NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Yuna menatap koridor rumah sakit yang sunyi. Langit malam menggantung di balik jendela besar, dan cahaya lampu temaram merambat di sepanjang lorong, menyinari langkah-langkahnya yang pelan dan penuh keraguan. Suara detak jam di dinding terdengar nyaring dalam kesunyian itu, seolah ikut menghitung waktu yang terus berjalan menjauhkannya dari Hanif.

Sudah berhari-hari ia mencoba mendekat. Berusaha mencari celah untuk kembali, menebus semua yang pernah ia tinggalkan. Ia datang membawa harapan, membawa kenangan lama yang ia kira masih punya tempat. Tapi setiap kali berbicara dengan Hanif, setiap kali matanya menangkap tatapan lelaki itu, ia sadar: semuanya telah berubah.

Lelaki itu bukan miliknya lagi. Bukan karena waktu yang telah lewat terlalu jauh, tapi karena hati Hanif telah tertambat pada seseorang yang lain. Seseorang yang Yuna kenal… dan tak bisa ia benci—Sekar.

Di balik rasa sakit, Yuna tahu, ini adalah harga dari keputusannya dulu. Ia pernah memilih pergi, melepaskan Hanif dengan mudah. Ia menyangka cinta yang besar itu akan selalu menunggunya. Ia kira Hanif akan tetap diam di tempat, tetap menoleh ke belakang setiap kali ia merasa rindu. Tapi ternyata tidak.

Hanif telah belajar berjalan. Luka yang ia torehkan justru membentuk sosok Hanif yang sekarang—lebih dewasa, lebih kuat, dan lebih berhati-hati.

Dan kini, di malam yang tenang ini, Yuna akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bicara. Bukan untuk meminta kembali, bukan untuk merajuk atau merayu, tapi untuk menyelesaikan yang belum sempat dituntaskan.

Ketika Hanif kembali dari dinas luar kota, Yuna meminta waktu. Lima menit saja, katanya. Mereka bertemu di taman belakang rumah sakit, tempat yang jarang ramai, hanya ditemani aroma rumput malam dan kursi kayu yang usang oleh waktu. Tempat itu pernah menjadi favorit mereka juga—dulu, saat segalanya masih milik mereka.

“Aku cuma butuh lima menit,” kata Yuna pelan, hampir ragu.

Hanif menatapnya sekilas, lalu mengangguk. “Silakan.”

Tak ada senyum, tak ada kehangatan yang dulu sering menyelimuti suara Hanif. Tapi Yuna tidak datang mencari itu. Ia datang mencari titik henti.

Ia duduk perlahan, menjaga jarak. Matanya menatap wajah Hanif yang masih sama—tegas, tenang, dan kini lebih sulit ditebak. Wajah itu pernah jadi tempatnya pulang, tempat ia merasa paling dicintai. Tapi sekarang, ia hanya merasa seperti tamu yang tersesat di rumah yang pernah jadi miliknya.

“Aku tahu aku yang salah, Hanif,” katanya akhirnya, lirih. “Aku yang pergi waktu kamu masih berjuang. Aku yang memilih orang lain… karena saat itu aku merasa kamu terlalu tenang. Kamu terlalu sederhana untuk hidup yang aku bayangkan.”

Hanif tetap diam. Kepalanya sedikit tertunduk, tangannya mengusap permukaan kursi dengan pelan.

“Aku pikir kamu akan tetap ada. Bahwa setelah semua yang kita lalui, kamu akan tetap jadi tempat pulang. Tapi ternyata... kamu pun punya batas untuk menunggu.”

Suara Yuna mulai bergetar, tapi ia menahannya. Ia ingin bicara tanpa air mata kali ini. Ia ingin menuntaskan semuanya dengan kepala tegak, sekalipun hatinya runtuh perlahan.

“Waktu aku tahu kamu dekat sama Sekar, aku marah. Bukan ke kamu… tapi ke diriku sendiri. Karena aku tahu, kamu berhak bahagia, dan aku bukan orang yang pantas ada di dalam kebahagiaan itu lagi.”

Hanif mengangkat wajahnya, menatap Yuna dalam-dalam. Tak ada kemarahan. Tak ada penyesalan. Hanya tatapan kosong yang menunjukkan bahwa ia sudah melewati masa-masa itu. Bahwa luka itu sudah jadi bagian dari masa lalu yang tak lagi ia sentuh.

“Aku sempat berpikir, mungkin aku bisa kembali,” lanjut Yuna, suaranya semakin pelan. “Mungkin masih ada ruang buatku. Tapi tiap kali kamu bicara tentang Sekar, tiap kali kamu menyebut namanya, aku tahu—aku sudah bukan siapa-siapa.”

Hanif menghela napas, panjang dan berat. “Kamu bukan nggak berarti, Yuna. Tapi sekarang… hatiku sudah bukan untuk kamu lagi.”

Yuna menunduk, mengangguk pelan. Ia tidak menangis. Tidak kali ini.

“Aku lihat cara kamu menatap dia,” bisiknya. “Itu bukan cara kamu menatapku dulu. Bahkan saat kita masih bersama. Ada sesuatu di mata kamu saat lihat dia. Seolah kamu akhirnya pulang.”

Keheningan merambat di antara mereka. Angin malam berdesir pelan, membawa aroma bunga kertas yang menggantung di pagar taman. Yuna menarik napas dalam-dalam, mencoba menyusun keberanian terakhirnya.

“Aku nggak mau ganggu rumah itu, Hanif. Rumah yang kamu dan Sekar bangun. Aku cuma mau… mengembalikan harga diri yang sempat aku tinggalkan waktu memilih pergi. Karena sekarang, aku tahu, mencintai seseorang juga berarti tahu kapan harus berhenti.”

Hanif memejamkan mata sejenak, lalu membuka lagi. “Terima kasih, Yuna. Karena akhirnya bisa mengerti.”

Yuna tersenyum kecil. Pahit. Tapi juga lega. “Aku pamit, ya. Bukan karena aku kalah. Tapi karena aku akhirnya tahu… cinta itu nggak selalu harus memiliki.”

Ia berdiri perlahan. Tangannya sempat menyentuh sandaran kursi, menggenggamnya sejenak. Lalu ia berbalik. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi.

“Jaga dia baik-baik, Hanif. Sekar… dia perempuan yang luar biasa. Lebih kuat dari yang aku kira.”

Hanif mengangguk, kali ini lebih dalam. “Aku tahu. Dan aku akan jaga dia sebaik mungkin.”

Yuna tersenyum. Air mata menggantung di pelupuk matanya, tapi ia menahannya. Langkahnya kali ini ringan. Lebih ringan dari sebelumnya. Mungkin karena beban yang selama ini ia pikul, perlahan mulai ia letakkan.

Ia tahu, masih ada luka yang butuh waktu untuk sembuh. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Yuna merasa… bebas.

Bebas dari penyesalan, dari keinginan untuk kembali ke masa lalu, dari rasa bersalah yang membelenggu. Ia tidak akan menoleh lagi. Ia telah memilih untuk berjalan ke depan—sendiri, mungkin, tapi lebih jujur pada dirinya sendiri.

Di ujung taman, saat langkahnya mulai menghilang dari pandangan Hanif, angin malam meniupkan satu helai daun kering ke pangkuan kursi tempat mereka tadi duduk. Hanif menatapnya, lalu menutup mata. Ada rasa lega… sekaligus haru.

Kadang, sebuah perpisahan yang paling menyakitkan justru adalah yang paling menyelamatkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!