Saat keadilan sudah tumpul, saat hukum tak lagi mampu bekerja, maka dia akan menciptakan keadilannya sendiri.
Dikhianati, diusir dari rumah sendiri, hidupnya yang berat bertambah berat ketika ujian menimpa anak semata wayangnya.
Viona mencari keadilan, tapi hukum tak mampu berbicara. Ia diam seribu bahasa, menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Viona tak memerlukan mereka untuk menghukum orang-orang jahat. Dia menghukum dengan caranya sendiri.
Bagaimana kisah balas dendam Viona, seorang ibu tunggal yang memiliki identitas tersembunyi itu?
Yuk, ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15
Satu Minggu sudah berlalu, selama itu pula Viona mengintai berbagai tempat yang sering dikunjungi oleh para pelaku. Ia juga menunggu pergerakan dari kepolisian, tapi nihil. Mereka masih berkeliaran, tertawa terbahak-bahak, bersenda gurau tanpa beban. Sementara Merlia, harus menderita trauma yang mendalam.
Padahal, semua bukti sudah dia serahkan. Video yang memperlihatkan para pelaku, serta bukti pesan dari orang yang menjadi otak kejahatan itu sendiri.
"Memang tidak bisa diandalkan," gumamnya mematri diri di depan cermin.
"Jika mereka enggan bertindak, maka aku akan mengambil langkahku sendiri," katanya seraya beranjak dari cermin dan pergi.
Pagi itu Viona akan kembali ke sekolah sebagai petugas kebersihan. Pergi ke kelas-kelas memeriksa setiap laci. Mencari meja pemilik obat yang ditemukannya.
"Ini dia! Aku kembalikan ini kepadamu. Kau yang mencoreng nama anakku, kau juga yang harus membersihkannya," gumam Viona seraya mengeluarkan botol obat dari sakunya. Tak lupa ia mengenakan sarung tangan agar sidik jarinya tak tertinggal.
Viona menebar beberapa butir obat di kolong meja, dan menyimpan botolnya di laci. Beberapa butir ia lempar ke sembarang arah agar ditemukan semua siswa yang masuk ke kelas tersebut.
Kemudian, dia melenggang keluar seolah-olah tak melakukan apapun. Viona pergi ke bangunan belakang, duduk di atap, mengeluarkan ponselnya. Mengirim pesan pada seseorang.
Kau tega sekali memfitnahku! Padahal selama ini kau yang selalu meminum obat itu, tapi kenapa kau menuduhku.
Pesan pertama terkirim.
Aku tidak menyangka kau berteman denganku hanya karena ingin memanfaatkan aku saat kau terpojok. Kau tega membiarkan aku jatuh terperosok ke dalam air yang keruh. Kau memang jahat! Aku menyesal menuruti kata-katamu.
Pesan kedua pun terkirim, tapi masih belum dibaca.
Ingat ini, aku tidak akan melepaskan mu sampai aku mati. Bahkan, jika mati pun aku akan menyeret mu dan orang-orang itu bersama ku! Tunggu pembalasanku!
Pesan ketiga pun terkirim, Viona mematikan daya ponsel. Melepas kartu dan menunggu kegaduhan yang akan terjadi beberapa saat lagi.
"Hah! Merlia anak yang baik, tidak seperti kalian yang hanya tahu foya-foya dan main-main saja. Hidupnya sudah keras sejak kecil, tapi kalian justru membulinya. Siapapun boleh menyakitiku, tapi tidak dengan anakku!" kecam Viona dengan tangan terkepal.
Ia menatap ke lapangan, di mana beberapa siswa sudah berdatangan ke sekolah. Salah satu di antara mereka adalah Desy yang terlihat gelisah dan cemas. Sikapnya mencurigakan, melihat ke segala arah seolah-olah sedang diperhatikan.
"Apa ini?"
Kehebohan terjadi di dalam kelas saat beberapa siswa menemukan butir-butir obat berserakan di kolong meja seorang siswi.
"Kemarin di meja Merlia, sekarang di meja Desy. Berapa banyak siswa yang mengalami gangguan kesehatan jiwa?" pekik salah satunya dengan suara lantang.
Viona tersenyum puas, dia sudah memasang alat penyadap untuk mendengarkan apa yang terjadi di dalam kelas.
"Tunggu! Botol obat ini sama persis dengan yang ditemukan di meja Merlia."
Kebenaran mulai terkuak, desas desus pun ikut menebak tentang obat itu.
"Maksudnya, Merlia difitnah? Seseorang telah menjelekkan namanya demi menutupi keburukannya," ujar salah seorang tak salah.
Di lorong sekolah, Desy bertingkah aneh. Dia terus memandangi ponselnya. Melakukan panggilan pada nomor asing yang baru saja mengiriminya pesan.
"Tidak! Aku tidak salah! Bukan aku!" racau nya di sepanjang jalan menuju kelas.
Kepanikan melanda hati, pikiran ikut buyar. Peluh sebesar-besar biji beras bermunculan memenuhi wajahnya. Ia mengacak rambut, menjerit aneh.
Seorang siswi masuk ke dalam kelas terburu-buru.
"Hei, Desy bertingkah aneh! Dia meracau sendirian dan kadang menjerit. Kalian tak akan percaya, dia terlihat berantakan," ucap siswa tersebut membuat semua orang di dalam kelas tertegun.
Mereka serentak menatap botol obat, semakin yakin bahwa pemiliknya adalah memang Desy. Botol itu ditemukan di bawah meja Desy.
"Tidak! Bukan aku!"
Mereka semua menoleh pada pintu saat Desy datang sambil meracau. Dia terlihat ketakutan, berkali-kali menoleh ke belakang seolah-olah ada yang mengikuti. Desy duduk di kursi tanpa mempedulikan orang-orang yang menatapnya aneh.
"Bukan aku!"
Desy terus meracau, duduk di kursi sambil memeluk tas. Mereka mendatanginya, menggebrak meja membuat tubuh Desy tersentak. Bunyi botol obat digerakkan membuat Desy mendongak, ia bangkit coba merebut botol itu.
"Berikan padaku!" katanya mencoba meraih botol itu.
"Kau menginginkan ini? Lihat di bawahmu! Obatmu berserakan," ucap siswi yang memegang botol obat.
Desy menunduk, buru-buru berjongkok dan mengambil cepat satu butir obat. Ia menelannya tanpa bantuan air. Mereka saling menatap satu sama lain, menunggu obat itu bereaksi. Benar saja, setelah beberapa saat Desy mulai terlihat normal.
Namun, dia terlihat bingung karena orang-orang mengerubunginya dengan tatapan tajam dan sinis.
"A-ada apa?" tanyanya bergetar.
Salah seorang siswi merebut ponsel Desy tanpa dapat ia cegah, membuka aplikasi pesan dan membaca pesan yang masuk beberapa menit tadi.
Brak!
"Kau! Beraninya kau melempar kesalahan kepada orang lain!"
"Benar, kau memfitnah Merlia padahal kau sendiri pemilik obat ini."
"Kau tahu, Merlia siswa berprestasi kebanggaan sekolah kita. Dia selalu mendapatkan juara saat bertanding dengan sekolah lain. Sekarang apa yang sudah kau lakukan padanya? Kau membuatnya dikeluarkan dari sekolah dan kita harus kehilangan murid jenius seperti Merlia," cerocos para siswa itu kembali menggangu kejiwaan Desy.
Desy menggelengkan kepala, mulai terlihat panik lagi.
"Kau berteman dengannya hanya berpura-pura saja, itu semua untuk menutupi kekuranganmu saja. Sekarang kau mengkambinghitamkan dia tanpa peduli bagaimana perasaannya setelah tahu semua ini," tandas para siwa dengan geram.
Desy berdiri dengan wajah murka meski hatinya dilanda kepanikan yang luar biasa.
"Tahu apa kau tentang kami! Kalian yang sombong merasa diri lebih baik hingga tak ingin berteman dengannya. Memandang Merlia rendah dan seolah-olah menjijikkan di mata kalian. Kalianlah yang setiap hari membulinya!" sentak Desy berapi-api.
"Masih lebih baik kami yang tidak berpura-pura menjadi temannya hanya untuk menjerumuskannya ke dalam kesalahan yang tak pernah dia perbuat. Kau manusia munafik, kejam, dan tak berperasaan!" balas mereka sengit.
"Kau jahat, Desy!"
"Kau orang yang kejam!"
"Merlia orang yang baik. Seharusnya kau tahu itu!"
Satu per satu para siswa itu menuding Desy. Kepanikan jelas terlihat di wajahnya, peluh kembali bermunculan, ia mundur sambil menutup kedua telinga.
"Tidak! Bukan aku! Bukan aku!" jeritnya berjongkok dikerubungi orang-orang.
Viona tersenyum puas, satu orang yang membuat nama anaknya buruk di sekolah sudah menerima tahap awal pembalasan.
"Kupikir kau anak yang berbeda, Desy. Untuk itu aku membiarkan Merlia berteman denganmu, tapi ternyata kau sama saja seperti mereka. Mengorbankan anakku demi keselamatanmu sendiri!" ucap Viona geram.
Ia masih mendengarkan suara-suara keras itu sampai sebuah suara yang familiar membuatnya tertegun.
"Dia lagi?"
kyknya Peni yg terakhir.. buat jackpot bapaknya.. si mantan Viona..!! 👻👻👻