simak dan cermati baik2 seru sakali ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siv fa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
identitas yang tak biasa
Jason terperenyak. Refleks dia mundur selangkah dan hampir saja jatuh.
"Orang ini... Anda sangat... menghormatinya...?" tanya Jason.
"Iya! Beliau ini junjunganku. Di hadapannya aku hanyalah semut kecil. Berani sekali kalian membuat dia kesal!" jawab Ben.
Deg!
Jason tiba-tiba merasa jantungnya berdegup kencang. Terlalu kencang untuk bisa disebut normal. Kedua tangannya mendadak gemetar.
"Tidak mungkin, Tuan Ben. Anda pasti salah orang. Tidak mungkin dia junjungan Anda. Dia pasti menggunakan trik tertentu. Curi nama orang lain, misalnya. Saat ini dia bisa saja memakai nama orang lain menipu Anda!" kata Jason.
Ben mendengus. Dia melangkah maju, hendak memberi Jason pelajaran, tetapi Martin mengangkat tangan kiri untuk menahannya.
"Aku curi nama orang lain katamu?" Martin balik badan dan menatap Jason lurus.
"Iya, kau pasti curi nama orang lain, kan? Cepat ngaku, dasar penipu! Berani-beraninya kau mengelabui Tuan Ben!" Jason memelototi Martin.
"Tuan Muda, biar saya beri orang ini pelajaran," bisik Ben.
Martin mengangguk. Dia sudah punya rencana di dalam kepalanya.
"Paman Ben, kamu langsung pecat saja Jason ini, sekaligus memasukkan dia ke dalam daftar hitam supaya tak ada satu pun perusahaan besar di kota ini yang mau merekrutnya. Hari ini juga."
"Baik, Tuan Muda."
Jason lagi-lagi terbelalak. Dia tak mengerti kenapa orang seterhormat Benjamin Hermawan mau-mau saja diminta melakukan sesuatu oleh Martin si rakyat jelata. Tapi, ini bukan waktunya dia terheran-heran. Dia terancam dipecat hari ini juga kalau tak segera melakukan sesuatu.
"Ampun, Tuan Muda! Saya mohon ampun! Tolong ampuni saya!"
Tiba-tiba saja Jason bersujud di hadapan Martin dan menatakannya. Robin yang berdiri di belakangnya sampai tercengang dibuatnya.
"Kau bilang apa?" tanya Martin.
"Saya mohon ampun, Tuan Muda. Saya melakukan kesalahan besar karena telah menyinggung orang seperti Anda. Tolong ampuni saya. Tolong jangan meminta Tuan Ben untuk memecat saya," jawab Jason.
Jason menempelkan keningnya ke lantai. Sungguh sebuah pemandangan langka bahwa seorang pria dengan penampilan yang necis sepertinya bersujud sampai seperti itu di hadapan Martin yang berpenampilan teramat biasa.
Jason sendiri sebenarnya enggan melakukan ini. Tapi, ini satu-satunya yang bisa dia lakukan untuk membuat dirinya tak jadi dipecat, karena dia masih ada banyak pinjol yang perlu dilunasi, kalau tidak lunas bulan ini, tangannya akan dipotong, apalagi sekarang sudah sangat sulit menemukan pekerjaan santai dengan gaji tinggi seperti ini. Jika dia benar-benar dipecat, dia pasti akan dikejar-kejar rentenir!
Akan tetapi...
"Berhentilah bersujud. Apa pun yang kau lakukan dan katakan, Paman Ben tetap akan melakukan apa yang kuperintahkan," ucap Martin.
Jason tercekat. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya mendadak hilang bersama nyalinya. Seluruh tubuhnya gemetar.
Martin sendiri tersenyum miring. Kini dia menatap Robin. Muka Robin mendadak pucat.
"Kau sendiri bagaimana? Kau ingin tetap bekerja di sini?" tanya Martin sambil mengangkat dagu.
"Mohon maaf atas kelancangan saya, Tuan Muda. Tolong biarkan saya tetap bekerja di sini," kata Robin sambil membungkuk begitu rendah.
Martin mengamatinya sambil berpikir. Tadi Robin juga begitu kurang ajar baginya. Tapi paling tidak, dia bisa membaca situasi dengan cepat. Dia tak lagi bertingkah kurang ajar setelah Ben muncul.
"Baiklah. Akan kubiarkan kau tetap bekerja di sini, tapi dengan satu syarat: hajar si manajer sombong ini sampai dia babak-belur!"
Deg!
Kompak, mata Robin dan Jason membulat. Robin menegakkan punggungnya, menatap Martin dengan muka cemas.
"Lakukan apa yang kuminta kalau kau memang masih ingin bekerja di sini," ucap Martin.
Robin tampak bingung. Dia melirik Jason dengan ujung matanya, membayangkan dia menendang-nendang Jason. Pantaskah dia melakukannya?
Tapi dia tak punya pilihan lain, bukan? Dia harus terus bekerja untuk menghidupi istri dan anaknya.
Maka dia pun mendekati Jason. Jason yang semula bersujud itu langsung berjongkok dan bertanya, "Mau apa kau?"
Buk!
Robin menendangnya tepat di pipinya, membuat Jason berguling-guling dan mengaduh. Tak berhenti di situ, dia tendang-tendang lagi Jason di punggungnya. Bunyi tendangannya beradu dengan bunyi mengaduh Jason.
Melihatnya, Martin tersenyum miring, tampak puas.
"Tuan Muda, mari kita masuk," kata Ben.
Martin balik badan. Ben membukakan pintu untuknya dan Martin pun masuk.
...
Satu jam kemudian, Martin sudah kembali berada di rumah sakit.
Berjalan dengan langkah-langkah cepat, dia menjinjing koper hitam berisi uang tunai 200 juta itu.
Setibanya dia di ruang rawat inap Jesina dia langsung membuka pintu ruangan tersebut dan masuk.
Bruk!
"Ini uang 200 juta yang kalian minta,"ucapnya tegas setelah menaruh koper hitam itu di depannya.
Mereka yang ada di ruangan itu menatapnya penuh tanya. Tak satu pun dari mereka bicara, hingga akhirnya Walton tertawa meledek.
"Ya ampun, Julia, suamimu ini benar-benar sinting. Dia pikir dia bisa menipu kita dengan membawa koper seperti ini? Dia pikir kita bodoh apa?" cemoohnya.
Sreeet!
Martin mendorong koper di depannya dengan kakinya. Koper itu pun kini berada tepat di depan Walton.
"Buka saja kalau kau tak percaya," tantang Martin.
Walton menatapnya jengah. Dia tak terima ditantang oleh Martin di hadapan orang-orang.
"Awas kau, ya! Kalau sampai isinya bukan uang 200 juta yang kau sebut, akan kuhajar kau!" gertak Walton.
Martin bergeming di tempatnya. Dia amati Walton yang berjongkok untuk membuka koper tersebut.
Martin sengaja tak memasang kode atau sandi apa pun. Siapa pun bisa membuka koper tersebut dengan mudah.
Dan ketika koper tersebut terbuka, mata Walton terbelalak. Vina yang berdiri di belakangnya juga ikutan terbelalak. Wanita glamor itu menutup mulutnya yang ternganga dengan satu tangan.
"Apa isinya? Beneran uang?" tanya Fanny.
"Iya, Tante. Isinya beneran uang," jawab Vina.
"Coba kau cek dulu, Walton. Jangan-jangan itu uang palsu,"cetus Benny.
"Ah, kau benar juga, Om. Aku pastikan dulu," kata Walton.
"Cek saja semuanya, sekalian dihitung," timpal Martin, tersenyum miring.
Mereka langsung menatapnya dengan benci. Mereka tak percaya Martin bisa mendapatkan uang tunai 200 juta dalam waktu kurang dari dua jam. Mereka yakin ada yang salah dengan bergepok-gepok uang di koper hitam itu.
Namun setelah Walton mengeceknya, mereka tak menemukan kesalahan apa pun. Semua uang di koper itu asli, dan jumlahnya persis 200 juta. Tak ada yang kurang ataupun ganjil.
Mereka pun kembali menatap Martin, kali ini dengan tanda tanya besar di dahi mereka. Walton memasukkan lagi uang itu ke koper dan menutupnya, lalu berdiri dan bertanya, "Dari mana kau mendapatkan uang ini? Kau habis merampok toko, hah?"
Martin memicingkan mata. Tuduhan macam apa itu? Sungguh menggelikan!
"Jawab, Martin! Dari mana kau mendapatkan uang ini? Kalau ini uang haram, kami tak sudi menerimanya!" kata Fanny.
Martin berdecak kesal. Dia sudah membawa uang yang mereka minta, dan mereka sudah membuktikan dengan mata kepalanya sendiri kalau uang itu asli, tapi masih saja ada yang mereka permasalahkan!
"Uang itu halal sehalal-halalnya. Kau tak perlu khawatir, Ma," kata Martin.
Tatapan Fanny kepadanya masih sama. Tampaknya tak seorang pun di ruangan itu berhasil diyakinkan oleh ucapan Martin barusan. Bahkan Julia menatapnya cemas.
"Uang siapa yang kau bawa ini? Jelaskan atau kami tak akan menerimanya," ancam Benny.
Martin menatap kakek istrinya itu dengan kesal. Haruskah dia katakan yang sesungguhnya? Haruskah dia biarkan orang-orang menyebalkan ini tahu siapa dia sebenarnya?
"Dari pinjol. Aku baru saja meminjamnya," kata Martin akhirnya.
Dia merasa masih belum saatnya mengungkapkan identitasnya yang sesungguhnya, jika ketahuan si wanita licik itu, istri putrinya akan berbahaya. Adapun soal pinjol, itu adalah hal pertama yang melintas di benaknya. Setidaknya itu penjelasan yang masuk akal.
"Sudah kuduga! Tak mungkin orang tak berguna sepertimu bisa mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu singkat. Rupanya lewat jalur pinjol!" cela Walton.
"Memalukan sekali! Kau mau menyeret istri dan anakmu ke dalam utangmu ini, Martin?" ledek Vina.
"Astaga! Sekalinya membawa 200 juta, ternyata lewat jalur pinjol. Kau ini memang sampah, Martin!" semprot Fanny.
Martin menatap mereka semua dengan dada kembang-kempis. Orang-orang ini sungguh luar biasa. Tampaknya apa pun yang dilakukannya akan dinilai buruk oleh mereka. Apa pun itu!
"Kuakui, Martin, kau berhasil membawa 200 juta seperti yang kuminta. Tapi caramu mendapatkannya... menunjukkan betapa rendah kualitasmu sebagai seorang pria dewasa," ucap Benny.
Martin mendelik pada kakek istrinya itu. Dia sungguh muak. Muak semuak-muaknya.
Di titik ini, terdengar ketukan di pintu.
"Permisi. Ini ada kiriman khusus untuk keluarga pasien," seorang perawat membuka pintu dan masuk.
Di belakangnya, beberapa pria dengan setelan jas yang necis ikut masuk mendorong sesuatu yang asing—semacam alat medis.
Ikut masuk juga seorang pria dengan setelan jas lab putih bersih yang membuatnya terkesan agung layaknya bangsawan.