Warning ⚠️ ini Novel 🌶️🙈
"Jangan pura-pura, Daniar! Aku tahu kamu masih cinta padaku," ujar Leonard, suaranya bergetar dengan gairah.
"Tolong Mas! Lepaskan aku, ini salah, aku tidak bisa melakukan ini. Aku sudah memiliki anak." Daniar berusaha kabur.
"Aku tidak peduli pada statusmu. Hanya kamu! Hanya kamu wanita yang aku inginkan!"
Cinta lama yang tak terlupakan, gairah yang tak terkendali. Leonard, mantan suaminya, kembali mengisi hidup Daniar. Kenyataannya mereka masih sama-sama saling cinta. Apakah Daniar akan memilih cinta lama atau mempertahankan pernikahan keduanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Y, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"TIDAK!!"
Daniar terkejut, hasil tes kehamilan yang ada di tangannya menunjukkan dua garis merah dengan jelas. Sudah puluhan kali ia mencobanya, dan hasilnya selalu sama. Kehamilan datang disaat yang tak diinginkan.
Sambil menangis ia menatap kosong pada hasil tes yang berserakan di lantai kamar mandi. Seakan menjadi pengingat akan kenyataan pahit yang harus diterimanya.
"Kenapa sekarang?" Daniar merintih. "Kenapa setelah semua yang terjadi? Aku belum siap!"
Paman Ruben berdiri didepan pintu kamar mandi, mendengarkan isakan tangis Daniar dengan hati yang berat.
Setelah beberapa menit berlalu, Daniar keluar dari kamar mandi, lalu duduk di sofa untuk menenangkan diri.
"Nyonya, saya sarankan kamu memberitahu Tuan soal kehamilan ini," kata Paman Ruben, yang datang menghampirinya sambil membawakan secangkir teh.
Daniar menggelengkan kepala, merasa takut dan bingung. "Aku tidak tahu, Paman... Aku masih ragu-ragu."
Paman Ruben mencoba menenangkannya. "Bisa jadi kehadiran seorang anak, dapat mengubah keadaan yang sekarang. Saya paham kekhawatiran Anda, tapi tuan Leonard adalah ayahnya."
Daniar menarik napas dalam-dalam, "Aku takut.... Kondisi mental suamiku tidak stabil, bagaimana bisa menjadi ayah yang baik bagi anaknya? Aku tidak ingin anakku juga disakiti seperti ku."
"Saya tahu ini hal yang sulit anda terima, tapi menyembunyikan hal penting ini tidaklah baik. Anda harus memberikan kesempatan kepada tuan Leonard untuk menerima kondisi ini. Kalau dia tahu, mungkin saja dia mau berusaha lebih baik," bujuk Ruben.
Daniar terdiam sejenak, matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi... aku takut dia tidak bisa mengendalikan emosinya. Aku takut anak ini akan tumbuh dalam ketakutan, seperti yang aku rasakan waktu kecil."
Kata-kata Daniar membuat Ruben terdiam, matanya menerawang jauh, pada kenangan masa kecil Leonard. Ia ingat bagaimana hancurnya kondisi mental Leonard sewaktu kecil. Dan tentunya Ruben tak ingin anak Leonard dan Daniar mengalami hal yang sama.
Ruben menarik napas panjang, seolah mencoba mengusir bayangan-bayangan itu. "Nyonya," katanya perlahan, "Saya paham betul apa yang Anda pikirkan. Saya tahu betapa beratnya memutuskan ini. Karena itu, saya serahkan kepada Anda."
"Aku mengerti, Paman. Aku akan memikirkannya dengan baik-baik dulu. Mungkin hari ini bukan saat yang tepat untuk memberitahunya..."
...*****...
Di pagi hari yang cerah ini, Daniar memutuskan untuk berbicara dengan suaminya. Meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kecemasan, ia tahu bahwa tak ada jalan lain selain menghadapinya.
Leonard sedang duduk di meja makan, para pelayan menyiapkan sarapan seperti biasanya tanpa memandang curiga soal hubungan Nyonya dan Tuan mereka sedang tak baik-baik saja.
Daniar duduk disebelahnya, ia terdiam menatap menatap nasi goreng yang masih tergeletak di piringnya, tak tahu harus memulai dari mana. Leonard, suaminya, sibuk dengan sendoknya, menikmati sarapan tanpa terlihat terganggu.
Leonard menoleh, masih dengan ekspresi yang tenang, "Ada apa, sayang?"
Daniar menundukkan kepala, ketegangan memenuhi tubuhnya. Kehamilan ini seharusnya menjadi momen bahagia, tapi hatinya dipenuhi kegelisahan. Kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa berat. Dingin menyelimutinya, bahkan saat Leonard duduk di sampingnya, menunggu untuk berbicara.
"Kenapa kamu tidak mau makan?" tanya Leonard dengan nada lembut, mencoba membuka percakapan, namun Daniar hanya menggeleng, menjawab dengan diam.
Hati Leonard sakit melihat sikap dingin Daniar, yang dulu ceria dan bersemangat, kini jadi tertutup. Dirinya diliputi penyesalan, merasa kesulitan mengendalikan emosi meski sudah berkonsultasi dengan dokter. Ia ingin meraih tangan Daniar, memberi pelukan yang bisa menghiburnya, namun ada sesuatu yang menahannya.
Leonard mengelus lembut kepala istrinya, matanya memandang Daniar dengan rasa sedih. Namun, saat tangan itu menyentuhnya, Daniar gemetar, merasa takut. Tangan yang dulu menyayangi, kini terasa seperti tangan yang pernah menyakiti.
Ingin sekali Daniar menepis tangan itu. Hatinya berontak ingin berteriak, ingin menghindar, dan ingin mengatakan semua yang terpendam, tapi ia memilih untuk tetap diam. Termasuk menyembunyikan kehamilannya.
Leonard menarik napas panjang sebelum berdiri. “Aku berangkat dulu. Jaga diri baik-baik, ya,” katanya dengan suara serak, seperti ada beban yang tak terungkapkan.
Daniar mengangguk pelan, matanya menunduk, enggan bertatapan dengan suaminya. Leonard menatapnya sebentar lagi sebelum akhirnya melangkah pergi. Saat pintu tertutup, hati Daniar kembali diliputi kesedihan yang mendalam. Ia berharap, suatu saat, keadaan bisa berubah, meskipun tak tahu kapan hal itu terjadi.
Daniar mengelus perutnya perlahan, mencoba merasakan kehadiran sang buah hati. Ia berharap bayi ini bisa memberikan kekuatan dan semangat baru, meskipun bayang-bayang ketakutan terus menghantui dirinya.
"Maafkan ibu nak...." ucapnya lirih.
.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
#TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA ❤️❤️❤️
**Jangan lupa meninggalkan jejak kebaikan dengan Like, Subscribe, dan Vote ya...~ biar Author makin semangat menulis cerita ini, bentuk dukungan kalian adalah penyemangat ku...😘😘😘**