Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
David tampak memicingkan matanya saat menangkap sosok seseorang yang sudah sangat di nantinya sejak tadi. Luna, tengah berjalan perlahan menuju ke arah rumah mereka. Luna mendekat, ia mendapati sorot mata dari suaminya sedikit berbeda, seperti tengah merasa kesal padanya.
“Dari mana kamu?” tanya David tanpa basa-basi.
“Aku dari pasar,” jawab Luna, nadanya terkesan santai.
“Jangan bohong kamu, ya!” tuduh David. Pria itu menunjuk ke arah wajah Luna, seolah sangat meremehkan padanya. “Mbak Maria sudah pulang sejak tadi. Lalu kemana saja kamu?”
“A—aku, itu…” Luna terbata, sedikit bingung antara ingin jujur atau berbohong pada David.
“Hah, sudahlah!” David menyela. Ia mendesah dengan sangat kasar, tak mau mendengarkan penjelasan dari Luna. Ia berharap dengan ucapannya itu bisa membuat Luna merasa bersalah, dan akhirnya minta maaf padanya.
Tapi, Luna hanya diam, kepalanya tertunduk tanpa menatap ke arah David sama sekali. Cukup lama mereka saling diam, bahkan suara gemerisik angin yang menyentuh dedaunan terasa begitu jelas di telinga.
Hingga akhirnya, Luna mendongak menatap ke arah David. Untuk saat ini ia memutuskan tidak akan mengatakan apapun pada suaminya itu, hanya percuma…karena semua yang ia lakukan memang selalu salah di mata pria itu. Apalagi jika David sampai tahu Luna baru saja bertemu dengan seorang pria, emosinya pasti akan meledak tanpa tahu arah dan tempat.
“Aku tadi sempat melihat barang bagus di pasar, tanpa sadar jika aku terpisah dari Mbak Maria,” ucap Luna.
“Pinter banget kamu ngarangnya, ya? Mbak Maria itu nyariin kamu, tapi kamunya nggak ada.”
“Nyariin aku? Tidak mungkin…jika Mbak Maria memang mencariku, seharusnya kita bisa bertemu. Pasar itu tidak terlalu luas, kecuali jika…Mbak Maria langsung pergi ke tempat parkir dan sengaja meninggalkanku.”
Luna membatin dalam hati. Ia mulai berpikir cepat untuk bisa memanfaatkan situasi tegang yang diciptakan oleh kakak iparnya. Kali ini Luna bertekad untuk tidak mau disalahkan terus menerus, ia harus berani dan juga bersikap sama liciknya dengan mereka.
“Dimana Mbak Maria mencariku? Padahal tadi aku menunggunya di tempat penjual bunga, dekat tepian jalan. Cukup lama aku berdiri disana, tapi tidak melihat sepeda motor Mbak Maria melintas, kecuali jika…” Luna menjeda ucapannya, bersiap untuk melancarkan aksi selanjutnya. “Mbak Maria memang sengaja lewat jalan lain untuk meninggalkanku,” lanjutnya dengan tegas.
David mengerutkan kening, “Kenapa jadi kamu yang bersikap tidak sopan sama Mbak Maria? Bukannya minta maaf, malah membela diri.”
“Kamu sudah tanya belum, dimana Mbak Maria mencariku?” desak Luna, tidak akan ia biarkan kali ini David menang beradu pendapat dengannya.
“Tidak seharusnya seorang istri menentang ucapan suaminya. Aku hanya berbicara lembut padamu, tapi kamu menjawabnya terus menerus seolah-olah kamu adalah orang paling benar disini.”
Mendengar ucapan David membuat Luna tertawa remeh. Setiap kali mereka bertengkar, David selalu berlindung pada kata istri harus berbakti dan patuh pada ucapan suaminya, tanpa berpikir jika dirinya sendiri terlalu kejam pada istrinya.
“Kamu meremehkanku?” tanya David, pria itu maju selangkah karena tak terima dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Luna. “Apa maksud dari senyummu itu?” lanjutnya.
“Tidak apa-apa. Aku memang salah, dan kamu selalu benar,” Luna berjalan begitu saja melewati David. Merasa percuma melakukan apapun, karena hubungan mereka memang sudah tidak seperti suami istri yang sebenarnya.
“Luna…aku belum selesai bicara!” ucap David berusaha untuk menghentikan. Tapi Luna tak bergeming, ia tetap melanjutkan langkah masuk ke dalam rumah. “Luna, kamu—” ucapan David terjeda saat dirinya mendengar suara sepeda motor yang masuk ke dalam pekarangan rumahnya.
Rupanya itu adalah Kumala, guru di sekolah Sarah dan Siena. Wanita itu tampak membonceng kedua putri David, setelah motor dihentikan, satu persatu dari bocah perempuan itu mulai turun dan berjalan cepat ke arah Ayah mereka.
Kumala juga tampak mendekat setelah memarkirkan motornya di bawah pohon jambu yang rindang. Berdiri dengan anggun di hadapan David, membuat pria itu sedikit salah tingkah saat melihat wajahnya yang kalem dan cantik.
“Maaf jika saya mengganggu Anda pak David. Tapi saya hanya ingin mengantarkan anak-anak saja, kasihan mereka jika harus jalan kaki sampai rumah,” terang Kumala pada David.
“Justru saya yang berterima kasih Bu Kumala, anak saya jadi harus merepotkan Anda.”
“Oh, tidak sama sekali. Kebetulan saya memang ingin pulang untuk mengambil sesuatu. Jadi, sekalian saja saya antar Sarah dan Siena.”
“Terima kasih, Bu,” ucap David dengan sangat sopan. “Mari, silahkan mampir dulu,” tawar David mempersilahkan.
Kumala merasa ingin singgah sejenak, syukur-syukur bisa ngobrol dengan David sedikit lebih lama lagi. Tapi, sesuatu setelahnya tampak mencegah niat Kumala tersebut. Luna, terlihat baru keluar dari dalam rumah dan mendekat untuk bergabung dengan mereka.
“Selamat siang, Bu,” sapa Luna langsung mengulurkan tangannya ke arah Kumala untuk berjabat tangan. “Apakah ada masalah di sekolah?”
“Tidak ada, Bu,” jawab Kumala dengan canggung. Matanya sempat bertemu dengan Luna, dan hal itu membuat sikap Kumala terkesan kurang nyaman. Tapi wanita berseragam pendidik itu tetap menutupinya dengan baik. “Saya hanya mengantar Sarah dan Siena saja, sekalian mau pulang ke rumah untuk mengambil sesuatu.”
“Terima kasih, Bu. Anda baik sekali,” puji Luna tanpa ragu.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi. Bu Luna dan…” Kumala menatap sejenak ke arah David, matanya mengerjap tapi langsung menunduk. “Pak David,” sambung Kumala yang mulai berbalik menuju ke arah sepeda motornya.
Mereka berempat masih berdiri di depan rumah sampai sosok Kumala benar-benar telah menjauh. Saat lengan David tanpa sengaja menyenggol pundak Luna, pria itu langsung bergerak pelan, berniat untuk menjauh. Sedangkan Luna yang melihatnya, hanya bisa bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
Sikap Luna yang seperti itu membuat David bertambah kesal, matanya menoleh ke arah Luna, berniat mencari lagi kesalahan dari istrinya.
“Jika aku tidak menunggumu, maka aku sudah bisa menjemput anak-anak di sekolah,” ucapnya dengan nada ketus. “Lain kali tolong pikirkan kepentingan orang lain juga,” David lalu menggandeng tangan kedua putrinya, mengajak mereka masuk ke dalam rumah.
Luna tampak memejamkan mata, merasakan sikap David yang semakin hari justru semakin bertambah parah saja. Bukannya berusaha untuk berubah setelah pengorbanan yang Luna lakukan, David malah merasa paling berkuasa dan bertindak semaunya sendiri.
Luna tampak berpikir, semua ini memang salahnya. Jika saja ia tidak bertemu dengan pria asing yang bernama Mahesa itu, maka pertengkarannya dengan David tidak akan terjadi. Tapi biarlah, lagipula David memang selalu menjadi orang yang seperti itu…seorang pria yang egois.
Anehnya, Luna mulai mengingat ekspresi yang ditunjukkan oleh wanita bernama Kumala tadi. Kerlingan matanya terlihat sangat jelas saat wanita itu menatap ke arah David.
Tapi, Luna langsung mengenyahkan pikiran aneh tersebut. Mungkin ini memang hanya perasaannya saja, tidak mungkin wanita muda dan cantik seperti itu mau dengan pria yang sudah berkeluarga.
“Mungkin aku terlalu sensitif. Mustahil Bu Kumala menaruh rasa pada suamiku,” pikir Luna.
***
Saat dalam perjalanan pulang, Kumala berkali-kali mendengus kesal. Bahkan tangannya kerap menarik gas sedikit lebih kencang dari biasanya, memikirkan kejadian tadi tentu langsung sukses membuat perasaan Kumala menjadi berantakan.
Kesempatan dirinya untuk bisa lebih dekat lagi dengan David hilang sudah karena kehadiran Luna. Padahal Kumala memang sengaja mengantarkan Sarah dan Siena, agar bisa bertemu dengan Ayah mereka tersebut.
Perasaan Kumala yang kacau mulai berubah drastis saat ada beberapa orang yang berada di pinggir jalan, sepertinya mereka semua baru pulang dari ladang. Dengan sigap, Kumala melambatkan laju sepeda motornya lalu menoleh dan tersenyum ramah saat melewati orang-orang tersebut.
“Baru pulang, Pak, Bu,” sapa Kumala sangat ramah.
“Iya, Bu Kumala,” jawab mereka serempak saat melihat motor Kumala melewati mereka.
“Wah, Bu Kumala itu orangnya baik dan sopan sekali, ya,” ucap salah seorang wanita yang menggendong karung di punggungnya. “Beruntung sekali Bu Sarti punya anak seperti Bu Kumala.”
“Iya, orangnya juga cantik. Paket lengkap pokoknya,” timpal wanita yang lain.
“Orang baik dan cantik seperti itu biasanya jodohnya juga ganteng dan kaya,” celetuk pria paruh baya yang memikul kelapa di pundaknya. “Seleranya tinggi, mana mau wanita seperti Bu Kumala itu melirik pemuda di daerah sini.”
“Eh, sudah…sudah, jodoh kan nggak ada yang tahu,” jawab wanita yang lain. Dan mereka semua langsung mengangguk setuju akan pernyataan itu.
Kumala memang wanita yang seperti itu, ia berusaha keras untuk bisa menyembunyikan sifat aslinya agar selalu dipuji oleh banyak orang. Karena Kumala sendiri percaya, jika dirinya terus menerus bersikap manis dan sopan, maka semua orang tetap akan menyukainya.
Termasuk juga dengan David. Sebenarnya Kumala tidak berniat untuk memiliki pria itu seutuhnya, hanya saja ia merasa kesal dan ingin agar David bisa menganggapnya lebih cantik dari Luna.
Karena semua yang ada pada diri Luna, membuatnya semakin kesal pada wanita itu.
BERSAMBUNG