Mereka terpaksa menikah meski sudah berjanji tidak akan menikah lagi setelah menjanda dan menduda untuk menghormati pasangan terdahulu yang sudah tiada.
Tetapi video amatir yang tersebar di grup RT mengharuskan mereka berada dalam selimut yang sama meski sudah puluhan tahun hidup di kuali yang sama.
Ialah, Rinjani dan Nanang, pernah menjadi cinta pertama dan hidup saling membutuhkan sebagai saudara ipar. Lantas, bahagia kah mereka setelah menyatu kembali di usia kepala lima?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nggak enak, Pahit
Setelah membahas warna-warni hidup yang tak slalu konsisten dan kegalauan yang enggan sirna. Rinjani mengikuti Nanang pergi ke bagian paling pribadi di hidupnya. Perpustakaan.
“Untuk apa?” Rinjani bertanya di ambang pintu, tak ingin masuk sebab ruangan itu memiliki banyak cerita yang terjalin antara Nanang dan mendiang suaminya. Ruangan itu menjadi tempat percakapan paling serius keduanya, baik memperbincangkan situasi perusahaan, dan semacamnya. Ruangan itu pula tempat yang slalu digunakan mereka untuk menggunjingnya dengan cinta seolah dia adalah camilan yang enak di bagi-bagi.
“Aku tidak ingin bicara di perpustakaan atau jangan-jangan kamu mau mengurungku di sini seperti kamu mengurung Sakila untuk bercinta tanpa gangguan anak-anakmu?”
Nanang berhenti melangkah, kemudian ekspresinya terlihat menerka-nerka.
“Dari mana kamu tahu aku pernah begitu?” tanya Nanang tanpa berbalik. “Kamu memata-mataiku?”
Rinjani memutar mata dengan lambat. Dunianya tidak sebatas rumah, keluarga dan pekerjaan. Tetapi pengalaman dengan mendiang suaminya lah yang membuatnya berpikir seperti itu.
“Kamu melihatku menggauli Sakila di sini?” tanya Nanang dengan suara parau.
“Aku hanya menduga-duga, kalau pun tidak, kamu hanya perlu menepisnya!”
Nanang mengangguk. “Aku memang pernah melakukannya di sini.” sekilas Nanang tersenyum. Mengingat yang lalu. “Tapi aku tidak bermaksud mengurungmu, untuk apa?”
“Asam lambungku naik.” Rinjani menekan ulu hatinya sambil mengernyit sakit.
Nanang menoleh setelah meraih buku di rak favoritnya. ‘Bukuku Perjuanganku.’
“Selain kamu hobi seenaknya, kamu juga... perutmu benar-benar sakit?” Nanang menyadari perubahan di wajah Rinjani.
“Memangnya aku sanggup berbohong?” Rinjani berbalik, meninggalkannya dengan langkah yang tertatih ke kamar.
“Sudah tua kok masih saja dihadapkan dengan urusan perasaan, Gusti. Malu saya sama anak cucu.” gumam Rinjani sambil mendorong pintu, dan langkahnya kian membungkuk ketika mendekati ranjang.
“Aku sudah makan, tapi rasanya tetap tidak kenyang-kenyanh, Mas... Kosong terus perutku.” Rinjani melepas sendal rumahnya seraya membuka selimut.
“Tanpamu aku ngilu, pegel-pegel, dan ringkih.” ratapnya sambil merebahkan diri. Rinjani memejamkan mata alih-alih menelepon pelayannya untuk meminta obat.
“Kamu lapar?” tanya Nanang takut-takut dari celah pintu.
Rinjani membuka matanya dengan malas. Tatapannya bertemu dengan Nanang tua, Nanang yang tidak berbeda dengan Nanang muda dulu. Selalu kepo.
“Aku stress, tidak ada hubungannya dengan lapar.”
“Tapi kamu lapar tidak rasanya?”
“Lumayan.”
“Kamu mau roti bakar, atau getuk?”
“Kenapa tidak!” Rinjani menutup wajahnya dengan selimut, sebentar-sebentar dia merasa mual namun masih bisa di tahan. Sebab itu pula, Nanang pergi ke dapur. Berkacak pinggang.
“Kalau bikin getuk sekarang jadinya lama, Rinjani pasti tambah sewot, telonya juga masih di kebon orang.” Sekilas raut wajah semringah muncul di parasnya. “Beli saja getuknya, tapi di mana? Coba cari onlen-onlen. Sudah modern kok ini, nggak usah repot-repot. Nanti capek, itu sakit.”
Nanang duduk di kursi, cari getuk singkong di online-online. Dan ada. Getuk Jeng Sri. Jauh tempatnya, 6,5km dari rumah.
“Wes nggak papa, yang penting ucapanku sebanding dengan bukti.” Nanang meletakkan ponselnya di meja seraya membuat roti bakar.
“Jaman pacaran dulu juga suka jajan roti bakar, selain murah, ya enak.” katanya sambil membalik roti tawar yang sudah kecoklatan kulitnya.
Nanang menghela napas. “Palingan dia stres gara-gara aku, tapi aku kalau pergi juga tidak bisa. Sudah cap darah, kalau aku melanggar, aku kena hukuman.”
Rampung menyiapkan roti bakar keju dan mises coklat, Nanang membawa serta air putih hangat dan obat asam lambungnya ke kamar.
Rinjani mengintipnya sedikit sebelum menatap Nanang yang duduk di meja kerjanya. “Mana getuknya?”
“Baru di pesan, Mbakyu!” cibir Nanang setengah kesal. “Aku tidak mampu bikin getuk sendiri.”
“Singkong di kukus, terus di ulek, di beri gula dan kelapa parut, terus di kukus lagi kok tidak mampu.”
“Aku mampunya mencintaimu.”
“Bilang sekali lagi, muntah lho aku!” Rinjani mendelik imbas dari rasa mual yang berlebih. Tetapi Nanang tidak menghiraukannya sebab jikalau Rinjani muntah, nanti ada yang membersihkan, ada pula yang melayani priyayi wadon itu bersih-bersih sementara dia hanya akan menyaksikan sang istri cemberut tanpa berani menyentuhnya apalagi mengomelinya.
“Makan dulu roti bakarnya. Getuknya jadi penutup.” ucap Nanang.
Rinjani menghela napas. ‘Kalau ada Mas Kay, sudah repot-repot dia panggil dokter dan polisi buat antar ke rumah sakit. Nanang ini malah pesan getuk, mana roti bakarnya gepeng. Buatnya pasti terlalu pakai perasaan gemes jadi di tekan-tekan.’
“Kamu ini batin apa?” ucap Nanang.
Rinjani menggeleng. “Tidak batin apa-apa.”
Nanang tidak percaya. Dia meraih teh poci yang dibuatnya pakai air panas, teh kering pilihan dari kebun keluarga dan gula batu dalam cangkir yang dibawa Rinjani langsung dari rumah utama. Cangkir emas peninggalan sang suami.
“Ya sudah di minum dulu, di tiup kalau masih panas.”
“Aku tahu!”
Nanang menggaruk pahanya yang gatal dengan kesal. Sedangkan Rinjani bangkit dari ranjangnya dan menyandarkan tubuhnya di tembok.
“Guru anakmu sudah kamu lobi belum?”
“Sudah, Ri.” Gemas, Nanang menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu memikirkan anak-anakku, aku sudah mengurus mereka termasuk video kita itu.”
“Aku peduli kok, nggak boleh?”
“Boleh, tapi mending kamu memikirkan aku daripada anak-anakku.” Nanang menyentuh pipinya dengan ekspresi seolah-olah dimanja.
Rinjani pun tak kuat, dia mengelus perutnya setelah menuangkan minyak kayu putih.
“Kamu itu berarti selingkuh selama mencintai Sakila.”
“Kamu salah.” Nanang memotong-motong roti bakar buatannya agar Rinjani segera menyantapnya.
“Ini bukan tentang selingkuh atau tidak. Apa yang aku lakukan hanyalah membagi hati secara alami dan adil.”
“Lambemu, Nang, Nang...” Rinjani menggelengkan kepala dan menyahut piring yang diberikannya setelah menaruh cangkirnya di meja. “Biar urusanmu di kamarku cepat selesai.”
Rinjani menyantapnya sambil menatapi Nanang lekat-lekat.
Nanang menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Jangan gitu.”
“Kenapa memangnya?”
“Matamu pengen tak culek.”
Rinjani tertawa. “Rasanya nggak enak, kejunya kurang banyak.”
“Sebentar, tak ambilkan.” Nanang meraih piringnya dan keluar kamar. Tapi selagi itu, Rinjani tertatih-tatih menutup pintunya kamarnya.
“Semua laki-laki pintar membagi hati dan menyuguhi perhatian dan kasih sayang yang tidak utuh! Apa itu namanya? Memang Nanang dan Mas Kaysan itu sekali-kali minta di ganyang.” Rinjani memegangi perutnya.
“Telepon besan, kelamaan sakit Nanang nanti sering ngasih perhatian. Nggak enak. Pahit.”
-