kisah seorang gadis cupu yng dijadikan bahan taruhan oleh kakak kelasnya namun ketika taruhannya selesai akankah hubungan mereka berlanjut atau kandas yuk,,dibaca guys,,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon scorpio_girls, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Hari berganti hari minggu berganti minggu hubungan flora dan reva pun meregang dan lebih tepatnya seperti orang asing yang tak saling kenal dan di waktu sore itu flora yang berada di supermarket sedang berbelanja bulanan dan ia mengitari lorong untuk mengambil barang yang sudah tertera di list nya namun di suatu ketika ia kesusahan mengambil barang tersebut di karenakan tinggi dan ia tak bisa menggapainya flora pun tengak-tengok mencari pegawai disana untuk mengambilkan barang tersebut namun sayangnya pegawai tak muncul seorang pun
”ah,,kemana sih pegawai masa gak ada satu pun sih”gerutunya
karena tak mau menyerah flora pun mengambil barang tersebut dengan cara melompat kecil dan dan ia berhasil mengambil
Namun, meskipun sudah melompat beberapa kali, tangannya tetap tidak bisa meraih barang tersebut. Flora mulai kesal dan menghela napas panjang.
"Aduh, gimana sih ini? Masa segini aja nggak bisa aku ambil?" gumamnya sambil kembali mencoba.
Saat ia hendak melompat lagi, tiba-tiba sebuah tangan lain mengambil barang itu dengan mudah dan menyerahkannya padanya. Flora terkejut dan langsung menoleh ke samping.
"Ini," suara itu terdengar familiar, membuat Flora membeku sejenak.
Matanya membulat saat melihat sosok yang berdiri di sampingnya—Reva.
"Kamu?" ucap Flora refleks, nada suaranya menunjukkan keterkejutan yang jelas.
Reva hanya tersenyum tipis, lalu menyodorkan barang yang tadi diambilnya.
"Kamu masih sama seperti dulu, selalu kesusahan kalau urusan barang di rak tinggi," ucapnya santai, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan.
Flora yang masih dalam keadaan terkejut hanya bisa menerima barang itu dengan tangan gemetar.
"Uh… makasih," jawabnya pelan.
Reva mengangguk singkat, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Flora yang masih berdiri di tempatnya dengan hati yang tiba-tiba terasa sesak.
Flora menggenggam erat barang di tangannya, hatinya terasa berdebar tidak karuan. Ia menatap punggung Reva yang semakin menjauh, dan tanpa sadar bibirnya bergerak, memanggil nama itu.
"kak Reva…"
Langkah Reva terhenti sesaat, tapi ia tidak langsung berbalik. Flora menggigit bibirnya, merasa ragu, tapi kemudian ia mengumpulkan keberaniannya.
"Kita bisa gak ngobrol sebentar?"
Reva masih diam di tempatnya sebelum akhirnya ia menoleh, ekspresinya tetap tenang, tapi sorot matanya sedikit meredup.
"Ngobrol?Setelah sekian lama kita kayak orang asing, tiba-tiba kamu mau ngobrol?"ucap reva
Flora terdiam. Ya, memang sudah lama mereka seperti ini—saling menghindar, saling diam, seolah-olah tak pernah ada kenangan di antara mereka.
"Aku cuma…" Flora menunduk, jemarinya mencengkeram keranjang belanja dengan kuat. "Aku cuma pengen tahu… kakak baik-baik aja?"
Reva tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang terasa menyesakkan.
"Aku baik," jawabnya singkat.
"Dan kamu?"ucap Flora menatap Reva, berusaha mencari kebohongan di balik jawaban itu, tapi yang ia lihat hanya mata yang terlihat lelah.
"Aku juga baik…" ucapnya pelan, meskipun hatinya berkata sebaliknya.
Reva menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Bagus kalau gitu."
"Tunggu!" Flora tanpa sadar mengulurkan tangan, mencengkeram pergelangan tangan Reva.
Reva menoleh, menatapnya dengan ekspresi terkejut.
"Apa?" tanyanya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dibanding tadi.
Flora menelan ludah, lalu menggigit bibirnya sebelum akhirnya berbisik, "Aku kangen."
Reva terdiam. Matanya sedikit membesar, seolah tidak menyangka Flora akan mengatakan itu. Namun, hanya dalam hitungan detik, ekspresinya kembali datar, dan ia tersenyum kecil—senyum yang terasa begitu menyakitkan di mata Flora.
"Sayangnya, rasa kangen nggak bisa mengubah apa pun, Flora kamu telah memilih lea bukan aku," ucapnya pelan, lalu dengan lembut melepaskan cengkeraman Flora dari tangannya.
Flora terpaku. Kata-kata Reva menamparnya lebih keras dari yang ia duga. Dadanya terasa sesak, seakan ada beban yang tiba-tiba menghimpitnya. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan sesuatu yang mulai menggenang di matanya.
"Bukan begitu, Kak..." suaranya hampir tak terdengar.
Reva menatapnya, ekspresinya tetap tenang, tapi jelas ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat Flora merasa semakin terhimpit.
"Terus apa?" Reva bertanya, nadanya tetap lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya. "Apa yang mau kamu jelasin, Flora?"
Flora menunduk, tangannya mengepal erat. Ia ingin bicara, ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu.
Reva menunggu beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas. "Aku nggak bisa ngobrol lama di sini. Kalau itu aja yang mau kamu bilang, aku pergi dulu."
Flora mendongak cepat. "Tunggu!"
Reva kembali menghentikan langkahnya, tapi kali ini ia tak berbalik.
Flora menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa tidak karuan. "Aku... Aku nggak pernah benar-benar pergi dari perasaan itu, Kak."
Reva memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menoleh pelan. "Tapi kamu tetap memilih orang lain."
Flora menggigit bibirnya lebih keras. Ia ingin berteriak bahwa semua tidak sesederhana itu, bahwa hatinya tetap berantakan bahkan setelah ia memilih Lea. Tapi bagaimana pun ia mencoba mencari kata-kata yang tepat, semua terasa percuma.
Reva tersenyum tipis lagi. Senyum yang sama—senyum yang membuat Flora merasa bersalah. "Flora, kita nggak bisa terus begini."
Flora terdiam.
"Aku udah belajar buat nggak berharap lagi," lanjut Reva. "Jadi, kalau kita ketemu lagi, anggap aja kita orang asing, ya?"ucap reva
Flora mencengkram keranjang belanjanya erat, matanya menatap punggung Reva yang semakin menjauh. Tanpa pikir panjang, ia kembali memanggil,
“Kak, jangan pergi!”
Reva menghentikan langkahnya, tapi tidak berbalik.
“Apa lagi, Flora?” suaranya terdengar lelah.
Flora menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri, “Aku nggak pernah benar-benar ninggalin perasaan itu, Kak.”
Reva tertawa kecil, tapi tidak terdengar bahagia. “Lucu ya. Kamu yang pergi, tapi kamu juga yang ngomong kayak gitu.”
“Aku nggak pergi…” suara Flora melemah.
Reva akhirnya berbalik, matanya menatap Flora lurus. “Terus? Aku yang ditinggal, aku yang kehilangan, tapi aku juga yang harus percaya kalau kamu nggak pernah pergi?”
Flora terdiam, jemarinya mencengkeram keranjang belanja semakin erat. “Aku—aku nggak tahu harus bilang apa…”
Reva tersenyum tipis. “Itu dia masalahnya, kamu nggak pernah tahu. Kamu nggak tahu apa yang aku rasain waktu kamu ninggalin aku. Kamu nggak tahu gimana aku ngerasain hari-hari setelah itu. Kamu nggak tahu gimana rasanya pura-pura baik-baik aja.”
Flora menggeleng pelan. “Aku tahu, Kak…”
“Nggak, kamu nggak tahu.” Reva menghela napas, matanya sedikit meredup. “Karena kalau kamu tahu, kamu nggak bakal bilang kamu kangen. Kamu nggak bakal datang seakan-akan kita nggak pernah jadi orang asing.”
Flora menatap Reva, matanya berkaca-kaca. “Aku nyesel, Kak…”
Reva tersenyum pahit. “Penyesalan selalu datang belakangan, Flora.”
Flora menggigit bibirnya. “Aku nggak mau kita jadi orang asing…”
“Tapi kita udah jadi orang asing, Flora. Itu pilihan kamu.”
Flora menunduk, suaranya semakin kecil. “Aku cuma… nggak mau kehilangan Kakak sepenuhnya.”
Reva menatap Flora beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil, senyum yang terasa begitu menyesakkan. “Sayangnya, kamu udah kehilangan aku sejak kamu milih Lea.”
Flora menggeleng. “Kak, aku masih…”
“Jangan lanjutkan,” potong Reva cepat. “Aku nggak mau dengar.”
“Tapi—”
“Udah cukup, Flora.” Reva menatapnya tajam, lalu menurunkan suaranya, “Jangan buat ini lebih sulit.”
Flora hanya bisa menatap Reva dengan mata penuh luka. Ia ingin bicara lebih banyak, ingin menjelaskan semuanya, tapi Reva sudah lebih dulu mengambil langkah mundur.
“Jaga diri, Flora.”