"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Kesempatan
Langit Singapura sore itu kelabu. Udara terasa lembap, aroma hujan menggantung di udara. Di dalam unit apartemennya, Cassie duduk di kursi dekat jendela, memandangi daun-daun yang bergoyang ditiup angin. Tangannya memegang secangkir teh, tapi dari tadi hanya diaduk tanpa benar-benar diminum.
Sudah beberapa minggu sejak ia berada di tempat ini. Sejak tubuhnya nyaris tumbang karena sakit kepala hebat dan dibawa kembali ke rumah sakit. Sejak dirinya mulai mengingat potongan demi potongan masa lalu—termasuk wajah seorang pria dengan tatapan penuh luka dan penyesalan: Bram.
Cassie tidak bisa memungkiri bila dia penasaran dengan kisah masa lalunya. Jessie awalnya merahasiakan semua yang berhubungan dengan Bram. Hingga Cassie tidak tahan pada kakaknya itu.
"Aku hanya ingin tahu, alasan kalian ingin aku mengakhiri pernikahan kami! Apa yang membuat kalian menginginkan hal tersebut? Bukankah sebaiknya, suamiku merawatku?" tanya Cassie.
"Kamu tidak mengerti apa pun, Cassie. Dia tidak lebih dari seorang pecundang yang tidak ingin melepaskanmu," jawab Jessie membuat Cassie geram.
"Karena itu jelaskan padaku!" teriak Cassie.
Mulailah, Jessie menceritakan semuanya. Dibandingkan Cassie mengetahui dari orang lain. Lebih baik, Jessie mengatakan semua hal tentang pernikahan adiknya itu.
Tentu saja, Cassie terkejut mengetahui fakta bila Bram terpaksa menikahinya karena perjodohan dua keluarga. Pria itu menyukai wanita lain yang merupakan anak pegawai mereka. Hingga di titik itu, Cassie mengerti perasaan sakit di dadanya ketika menatap Bram. Tanpa dijelaskan, Cassie tahu kalau pernikahan mereka tanpa cinta.
Dan kini, pria itu tinggal di unit sebelah mereka. Hanya dipisahkan dinding tipis. Cassie tidak memahami mengapa Bram repot mendekatinya.
“Dia belum menyerah,” gumam Jessie, sambil melipat baju di sofa.
Cassie tidak menanggapi, hanya menarik napas pelan. Ia tidak bisa membantah kenyataan itu. Bram tidak menggedor pintunya, tidak meratap, tidak memaksa. Tapi kehadirannya selalu terasa. Sesekali ada makanan tergantung di gagang pintu. Kadang, bunga segar di meja dapur, atau secarik kertas kecil bertuliskan, ‘Hari ini cerah, jangan lupa tersenyum.’
Hal-hal sederhana yang anehnya... membuat hatinya hangat.
“Dia mungkin bersalah,” ujar Jessie lagi. “Tapi dia tidak berarti dapat menebus kesalahannya di Mza lalu.”
Cassie akhirnya menoleh. “Kenapa semua terasa rumit, Jes? Kalau aku memaafkan, artinya aku menerima semua luka itu? Tapi kalau aku menjauh... kenapa rasanya ada bagian dari diriku yang hilang?”
Jessie mendekat, menatap adik perempuannya yang perlahan mulai kembali menjadi dirinya yang dulu—yang lembut, yang menyimpan luka dalam diam.
“Karena kamu mencintainya, Cass. Meskipun kamu belum mengingat segalanya, perasaan itu nggak pernah benar-benar hilang.”
Cassie menunduk. Di luar, hujan mulai turun perlahan.
***
Malam itu, Bram menatap pintu unit apartemen cukup lama sebelum akhirnya kembali ke dalam. Tangannya masih menggenggam kotak makanan yang ia siapkan sendiri. Ia tahu Cassie belum tentu mau menerima langsung. Tapi ia tetap ingin mencobanya—setiap hari, sedikit demi sedikit.
Ia menaruh makanan di meja kecil dekat pintu, menuliskan catatan kecil: ‘Masih suka ayam teriyaki? Aku ingat kamu dulu bisa makan dua porsi sendiri.’
Saat hendak berbalik, pintu mendadak terbuka. Jessie berdiri di ambang pintu, lalu tersenyum lelah.
“Dia sedang tidur,” ujar Jessie. “Tapi terima kasih untuk makanannya.”
Bram mengangguk. “Aku... ingin mencoba memperbaiki semuanya."
Jessie menatapnya lama. Ada ketulusan yang tak bisa ia sangkal di mata Bram. Dan itu membuatnya menghela napas panjang.
“Aku harus kembali ke Jakarta, Bram. Dua hari lagi,” ujarnya pelan. “Pekerjaan menunggu. Dan Papa-Mama juga mulai khawatir. Tapi aku cemas meninggalkan Cassie sendiri di sini.”
Bram menatap Jessie penuh harap. “Biarkan aku menjaga dia.”
“Kalau dia mengizinkan,” kata Jessie tegas. “Dan jangan pernah sakiti dia lagi, Bram. Dia sudah cukup hancur.”
Cassie masih harus melakukan kontrol setiap Minggu. Mungkin 3-4 kali lagi akan membuat keadaannya membaik. Akan tetapi, Jessie harus segera kembali.
Setelah kepergian Jessie, suasana apartemen Cassie berubah. Lebih sunyi. Lebih sepi. Bram tahu, ada kehampaan yang muncul di mata wanita itu setiap kali melihat ruang kosong di meja makan. Pria itu terkadang bertamu di apartemen mereka.
Cassie keluar untuk mengambil paket, dan saat kembali, ia melihat Bram berdiri di lorong, membawa tanaman kecil dalam pot.
“Untukmu,” kata Bram, menyodorkannya. “Kamu dulu suka meletakkan tanaman di dekat jendela.”
Cassie menatap tanaman itu. Kaktus mungil dalam pot keramik berwarna krem.
“Aku belum tentu suka sekarang,” ujarnya.
Bram mengangguk. “Nggak apa-apa. Tapi kalau kamu suka lagi nanti, tanamannya tidak akan mati dengan mudah."
Cassie terdiam, sebelum akhirnya menerima pot itu.
Bram menatapnya sesaat, lalu melangkah mundur. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, Cassie berkata lirih, “Kamu... belum makan, kan?”
Bram menoleh pelan. “Belum.”
Cassie menunduk, membuka pintunya lebih lebar. “Aku pesen makanan Jepang terlalu banyak. Mau bantu habisin?”
Bram tersenyum kecil. “Dengan senang hati.”
Mereka makan dalam diam, hanya suara hujan dan denting alat makan yang terdengar. Sesekali, Bram mencuri pandang ke arah Cassie yang tampak lebih tenang malam itu. Matanya tidak lagi seteduh dulu, tapi Bram bisa melihat bahwa hati wanita itu perlahan mencair. Ada celah yang terbuka, walau kecil.
Usai makan, Cassie menaruh gelas di wastafel. “Terima kasih... sudah tetap di sini. Meski aku bukan siapa-siapa lagi untukmu.
Bram berdiri perlahan, mendekat. “Kamu masih Cassie yang aku nikahi. Kamu istriku, Cass... Wanita yang aku cintai, walau mungkin kamu belum percaya.”
Cassie menoleh. Sorot matanya bergetar, ada luka dan ketakutan di sana, tapi ada keinginan untuk percaya ucapan Bram.
Bram mengangkat tangannya perlahan, menyentuh pipi Cassie dengan sangat hati-hati. “Bolehkah aku... menciummu?”
Cassie tidak menjawab. Namun, ia tidak menjauh.
Tatapan mereka saling mengunci.
Namun, sebelum bibir Bram benar-benar menyentuhnya—Cassie menggeleng pelan, membisik, “Belum...”
Bram menghentikan gerakannya. Ia menarik napas dalam, menahan emosinya, lalu tersenyum tipis.
“Baik. Aku akan menunggu... sampai kamu siap.”
Cassie menunduk, namun kali ini tak lagi menutup diri. Senyum Bram mengembang, meski matanya sedikit berkaca. “Aku akan tetap di sini... selama kamu mengizinkan.”
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Dan juga keluarga Adrian kenapa tdk menggunakan kekuasaannya untuk menghadapi Rania yg licik?? dan membiarkan Bram menyelesaikannya sendiri?? 🤔😇😇
Untuk mendapatkan hati & kepercayaannya lagi sangat sulitkan?? banyak hal yg harus kau perjuangan kan?
Apalagi kamu harus menghadapi Rania perempuan licik yg berhati ular, yang selama ini selalu kau banggakan dalam menyakiti hati cassie isteri sahmu,??
Semoga saja kau bisa mendapatkan bukti kelicikan Rania ??
dan juga kamu bisa menggapai hati Cassie 😢🤔😇😇
🙏👍❤🌹🤭
😭🙏🌹❤👍