Ahmad Al Fatih Pranadipa adalah siswa SMA yang dikenal sebagai pembuat onar. Kenakalannya tak hanya meresahkan sekolah, tetapi juga keluarganya. Hingga akhirnya, kesabaran orang tuanya habis—Fatih dikirim ke pesantren untuk dididik langsung oleh seorang kyai dengan harapan ia berubah.
Namun, Fatih tetap menjadi dirinya yang dulu—bandel, pemberontak, dan tak peduli aturan. Di balik tembok pesantren, ia kembali membuat keonaran, menolak setiap aturan yang mengikatnya. Tapi hidup selalu punya cara untuk mengubah seseorang. Perlahan, tanpa ia sadari, langkahnya mulai berbeda. Ada ketenangan yang menyusup dalam hatinya, ada cahaya yang mulai membimbing jalannya.
Dan di saat ia mulai menemukan jati dirinya yang baru, hadir seorang wanita yang membuatnya merasakan sesuatu yang tak pernah ia duga—getaran yang mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
"Ta' jangan bangunin gua yah, gua mau tidur."
"Kalau ada apotik di depan gimana?" tanya Atha mulai kebingungan. Tadi di siru singgah di apotik, sekarang jangan di bangunkan.
"Kaki gua udah lumayan. Nanti kalau sudah di kota. Gua bakal bangun." ucap Fatih kembali.
Dia pun mulai memposisikan kursi depan dengan posisi setengah baring. Pagi mulai menyapa, hembusan angin dingin yang mencekam kulit sayup-sayup mulai pergi meninggalkan mereka. Perlahan sinar mentari mulai menampakkan dirinya dari peraduannya. Hingga beberapa jam kemudian matahari sudah sangat perkasa memperlihatkan cahayanya. Mobil sudah memasuki pintu tol dengan sangat lancar tanpa hambatan apapun hingga keluar dari tol. Perjalanan kali ini sangat cepat dibanding pada saat kepergian Fatih ke pondok, Atha mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Selang beberapa saat, mobilpun berhenti tepat di depan bangunan tak terurus.
"Bangun woi! Enak kalian pada tidur. Gua nyetir terkantuk-kantuk." gerutu Atha seraya membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu.
Sangat berat Fatih membuka matanya, tapi perlahan dia mulai mengerjap. Sementara Edo dan Reza sudah masuk ke dalam mengikuti Atha.
Fatih mulai memposisikan kembali kursi tempatnya tidur. Perlahan dia menggosok-gosok mata dengan tangannya untuk membantu dirinya sadar. Pria itu mulai membuka pintu mobil kemudian menutupnya kembali ketika kakinya sudah berdiri sempurna menapak tanah yang datar. Perlahan dia mulai berjalan memasuki sebuah bangunan yang terlihat tak terurus. Kayu-kayu yang berserakan di depan, bangunan yang tampak tak selesai. Ketika Fatih semakin memasuki ruangan itu. Tampak sangat berbeda, seratus persen berbanding terbalik dengan penampakannya yang di depan. Bangunan itu berwana biru bercak putih tampak seperti awan, di atasnya bertengger pendingin ruangan yang banyak karena ternyata ruangan itu sangat luas. Meja-meja billiar tersusun rapi. Beberapa remaja yang masih berseragam sekolah tampak bermain, sepertinya anak itu tidak melanjutkan perjalanannya hingga ke sekolah.
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Fatih menghampiri kursi panjang yang empuk kemudian kembali membenamkan dirinya lalu tertidur. Ketiga temannya terus memperhatikan Fatih kemudian Reza hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Fatih.
"Berapa lama anak itu bakal kabur?"
"Tau... Mungkin semingguan, kalau bokapnya enggak nyariin."
"Gua agak takut juga sih, takut Pak Pranadipa nyamperin rumah gua. Berabe urusannya, orang tua gua bakal tahu semua kelakuan gua. Bisa-bisa gua korban berikutnya yang masuk pesantren." kata Edo mengingat tentang kekuasaan seorang Pranadipa, yang bisa melakukan apa saja jika menyangkut kemauannya.
"Bodo ah. Gua mau tidur." kata Reza tak mau ambil pusing tentang hal yang akan terjadi pada saat nanti.
________
Di pondok pesantren, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, beberapa teman sekamar Fatih mulai mencari keberadaan teman mereka. Bahkan Edwin sudah melapor pada Ustadz pengurus tentang menghilangnya Fatih.
Beberapa orang bahkan sudah melakukan pencarian di setiap sudut pondok. Tapi nihil, keberadaan Fatih tak terlihat sama sekali.
Pencarian di lakukan pada waktu sholat dhuhur sudah masuk hingga selesainya sholat wajib yang di kerjakan secara berjamaah tersebut. Setiap mata memandang penuh tanya. Kegemparan bahkan sudah terjadi ketika Kyia Husain sudah mengetahui menghilangnya Fatih.
Dari desas desus dan kasak kusuk yang terdengar, entah pertama kali di hembuskan dari mulut siapa, jika Fatih benar-benar sudah tidak tahan lagi. Fatih sudah kabur sejak subuh tadi, karena pada saat sholat subuh berlangsung, Fatih masih melaksanakan sholat subuh dengan berjamaah. Beberapa santri dan Ustadz maupun ustadzah membenarkan hal itu, karena mereka selalu melihat jika Fatih lebih menyukai hukuman dari pada mengikuti peraturan pondok.
Tak ingin percaya begitu saja, kyai Husain mendatangi kamar Fatih dan melihat barang-barang remaja tersebut. Tak ada satupun barang yang di bawa oleh Fatih, koper dan barang-barangnya masih lengkap. Kyai Husain memutuskan untuk percaya bahwa suatu hari nanti, anak itu pasti akan kembali dengan jiwa yang lebih bisa menerima takdirnya sebagai seorang santri. Walau sedikit kecewa dan bersedih karena tidak bisa mendidik dan merasa sudah gagal untuk menundukkan Fatih pada hal yang bersifat keagamaan.
"Tidak perlu membereskan barang-barang teman kalian. Kyai sangat yakin, bahwa teman kalian akan kembali lagi di pondok ini." ucap Kyai Husain sangat yakin.
"Ehem... Kyai, apa kita hubungi orang tua Fatih saja? Jangan sampai terjadi sesuatu hal yang buruk pada Fatih dan pondok kita harus bertanggung jawab. Jangan sampai hal itu terjadi. Alangkah lebih baiknya jika kita hubungi Tuan Pranadipa untuk ikut mencari keberadaan putranya tersebut."
"Benar Ustadz, jika anak itu belum juga kembali, kita akan menghubungi orang tua Fatih besok." jawab Kyai Husain.
_________
Malam harinya Fatih mulai kebingungan ingin tidur di mana. Ketiga temannya yang tadi mengatakan akan pulang sebentar dan kembali lagi, nyatanya hingga saat ini mereka belum menampakkan dirinya.
Fatih mulai kelaparan. Bodohnya, karena sangat terburu-buru dia lupa membawa uang dan saat ini dia bagai seorang gelandangan yang berjalan di atas trotoar tanpa tujuan. Tidak mungkin dia mencari makan di tong sampah, tidak mungkin juga bagi Fatih untuk mencari makan dengan cara meminta-minta. Anak itu lebih memilih tidak makan dari pada harus melakukan cara-cara tadi.
Dia terus berjalan tanpa tujuan pasti. Pikirannya tertuju pada rumah mewahnya dengan segala perlengkapan yang ada. Tapi pikiran itu kemudian dia bantah. Pranadipa akan mencecarnya jika tahu di kabur dari pondok pesantren. Dia kembali meneruskan langkahnya, berjalan menyisiri dalam keramaian kota. Tapi dia merasa sendiri. Dia bagaikan seorang yang sudah dikhianati. Menunggu kepulangan teman-temannya yang pergi sebelum dhuhur dan berjanji akan kembali setelah dhuhur. Tapi waktu isya bahkan sudah lewat dua jam yang lalu. Dia tidak mungkin terus berada di area permainan biliar itu karena sejak pagi Fatih sudah berada disana tanpa bermain dan hanya tidur.
Dia masih berjalan dengan langkah tertatih karena kaki yang masih sakit. Fatih berdiri di depan bangunan besar, menoleh dan memperhatikan bangunan itu. Apakah tempat ini akan aman? Apakah tempat ini bisa menampungnya untuk malam ini saja? Fatih terus berbikir. Tak ada pilihan, perlahan dia mulai memasuki area bangunan itu. Tapi untuk menginjak bangunan besar itu, dia membersihkan dulu dirinya dan mulai berwudhu.
Hatinya ragu untuk masuk, tapi tak ada lagi yang bisa menjadi tujuannya. Langkahnya semakin berat, hingga hatinya mulai terketuk. Di saat semua orang meninggalkannya, disaat tak ada tempat yang bisa dia datangi. Bangunan ini seakan menyapanya dan memanggilnya untuk masuk dan beristirahat. Hati Fatih mulai sakit memikirkan hal itu. Baru sehari dia kabur, dan jalannya sudah sesulit ini. Sangat berbeda dengan yang dia harapkan. Penyesalan bisa dialami siapa saja dan hal wajar terjadi dalam kehidupan seseorang. Menuruti emosi dan hawa nafsu hanya akan merugikan dan penyesalan adalah hadiah yang pasti akan diterima.