NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:15.8k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RESONANSI-1

Duduk bersila di sofa ruang depan, kepala sedikit menunduk, wajah sangat serius dan sesekali mengernyit, terkadang bibirnya manyun atau dikulum gemas, kemudian kedua jempol yang sedari tadi terus bergerak di layar ponsel tiba-tiba berhenti.

Hah! Membosankan. Dia mengeluh dalam hati sambil menggerak-gerakkan bahu yang terasa pegal.

Bermain game kesukaan pun sudah tidak menarik lagi. Dia menggerak-gerakkan bahu lebih intens untuk melemaskan persendian, kemudian menyandar dan ponselnya tergeletak begitu saja di atas paha.

Sepi sekali. Ayah dan kakaknya pergi melihat perkebunan sejak selepas makan siang tadi, sedangkan sang ibu sedang asyik di halaman belakang, membuat pagar dari batang-batang pohon setinggi leher orang dewasa, dibantu oleh sepasang suami-istri. Mereka adalah orang-orang kepercayaan yang selama ini mengurus kediaman Keluarga Gaganantara.

Sebenarnya Diyan ingin sekali membantu karena hanya duduk-duduk saja itu sangat membosankan. Apalagi menjadi satu-satunya yang menganggur sementara orang lain beraktivitas. Namun, apa boleh buat, ibunya tidak mengizinkan.

Haish! Diyan tidak tahan lagi. Akhirnya dia memberanikan diri keluar dari rumah.

Niatnya hanya ingin melihat keadaan di sekitar jalanan menurun akses pribadi menuju rumah terpencil ini, soalnya sudah empat hari berada di Desa Pandan, tetapi dia belum pernah pergi ke mana pun. Itu yang Diyan pikir. Dia tidak tahu saja bahwa sebenarnya pernah pergi cukup jauh dari rumah dalam keadaan tidak sadar.

Sambil melangkah, matanya menatap kagum pada pohon-pohon tinggi tegak lurus meruncing yang tumbuh berjejer di kiri-kanan jalan setelah kira-kira lebih dari lima belas meter dia melangkah. Sebelum itu, yang menghiasi sisi-sisi jalan hanya tanaman hias setinggi dada yang dipangkas rata atasnya. Lampu-lampu yang berada dalam bola kaca putih susu pun tak lepas dari perhatiannya.

Sesampai di pagar besi, batas antara jalan khusus dan jalan umum, Diyan berhenti sejenak. Suara berisik mesin dan debu beterbangan saat beberapa truk pengangkut kayu lewat, Diyan pun buru-buru menutup hidung.

Setelah debu-debu di udara menipis disapu angin, Diyan perlahan membuka pagar, sempat menoleh ke belakang sejenak sebelum akhirnya melangkah.

Aku akan kembali sebelum gelap. Itulah janjinya dalam hati.

Angin berembus cukup kencang, rambut panjang Diyan tersapu ke belakang hingga dahinya yang licin dan lebar kelihatan. Dia mengedar pandang ke sekeliling. Di sebelah kiri tanah cadas miring cukup tinggi, sedangkan di sebelah kanan merupakan tanah kosong. Sepertinya dulu adalah hutan---hutan yang dibabat untuk kemudian dijadikan lahan perkebunan. Beberapa pohon jati muda masih tumbuh di sana.

Daun flamboyan yang lepas dari tangkai beterbangan dan ada yang mendarat di wajah Diyan. Dia menyingkirkannya sambil terus melangkah menyusuri jalan ke mana truk-truk tadi pergi. Jalanan cukup lengang, tidak banyak kendaraan berlalu-lalang.

Setelah berjalan cukup jauh, Diyan sampai di dua tugu yang merupakan pintu gerbang untuk masuk ke jalan besar dan terhubung dengan jalan raya. Jalan tersebut tidak melintas di dalam desa, tetapi berada di luar desa dengan jarak cukup jauh.

Diyan terpukau oleh eksistensi sebuah danau luas yang di tengahnya ada bangunan kuno beratap kerucut dan di ujung ada stupanya, menyerupai kuil atau candi. Jembatan yang sepertinya juga merupakan bangunan peninggalan zaman lampau, entah abad ke berapa, masih tampak kukuh membentang dari ujung sini hingga ke pelataran bangunan yang tampak gersang.

Sejenak Diyan menaikan pandangan untuk melihat Gunung Pandan yang tidak saja ada dekat di depannya, tetapi juga di atasnya. Menatap ke atas dari tempatnya berada, Diyan merasa seperti sedang berdiri di dasar jurang. Dia pun spontan memikirkan hal-hal yang mengerikan tentang bencana alam. Jika terjadi letusan dan tanah longsor maka Desa Pandan akan menjadi yang pertama musnah.

Merasa ngeri, tanpa sadar Diyan pun bergidik, lalu buru-buru mengalihkan pandang ke danau dan candi. Di pelataran dan jembatan dia melihat beberapa orang pria mengenakan jubah cokelat sedang menyapu. Dari penampilan, mereka tampak seperti para biarawan.

Penasaran, Diyan pun berniat menyeberang ke sana. Dia melangkah lebih cepat tanpa menyadari jika dari balik tugu ada seseorang sedang tergesa-gesa berjalan ke arahnya. Tabrakan pun tidak bisa dihindari.

"Agh!"

"Ugh!

Seperti dua titik magnet bermuatan sejenis, kedua tubuh yang bersentuhan itu seketika sama-sama terpental. Diyan bernasib baik karena jatuh di atas rerumputan, sedangkan orang yang bertabrakan dengannya terlempar cukup jauh dan tersungkur tepat di tengah jalan.

Daya saling menolak yang terjadi sungguh tidak normal, tubuh mereka terlontar bagai menabrak pegas. Diyan syok karena dari arah luar pintu gerbang melaju kencang sebuah truk. Berlari untuk menyelamatkan rasanya tidak akan sempat, berteriak memperingatkan pun percuma karena sepertinya orang itu mengalami kesulitan untuk bangun.

Dalam keadaan panik, Diyan tiba-tiba merasa tubuhnya bergerak sendiri. Melompat bangun dan langsung berdiri, lalu berlari secepat mungkin ke arah orang itu. Diyan tidak memikirkan apa pun selain keselamatannya. Bahkan dia pun tidak sadar bahwa kecepatan berlarinya tidak manusiawi. Secepat kilat, dia berhasil menyambar tubuh orang tersebut hanya beberapa detik sebelum truk melintas.

"Woe! Mau mati, ya?!" Sopir truk bertampang sangar, berkepala botak melotot ke arah mereka. Lalu bertanya pada rekan yang duduk di sebelahnya, "kamu juga melihatnya, kan?"

"Melihat apa?"

"Orang itu larinya cepet banget."

"Mana kutahu."

Si sopir menggerutu kesal karena rekannya tidak sungguh-sungguh menyimak, malah asyik mengutak-atik telepon genggamnya.

Sementara itu, Diyan dan orang yang ditolongnya, begitu mendarat di bahu jalan penuh kerikil, tubuh mereka kembali sama-sama terpental. Diyan baik-baik saja, tetapi tidak dengan yang lainnya. Setelah tersungkur, orang itu terbatuk-batuk parah sambil menekan dada. Meskipun merasa ada yang aneh, Diyan tidak sempat memikirkannya lebih lanjut karena lebih mengkhawatirkan kondisi orang yang barusan dia tolong.

"Apa kamu baik-baik saja?"

"Jangan sentuh!"

Orang itu malah membentak kasar sambil menepis tangan Diyan yang hendak menyentuh lengannya, kemudian terbatuk-batuk. Diyan menatap dengan mata menyipit dan dalam hati mencela sikapnya yang tidak ramah.

"Ma-maaf, aku tidak bermaksud kasar," ujar orang itu dengan suara serak dan napas ngos-ngosan.

Diyan berjongkok, bermaksud ingin bertatap muka, tetapi orang itu malah menunduk dalam-dalam menghindari tatapannya. Tudung jaket warna biru tua yang menutup kepala menyembunyikan wajahnya dengan sempurna. Sesaat kemudia, dengan gerakan mengejutkan dia hendak bangkit, tetapi kembali ambruk karena lututnya lemas.

"Butuh bantuan?" Ada nada sarkas dalam suara Diyan. Mulut kasar orang itu telah membuatnya kehilangan simpati maupun empati.

Anehnya lagi, entah kenapa Diyan juga merasakan aura negatif yang membuatnya tidak nyaman berdekatan dengan orang tersebut. Cara orang itu berpakaian mengingatkan Diyan pada manusia bertudung dan bermata menyala yang pernah dilihatnya waktu itu.

"Eng-nggak ... pergilah. Aku bisa sendiri." Orang itu terus berusaha menghindari Diyan dengan cara menunduk dan menyamping.

Lagi-lagi mata Diyan menyipit menatapnya. Dia memang tidak segan menolong orang yang tertindas atau siapa pun yang membutuhkan, tetapi juga tidak akan ragu mengabaikan orang songong sok tidak butuh bantuan, seperti orang itu.

"Baiklah kalau begitu," ujarnya acuh tak acuh sambil bangkit dengan arah tatapan tertuju pada danau. "Apa yang di tengah danau itu candi?" tanyanya kemudian.

Tidak ada jawaban. Pria itu malah terlihat lebih tertarik pada kaki Diyan yang hanya mengenakan celana pendek selutut. Betisnya yang putih, berbulu, kencang berotot, memang terlihat bagus proposional, tetapi tetap saja Diyan ini lelaki. Masa iya, orang itu tergiur?

Matanya berkilat, beberapa kali menelan ludah, dan lidah pun menjilat-jilat bibir seperti pria mesum sedang berahi. Tangannya perlahan terjulur, kuku berujung runcing seperti jarum tiba-tiba memanjang, dan tatapannya buas seperti serigala kelaparan.

"Aku tanya sama kamu, kok, nggak dijawab?" Diyan bertanya sambil menurunkan pandangan.

Orang itu segera menarik kembali tangannya dan membiarkan terkulai di pangkuan seolah lemas, kuku pun kembali normal secara ajaib. Akan tetapi, dia terlambat menunduk untuk menyembunyikan wajahnya.

Diyan mengernyit dan segera membungkuk. Matanya kembali menyipit saat pria tersebut buru-buru memalingkan muka. Setelah cukup lama melihat akhirnya dia pun mengenali orang itu.

"Bukannya ... kamu yang waktu itu bersama Sri?"

Sambil bertanya, dia terus mengikuti ke mana pun kepala orang itu bergerak menghindari tatapannya. Sampai pada akhirnya orang itu menyerah dan memberanikan diri membalas tatapan Diyan, lalu mengangguk samar.

"Berarti namamu Mamat?" Diyan teringat perkataan Sri yang diucapkan terbata-bata saat sarapan waktu itu. Sri menyebut nama Mamat.

Orang yang memang bernama Mamat itu kembali mengangguk. Dia memberanikan diri menatap lekat tepat pada mata Diyan, lalu berkata, "Boleh aku bertanya?" ujarnya.

Diyan lagi-lagi mengernyit. Dia merasa ada yang sedikit berbeda dari suara Mamat barusan. Tadi saat menolak bantuan darinya, suara Mamat terdengar tegas, kasar, serak, berat, dan dalam. Akan tetapi, yang barusan ... terdengar ringan, lembut dan sopan.

"Bagaimana bisa, kamu berlari secepat itu?" Mamat sudah mengajukan pertanyaan bahkan sebelum Diyan setuju.

"Huh?" Diyan menautkan alis. "Maksudnya cepat---"

"Ka-kamu ... bukan manusia biasa?"

Sekarang kedua alis Diyan terangkat tinggi sampai dahi berkerut- kerut, setelah itu menyembur tertawa. "Jangan bercanda," ujarnya kemudian masih dengan sisa tawa yang belum sepenuhnya reda. "Aku cepat karena memang sudah terbiasa seperti itu. Dan sudah tentu aku manusia sepertimu."

Sesaat, mata Mamat terlihat berkilat penuh hasrat, tetapi ketika Diyan kembali menatapnya, sorot mata itu pun kembali redup.

"Mamat, kamu kan saudara Sri. Rasanya sangat nggak sopan kalau aku meninggalkanmu di sini."

"Kenapa?"

"Ya, karena aku dan Sri saling mengenal," jawab Diyan santai. Dia menatap lekat menunggu jawaban dan berharap Mamat mau menerima tawarannya. Entah kenapa tiba-tiba saja dia ingin melihat dan mengenal keluarga Srintil.

Setelah terdiam cukup lana, akhirnya Mamat mengangguk. Namun, diam-diam tersenyum culas. Perlahan dia mengulurkan tangan dan Diyan pun tanpa curiga menyambutnya. Namun, begitu tangan mereka saling bersentuhan, tubuh Mamat tiba-tiba menggigil hebat. Dia mencengkeram kuat-kuat tangan Diyan dan ....

"Aduh! Ish!" Diyan mengaduh seraya buru-buru menarik tangannya.

Tubuh Mamat kembali terhempas, wajahnya memerah dan tegang, mulut terkatup rapat dan pipi mengembung seperti sedang menahan diri supaya tidak muntah.

"Sepertinya, aku bisa pulang sendiri," ucapnya tiba-tiba dan tanpa menunggu respons, dia langsung berdiri, kemudian pergi dengan langkah-langkah lebar.

Menatap kepergian Mamat dengan mata nanar, entah kenapa detak jantung Diyan mendadak bertalu-talu. Diyan terpaku sambil memegang erat-erat pergelangan tangan kanan, seolah takut bila dilepas maka tangannya akan putus.

[Bersambung]

1
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [Fantasi Nusantara]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
bang sleepy
agak ngeri ngeri sedap emg si diyan ini wkwkw
Alta [Fantasi Nusantara]: /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
bang sleepy
anaknya anu kah
bang sleepy
buseeeeddd
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!