NovelToon NovelToon
Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Percintaan Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Portgasdhaaa

Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.

Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dia Calon Menantuku!

Langit masih gelap ketika para anggota keluarga besar Wijaya mulai berdatangan. Mobil-mobil mewah terparkir berjejer di halaman. Beberapa wajah tua, beberapa muda, tapi semuanya menegang. Mereka tahu, malam ini bukan pertemuan biasa.

Di ruang utama, meja panjang dari marmer putih memantulkan cahaya lampu gantung. Kursi-kursi diisi cepat, satu demi satu, dengan wajah-wajah berpengaruh dari anggota inti dan kerabat keluarga besar.

Tuan Wijaya duduk di kursi utama. Wajahnya dingin, tubuhnya tegap meski umur tak lagi muda.

Di sebelahnya, Gunawan Wijaya menatap berkas laporan dengan kening berkerut. Di sebelahnya lagi, Bibi Melati dan Bibi Mira saling berbisik penuh bisikkan tajam.

Rasta duduk di ujung, matanya bergerak ke sana kemari, mencoba memahami apa yang sedang terjadi tapi wajahnya seperti... error.

Aditya dan Ratna duduk berseberangan dengan mereka. Di sisi-sisi lainnya duduk para sepupu jauh, om dan tante dari cabang keluarga lain—Pak Leonard, Tante Sylvia, Tika, Aldo, dan dua anak remaja yang hanya main ponsel sambil pura-pura paham.

Sebagian anggota keluarga hanya diam menunduk, sebagian hanya menatap meja. Tak ada yang mau jadi yang pertama bicara.

Hingga akhirnya...

“Kalau boleh jujur...” suara Leonard terdengar dari sisi kanan meja, tenang tapi menusuk, “...ini sudah terlalu jauh.”

Beberapa kepala terangkat.

“Apa kita semua harus ikut menanggung risiko... dari satu orang asing?”

Aditya mendongak. Matanya tajam.

“Arka bukan orang asing,” katanya pelan tapi tegas. “Dia menyelamatkan putriku.”

Tante Sylvia menyipitkan mata. “Tapi berapa harga yang harus kita bayar? Kamu pikir keluarga Lim akan berhenti hanya karena... idealis mu?”

“Atau karena seseorang nekat main tangan di pesta anak orang?” Aldo menimpali sinis.

Ratna ikut bicara. “Anak itu mencoba menyentuh Laras! Apa kalian semua tuli?! Atau pura-pura bodoh?!”

“Kita tidak bisa langsung percaya pada cerita sepihak,” sahut Bibi Mira pelan, penuh racun. “Mungkin ada kesalahpahaman. Lagipula... anak remaja zaman sekarang juga suka berlebihan—“

BRAK!

Tuan Wijaya mengetuk tongkatnya ke lantai. Sekali. Semua terdiam.

Tapi Gunawan angkat bicara sebelum atmosfer benar-benar tenang.

“Ini... bukan masalah kecil lagi, Keluarga Lim tak main-main. Kita semua tahu siapa mereka.”

“Yang saya lihat adalah satu fakta, Ayah. Anak itu memukul Damian Lim. Di tempat umum. Di tengah acara. Dan sekarang seluruh bisnis kita sedang dipantau. Keluarga Lim bisa mematikan satu jaringan ekspor hanya dengan satu panggilan.”

“Dan karena itulah,” potong Bibi Melati cepat, “kita tidak bisa mempertahankan anak itu. Arka. Dia bukan siapa-siapa. Dan dia sudah membuat masalah terlalu besar.”

“Kita bukan Cuma bicara soal keluarga, Ayah,” lanjut Bibi Mira. “Kita bicara masa depan. Reputasi. Kita punya anak-anak yang butuh sekolah, bisnis yang harus jalan. Semua itu bisa hancur hanya karena satu tindakan sembrono—“

“Sembrono?” Ratna menyela, nadanya penuh gemetar. “Sembrono adalah membiarkan pria bejat menganiaya cucu keluarga ini dan pura-pura tidak tahu!”

“Ratna, kau terlalu emosional,” sindir Bibi Mira. “Kau ibu dari korban. Wajar. Tapi kami harus berpikir sebagai... keluarga besar.”

“Sebagai manusia saja kalian belum tentu lulus!” Ratna menoleh tajam. “Dan kalian mau bicara keluarga?!”

Ratna berdiri. Matanya bergetar.

“Dia menyelamatkan hidup anakku! KALIAN semua di sini... tidak satu pun yang tahu bagaimana Laras pulang malam itu!”

“Sudah, Ratna,” Gunawan memotong, lebih dingin. “Kita paham. Tapi rasa terima kasih tak bisa menyelamatkan bisnis. Atau reputasi.”

Aditya berdiri, membalas tatapan mereka satu per satu. “Kalau yang kalian pikirkan hanya reputasi, lalu apa gunanya kehormatan?”

“Apa gunanya kehormatan kalau keluarga ini tidak selamat?!” bentak Bibi Mira.

“Kau terlalu idealis, Aditya,” Gunawan menimpali, nadanya tak kalah tajam. “Dunia kita bergerak dengan logika, bukan heroisme picisan.”

“Diam kalian semua!” Ratna meledak. “Kenapa semua orang bicara seakan dia kriminal?! Padahal yang mencoba menyentuh anakku itu keponakan mereka! KENAPA KITA TIDAK BICARA ITU?!”

“Kalian terus saja mengatakan dia hanya orang asing, dia bukan bagian dari keluarga ini.” Ratna menarik nafas dalam. Emosinya yang memuncak sudah tidak lagi bisa ditahan.

“DIA BUKAN ORANG ASING! ARKA ADALAH CALON MENANTUKU!”

Untuk sesaat ruangan itu terasa sunyi. Terlalu sunyi.

Semua mata menatap Ratna, sebagian terkejut, sebagian tampak ingin menyangkal, tapi tak satu pun bersuara.

Napas Ratna tersengal. Bahunya naik-turun. Air mata menggantung di ujung matanya, tapi tidak jatuh. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi karena menahan amarah yang selama ini dibungkam.

Bibi Melati menggigit bibir, seolah hendak membalas tapi tak menemukan kata.

Gunawan menyandarkan diri ke kursinya, mengusap wajahnya.

Tika meremas tangan anaknya. Bahkan anak remajanya berhenti main ponsel.

Lalu...

Rasta pelan mengangkat jari. “Anu... kalau misalnya, kita serahin Arka tapi... minta damai gitu... bisa kan?”

Semua orang melirik ke arah Rasta.

Sepi.

Bibi Melati menghembus napas panjang, “Ayah, kita hanya meminta satu hal, berpikir rasional. Serahkan Arka. Biar masalah berhenti di sini.”

“Kalau kita menyerah sekarang, mereka tahu kita bisa diperas,” Aditya membalas. “Hari ini Arka. Besok mungkin kita semua.”

“Aku setuju,” ujar Tante Tika yang baru ikut bicara. “Tapi... kalau bisa, Arka pergi saja diam-diam. Jangan diumumkan. Jangan buat keluarga Lim tersinggung lebih jauh.”

Tuan Wijaya menunduk. Tangannya menggenggam tongkat. Napasnya lambat.

Lalu...

DUK!

Tongkatnya menghantam lantai lagi.

“DIAM SEMUA!”

Semua mulut tertutup.

Ia berdiri. Matanya menyapu ruangan. Tegas. Dingin.

“Kau benar, Gunawan. Kita bukan Cuma keluarga. Kita kerajaan kecil. Dan kau benar, Melati. Reputasi bisa runtuh. Tapi kalian semua... lupa satu hal.”

Ia menunjuk berkas di atas meja.

“Ini bukan tentang bisnis. Ini tentang kehormatan.”

Tatapannya menusuk.

“Arka mungkin bukan darah daging kita. Tapi dia berdiri di antara kejahatan dan cucuku. Dan karena itu—dia adalah keluarga.”

“Ayah—“

“Diam!” bentak Tuan Wijaya ke Gunawan. “Kau pikir kita selamat jika menyerahkannya? Tidak. Kita akan tetap diinjak. Karena mereka tahu, kita bisa dijual.”

Ia melangkah ke tengah.

“Kalau itu harga yang harus dibayar... maka kita akan bayar. Tapi dengan kepala tegak.”

Pelan-pelan, ruang rapat kembali sunyi. Tak ada yang berani bersuara.

Tuan Wijaya berdiri di tengah mereka, seperti benteng terakhir.

“Mulai malam ini, Arka adalah darah dari rumah ini. Siapa pun yang menyentuhnya, menyentuh aku.”

Ia menatap semua satu per satu.

“Dan kalau keluarga Lim ingin perang...”

Tuan Wijaya menatap langit-langit, suara gemuruh petir mengiringi kata-katanya.

“...maka kita beri mereka lebih dari sekadar perlawanan. Kita beri mereka pemahaman, bahkan seekor anjing pun akan menggigit jika ekornya diinjak.”

Hening.

Tak ada satu pun suara dari kursi-kursi yang kini terasa lebih dingin dari lantai marmer. Beberapa menunduk, beberapa lainnya terdiam, wajah mereka sulit dibaca. Tapi jelas: keputusan telah diambil.

Tuan Wijaya menatap seluruh anggota keluarganya. Sorot matanya bukan sekadar keras, tetapi membakar. Seolah ia tak butuh suara bulat. Yang ia butuhkan hanya keberanian untuk berdiri.

“Kalau ada yang masih ingin menyerahkan Arka... angkat tangan kalian sekarang.”

Tak satu pun bergerak.

Rasta mengangkat jari, lalu buru-buru menggaruk kepala. Seolah menyelamatkan dirinya dari keputusan fatal.

“Bagus,” ujar Tuan Wijaya. “Maka mulai malam ini, kalian semua akan ikut menanggung risiko keputusan ini. Jangan pikir kalian bisa cuci tangan.”

Ia melangkah kembali ke kursinya.

“Jika besok bisnis kita diserang, kita hadapi. Jika nama kita dihancurkan, kita bangun ulang dari abu. Tapi kita tidak akan menjual kehormatan untuk kenyamanan.”

Pelan-pelan, Ratna duduk kembali. Bahunya masih gemetar, tapi sorot matanya jauh lebih tegas.

Aditya hanya menatap ayahnya dalam diam. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya—rasa hormat yang selama ini terkubur oleh bayangan sang kepala keluarga.

Gunawan menunduk. Wajahnya kaku. Tapi tak lagi membantah.

Tante Sylvia merapikan syalnya, seolah ingin mengalihkan rasa canggung. Tika memeluk anak remajanya yang dari tadi hanya sibuk main ponsel.

Di ujung meja, Rasta akhirnya berbisik, “Ini berarti... kita beneran perang ya?”

Tak ada yang menjawab.

Lampu gantung di atas meja berayun pelan. Angin dari jendela yang terbuka menggerakkan tirai tipis. Udara masih dingin, tapi kini ada sesuatu yang lebih menekan, beban keputusan.

Tuan Wijaya menatap jam tua di sudut ruangan.

“Sudah cukup. Kalian semua boleh kembali. Tapi ingat... siapa pun yang membocorkan isi rapat ini, bukan lagi bagian dari keluarga ini.”

Perlahan, satu per satu anggota keluarga bangkit dari kursi mereka. Beberapa langsung berjalan keluar, beberapa saling pandang, bingung harus berkata apa. Rapat yang biasanya penuh basa-basi, malam ini tak menyisakan apa pun kecuali diam.

Namun saat hampir semua telah pergi, suara langkah pelan terdengar.

Aditya melangkah mendekati ayahnya.

“Ayah,” katanya pelan. “Terima kasih... karena berdiri untuknya.”

Tuan Wijaya tak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk kecil.

“Aku tak pernah berdiri untuknya,” ujarnya. “Aku berdiri... untuk Laras.”

Aditya diam. Matanya memerah.

“Dan karena Arka aku juga yang telah memilihnya,” lanjut Tuan Wijaya, “maka dia akan selalu punya tempat di rumah ini. Selama dia tak pernah menyakiti hati cucuku.”

“Dia tidak akan,” sahut Aditya. “Saya percaya itu.”

“Maka pastikan dia tahu... bahwa sejak malam ini, musuhnya bukan Cuma keluarga Lim. Tapi siapa pun yang menganggap keluarga Wijaya bisa ditekan seenaknya.”

Aditya mengangguk. Perlahan ia mundur, lalu berjalan pergi.

Tinggallah Tuan Wijaya seorang diri di ruang itu. Ia menarik napas pelan, lalu menatap jendela yang masih terbuka.

Jauh di langit, guratan petir membelah awan gelap.

Udara malam membawa bau hujan yang akan turun. Tapi ia tak gentar.

“Mari kita lihat... seberapa jauh mereka berani mendorong kami ke jurang.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!