukkan ke pembuluh Margaret. Cairan biologis mengalir pelan ke tubuh lemah itu. Beberapa sensor mulai berbunyi pelan, mencatat reaksi tubuhnya terhadap zat asing itu.
Detak jantung naik.
Suhu tubuh menurun sedikit.
Gelombang otak… mulai aktif.
Wanita itu melirik Arkan. “Tubuhnya sedang melawan.”
“Biarkan. Dia kuat.” Suara Arkan penuh keyakinan.
**
Setelah 2 jam proses berjalan, alat-alat dipadamkan perlahan.
Margaret tertidur kembali, namun keringat dingin membasahi dahinya. Arkan mengusapnya perlahan dengan handuk kecil.
“Hari pertama berhasil. Tapi ini baru awal.”
**
Beberapa menit kemudian, saat dua asisten medis keluar dari ruang pengobatan…
Arkan tetap tinggal.
Ia duduk di kursi di samping ranjang Margaret. Menatap wajah pucat itu dengan tatapan rumit.
“Lo pasti benci gue kalau tahu semua ini. Tapi gue lebih rela dibenci… daripada harus kehilangan lo.”
“Besok kita mulai lagi. Perlahan. Tapi pasti.”
“Dan saat lo sembuh… lo akan mengerti. Gue satu-satunya orang yang gak pernah ninggalin lo.”
Dan untuk pertama kalinya… ada titik air di sudut mata Arkan.
Bukan karena lemah. Tapi karena dia sadar:
Kalau gagal... dia bukan hanya kehilangan Margaret. Tapi juga dirinya sendiri.
Ruangan itu masih sama—putih, steril, dan sunyi.
Hanya suara napas pelan Margaret yang terdengar di antara detak mesin monitor.
Pagi telah datang, namun matahari tak pernah menembus tempat itu.
Margaret perlahan membuka matanya, sayu dan berat. Cahaya lampu menyilaukan, tapi ia tak punya tenaga untuk memalingkan wajah.
“Margaret…”
Suara itu lembut, dalam, tenang.
Ia memutar pandangannya perlahan. Di sebelah ranjang, duduk sosok yang wajahnya samar karena pandangannya masih buram. Tapi… ia mengenal suara itu.
Arkan.
"Lo udah sadar..." ucap Arkan pelan.
Ia menyodorkan gelas kecil berisi air dan mengangkat kepala Margaret sedikit dengan tangan kirinya.
Tangan kanan Arkan memegangi gelas, mendekatkannya ke bibir Margaret.
“Pelan-pelan, ya.”
Margaret membuka bibir pelan. Air itu masuk, dingin, menenangkan tenggorokannya yang kering.
Ia menelan dengan sedikit kesulitan, tapi tak ada penolakan.
Arkan menyeka sudut bibir Margaret dengan tisu.
“Gue... masakin bubur buat lo,” katanya pelan, lalu berdiri mengambil mangkuk kecil dari atas meja.
Bubur hangat, polos, tanpa bumbu berlebihan. Aman untuk tubuh yang masih lemah.
Arkan duduk kembali di sisi ranjang, mengambil sendok, meniup bubur itu sebentar… lalu menyuapkannya ke arah bibir Margaret.
Margaret menatap sendok itu sesaat, ragu. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menolak.
Ia membuka mulut pelan. Bubur masuk. Ia kunyah pelan… lalu telan.
“Enak?” tanya Arkan sambil tersenyum kecil.
Margaret tak menjawab. Tapi ekspresi tak menolak itu cukup bagi Arkan untuk terus menyuapi.
Satu sendok.
Ditiup pelan.
Disuapkan dengan tenang.
Suasana terasa seperti dunia terhenti. Tak ada suara lain. Tak ada ingatan buruk.
Hanya dua orang dalam ruang asing: satu memelihara. Satu... mencoba bertahan.
“Lo gak usah mikirin apa-apa dulu,” bisik Arkan pelan saat Margaret mulai terkantuk lagi.
“Lo cuma perlu makan... sembuh... dan tetap hidup.”
Setelah beberapa suapan, Margaret tertidur lagi. Tubuhnya masih terlalu lemah.
Arkan meletakkan mangkuk di samping. Ia kembali duduk, memandangi wajah lelah itu.
Ia mengelus rambut Margaret yang menipis dengan pelan.
“Gue gak akan biarin lo mati.
Sekalipun lo harus benci gue nanti. Gue rela.
"Yang penting... lo tetap ada.”
Ia membungkuk dan mengecup pelan dahi Margaret.
Bibirnya menyentuh kulit dingin, tapi jantungnya masih berdetak keras.
Arkan tak berkata lagi. Ia hanya duduk… dan berjaga.
Sampai Margaret benar-benar pulih.
Atau... sampai dunia menghentikan mereka.
______________
Margaret duduk di kursi dekat jendela kecil yang hanya memperlihatkan langit palsu. Ruangan itu terlalu sunyi untuk disebut rumah, tapi terlalu nyaman untuk disebut kurungan.
Tubuhnya masih lemah, namun hari ini... dia bisa duduk sendiri.
Tangannya yang gemetar memegang buku catatan kosong dan pulpen yang diberikan Arkan kemarin.
Di balik tubuh ringkih itu, perlahan... napasnya mulai stabil.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Margaret menulis.
“Hari keberapa aku di sini?
Aku gak tahu. Tapi hari ini aku bisa duduk.
Rasanya seperti… hidup kembali.”
Dari sudut ruangan, Arkan memperhatikan tanpa suara.
Ia tidak mendekat. Tidak menyentuh. Hanya berdiri dan menyaksikan Margaret… menulis.
Sesuatu yang tidak ia lakukan lagi sejak penyakitnya mulai merebut semua energi.
Margaret melirik Arkan sekilas. “Lo cuma berdiri? Gak capek?”
Arkan tersenyum tipis. “Gak, kalau yang gue lihat lo.”
Margaret memutar bola matanya. Tapi tanpa sadar, ia juga tersenyum kecil.
Bukan senyum hangat. Tapi bukan senyum penuh luka juga.
Senyum yang belum ada tiga minggu ini.
“Gue gak tahu apa yang lo lakuin ke gue… tapi gue gak mati.”
Nada Margaret datar, tapi Arkan membaca sesuatu yang lain di sana.
Arkan melangkah pelan, lalu duduk di sofa dekat kursi Margaret.
“Lo gak mati,” ulangnya lembut.
“Karena lo belum selesai hidup.”
Margaret menatap langit-langit ruangan. “Dulu gue mikir, kalau waktunya udah habis... ya udah. Tapi ternyata... ada satu hal yang lebih nyakitin dari sakit itu sendiri.”
“Apaan?”
“Waktu gue ngerasa... gue belum sempat ninggalin jejak apa-apa.”
Arkan terdiam. Kata-kata Margaret menusuk lebih dalam daripada yang dia harapkan.
“Lo masih bisa ninggalin jejak, Mar.”
Margaret menatapnya tajam. “Tapi... di mana? Lo pikir gue bisa keluar dari tempat ini?”
Arkan menunduk, matanya menghindar.
Namun Margaret... tersenyum kecil, untuk pertama kali dengan ketulusan.
“Tapi... meskipun begitu...
Kalau gue bisa nulis lagi,
Bisa berdiri, bisa duduk...
Mungkin ini tanda kalau gue belum selesai.”
Ia menatap buku catatannya lagi, lalu menulis dengan tangan gemetar:
“Kalau ada harapan, walau cuma sehelai... aku akan genggam.”
Arkan menatap tulisan itu lama. Di dalam hatinya, ada sesuatu yang hangat.
Rasa yang tak dia pahami: bukan hanya obsesi. Tapi sesuatu yang lebih rapuh. Lebih murni.
“Kalau lo sembuh, lo mau apa, Mar?” tanya Arkan lirih.
Margaret terdiam, lalu menjawab tanpa menoleh:
“Gue mau hidup. Itu aja dulu.”
Dan bagi Arkan, jawaban itu... cukup untuk melanjutkan segalanya.