Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Saat Nara masih terpaku, bingung dan terluka oleh pernyataan cinta Endra yang tiba-tiba, suasana di supermarket yang tadinya ramai dengan lantunan lagu yang diputar, terasa hening seketika. Hanya suara detak jantung Nara yang berdebar kencang terdengar di telinganya.
Lalu, Devan muncul. Bukan dengan langkah biasa, tetapi dengan aura yang berbeda. Ia melangkah dengan tenang, tetapi setiap langkahnya terasa berat, menciptakan keheningan yang mencekam.
Pria itu kemudian berhenti di antara Nara dan Endra, sebuah pernyataan kepemilikan yang tak terbantahkan. Tatapannya tajam, menunjukkan kecemburuan dan amarah yang terpendam, tetapi ada sesuatu yang lebih gelap di baliknya.
“Cinta kamu bilang?” Devan bertanya, suaranya bukan lagi suara Devan yang lembut, tetapi suara berat, rendah, dan penuh ancaman. Nada sarkastiknya menusuk telinga, menciptakan getaran yang dingin.
Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Nara terkejut. “Devan,” gumamnya pelan, suaranya bergetar.
“Kalau kamu cinta, kamu nggak akan tergoda sama yang lain,” kata Devan, suaranya menggema di antara rak-rak supermarket yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. “Yang namanya selingkuh itu penyakit yang suka kambuh. Buktinya, sekarang kamu udah punya istri, tapi masih berusaha mendekati istriku!” Bara menusuk tepat ke titik lemah Endra, menyinggung perselingkuhannya di masa lalu dengan nada penuh kebencian.
Endra tak tinggal diam. Ia membalas dengan sengit, tetapi suaranya terdengar gemetar, menunjukkan rasa takut yang tersembunyi di balik keberaniannya. “Aku dan Renata itu hanya pelarian sesaat, sama seperti kamu dan Nara. Sadarlah, dia nggak mencintai kamu, kamu juga nggak mencintai dia. Buat apa pura-pura jadi pasangan bahagia kalau tujuanmu sebenarnya adalah Antariksa Hotel?”
Sebelum Devan menjawab, sebuah perubahan terjadi. Wajahnya yang tampan mulai berubah bentuk, otot-otot rahangnya menegang, menciptakan garis-garis tegas yang menakutkan. Matanya yang biasanya hangat kini memancarkan cahaya dingin, tajam seperti pisau.
Suara yang keluar dari mulutnya pun berubah, menjadi suara Bara yang dalam dan berat, suara yang penuh dengan amarah dan dendam yang terpendam selama bertahun-tahun. Transformasi itu terjadi secara perlahan, tetapi terasa begitu nyata, menciptakan efek yang dramatis dan menakutkan.
Bara, tanpa basa-basi, melemparkan dua kotak alat kontra sepsi ke dalam troli belanja Nara. Kotak-kotak itu, dengan tulisan “Extra thin” dan “Naughty chocolate”, terpampang jelas, menunjukkan kepemilikan Bara—Devan, atas diri Nara. Gerakan itu, yang dilakukan dengan penuh amarah, membuat perhatian Endra dan Nara tertuju pada kedua kotak tersebut.
“Antariksa … itu milik nenekku. Kalian rampas itu dari kami! Sekarang, aku akan mengambilnya kembali! Itu hakku!” Suara Bara bergetar, dipenuhi amarah dan dendam yang telah lama terpendam.
Bara mengepalkan tangan, urat-urat di lehernya menegang. Dengan amarah yang membara, ia mencengkeram kerah baju Endra dengan kekuatan yang luar biasa, siap melayangkan tinjunya.
Nara, yang peka terhadap perubahan drastis yang terjadi pada Devan, segera menyadari bahwa yang ada di hadapannya bukanlah Devan, melainkan Bara.
Ketegangan di udara mencapai puncaknya. Dalam sekejap, Bara melayangkan sebuah pukulan yang sangat kuat, tepat mengenai pipi kiri Endra. Suara “puk” bergema di antara rak-rak supermarket, menarik perhatian beberapa pengunjung yang terkejut.
Endra, meski terhuyung, tidak tinggal diam. Dengan cepat, ia membalas dengan pukulan yang sama, menghantam pipi kiri Devan.
Namun, Bara—yang bersemayam dalam diri Devan—tidak goyah. Dengan kekuatan yang luar biasa, Devan membalas dengan pukulan yang lebih dahsyat, mengurai amarah yang telah lama terpendam.
Endra terhuyung mundur, hampir jatuh, tetapi berhasil menjaga keseimbangannya. Detik-detik itu terasa begitu lama, dipenuhi oleh amarah, kekuatan, dan ketakutan.
Melihat Devan melayangkan pukulan, rasa takut menusuk jantung Nara. Bukan hanya takut akan kekerasan, tetapi juga takut kehilangan Devan. Kehilangan sosok suami yang penuh kehangatan, yang kini berubah menjadi sosok yang mengerikan.
Dengan langkah gontai, Nara melangkah maju, tubuhnya gemetar. Ia memeluk Devan dari belakang, merangkulnya erat seolah ingin menarik kembali akal sehat yang mulai hilang.
Pelukannya pada Devan bukan sekadar pelukan, tetapi permohonan, perisai yang melindungi pria itu dari dirinya sendiri. Air mata panas membasahi kemeja Devan, mencampur rasa takut, cinta, dan keputusasaan.
“Devan, jangan!” bisiknya, suara tertahan, hampir tak terdengar di antara detak jantungnya yang bergemuruh.
“Jangan, Dev. Jangan kayak gini … jangan bikin aku takut!” Pelukannya yang hangat dan penuh permohonan seakan menjadi pengingat bagi Devan bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada kebangkitan Bara—cinta dan komitmennya pada Nara.
Suara tangis Nara, lembut tetapi menyayat, menembus lapisan amarah yang membungkus Bara. Di dalam pikirannya, sebuah pertarungan hebat terjadi. Amarah Bara, yang selama ini terpendam, beradu dengan sisa-sisa kasih sayang Devan pada Nara.
Cengkeraman tangan Bara pada kemeja Endra mengendur perlahan, tangan kanannya yang terangkat tinggi—siap melayangkan pukulan—kini turun dengan berat. Kekuatannya seolah terkuras, meninggalkan tubuhnya yang terasa lemas dan bingung.
Nara, peka terhadap perubahan itu, segera berpindah posisi dan memegangi wajah Bara. Sentuhannya lembut, tetapi penuh dengan tekad. “Jangan, Dev. Jangan merugikan dirimu sendiri!” Suaranya terdengar penuh keprihatinan, mencampur rasa takut dan cinta.
Devan, atau lebih tepatnya Bara yang masih terombang-ambing antara dua kepribadian, terlihat linglung. Ia seolah-olah sedang bergulat dengan pikirannya sendiri, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Di saat yang sama, Endra menyaksikan semua ini dengan senyum sinis.
“Lihatlah!” kata Endra, suaranya terdengar mengejek, “Bahkan Nara tidak tega melihatku terluka. Harusnya kamu sadar siapa yang dicintai Nara, Devan!”
Namun, pernyataan Endra itu memicu reaksi yang tak terduga. Nara, dengan amarah yang membuncah, berbalik dan menam par wajah Endra dengan keras. Tampa ran itu bergema di antara rak-rak supermarket.
“Itu tampa ran karena kamu terlalu sok tahu dan berusaha merusak pernikahanku!” Nara membentak, matanya berkobar amarah. Ia menam par wajah Endra lagi, kali ini di sisi lainnya, dengan kekuatan yang sama. “Dan ini dari kakak iparmu yang adiknya sedang kamu khianati!” Dua tampa ran itu menjadi bukti nyata bahwa Nara tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu pernikahannya, bahkan mantan kekasihnya sendiri.
Bara, atau lebih tepatnya Devan yang kembali ke dirinya, terduduk lemas di lantai, tubuhnya gemetar. Amarah dan kepribadian Bara yang kuat telah surut, meninggalkan kelelahan dan kebingungan yang mendalam. Nara, dengan cepat berjongkok di sampingnya dan memeluknya erat-erat. Pelukannya penuh kasih sayang dan pengertian, mencoba menenangkan Devan yang sedang berjuang melawan dirinya sendiri.
“Dev, kamu harus bisa mengontrol diri!” Nara berbisik, suaranya lembut namun tegas. Ia mengusap rambut Devan, mencoba memberikan rasa aman dan ketenangan. Sentuhannya yang lembut seolah memberikan kekuatan pada Devan untuk kembali ke dirinya sendiri.
Di antara rak-rak supermarket yang penuh sesak, Endra diam-diam pergi, meninggalkan keduanya yang saling berpelukan. Kehadirannya yang mengganggu telah sirna, meninggalkan Nara dan Devan dalam momen intim yang penuh emosi. Keheningan menyelimuti mereka, hanya diiringi oleh suara detak jantung mereka yang masih berdebar kencang.
Di tengah hiruk-pikuk kerumunan dan lantunan lagu yang berputar, mereka menemukan kedamaian di dalam pelukan, mencari kekuatan untuk menghadapi masa depan yang masih penuh ketidakpastian.
“Nara, apa kamu mencintaiku?”
***
Huh, aku agak tegang. Gimana dengan kalian gaess, masih aman, ‘kan?🤭🤭
buat meramaikan suasana 😂
emang mau hajatan😂😂😂