Gelora Cinta Usia Senja

Gelora Cinta Usia Senja

Gara-gara Video

Rumah itu dikelilingi tembok tinggi dan penjaga yang ketat oleh pria-pria berseragam batik dan berompi kulit. Sangat sulit untuk menebus perizinan para penjaga rumah itu. Semua harus ada alasan, janji dan jadwal pertemuan untuk menemui dua kepala rumah tangga yang tinggal di lokasi yang sama, Rinjani Alianda Putri dan Nanang Adiguna Pangarep nyaris setiap hari.

Tetapi malam itu, nampak tiga pria yang menjaga pos satpam kediaman Adiguna Pangarep yang besar, seram, asri dan sejuk di pusat kota Yogyakarta kewalahan menghadapi Bapak-bapak yang berdemonstrasi jam sebelas malam.

“Pak Nanang dan Bu Rinjani kumpul kebo!”

“Mereka harus nikah. Selama ini mereka menipu...”

“Menipu apa?” Geram penjaga rumah itu mencengkeram kerah baju Pak RT. Pelopor penggrebekan rumah seseorang yang slalu di segani tanpa tedeng aling-aling itu menggeram minta di lepas. Tidak bisa napas.

“Pokoknya mereka nipu, buka pintunya! Serang, Bapak-bapak... Rumah ini harus di sterilisasi dengan cepat. Dosa besar janda dan duda tinggal di lokasi yang sama!”

Penjaga rumah pun naik tensi ketika Pak RT berusaha memberontak terhadapnya dengan hendak menginjak kaki dan memukuli badannya. Tapi tak bisa, tubuh Pak RT terlalu ceking dan mungil melawan gagahnya penjaga rumah yang mirip Ade Rai itu.

“Anda jawab saja, Tuan kami menipu apa?” bentaknya. “Dan siapa yang merasa tertipu?”

Pak RT memegangi pergelangan penjaga rumah sambil melotot. “Mereka bersikap baik di hadapan semua orang, tetapi di rumah ini, rumah ini penuh rahasia. Mereka maksiat! Nanang dan Rinjani tidur bersama.”

Rasanya penjaga rumah itu ingin menanggalkan organ penting dalam tubuh Pak RT biar ikut mati bersama kematian lelaki dan perempuan yang dicintai Rinjani dan Nanang saking gemesnya dengan tuduhan itu.

“Begitu tidak sopannya anda menyebut tuan kami maksiat dan rumah ini menipu! Pergi atau napas anda menjadi pendek-pendek.”

Dengan segenap kekuatan batin dan rasa tanggung jawabnya atas kepercayaan yang telah di curahkan kepadanya sebagai ketua Rumah Tangga, dia mengayunkan kakinya, membentur tulang kering penjaga rumah.

Kaget, cengkeraman tangan penjaga rumah terlepas. Dia mendengus meski tetap menjaga gerbang besi motif wayang dengan tegap di saat para Bapak-bapak berebut melempar gerbang dengan batu, membuat gaduh suasana.

“Apa yang menyebabkan kalian datang kemari malam-malam? Apa tidak bisa menunggu pagi?”

Pak RT merogoh ponselnya dan memperlihatkan video Rinjani dan Nanang yang tertidur pulas di ranjang merah muda milik Anjana dan Anjani. Berdua saja tanpa balita-balita itu.

“Video ini adalah buktinya, bukti bawah selama ini keberadaan Bu Rinjani dan Pak Nanang bukan sekedar saudara ipar, mereka punya skandal besar di balik sikap ramah dan kewibawaan mereka!” sembur Pak RT.

Penjaga rumah menyahut ponselnya dan menghapus cuplikan video itu. Dia menatap Pak RT yang tetap melotot dan merasa sudah tiba gilirannya merasakan menang.

“Video itu bukanlah skandal besar, mereka hanya tidur bersama bukan bercocok tanam dan memperbanyak anak.” katanya muram.

Pak RT mencibir keterbukaan penjaga rumah itu. Dan sebagai pria yang wajib meluruskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan warganya meskipun warganya lebih kaya tujuh turunan dari zaman nenek moyang, tugasnya tetap harus jalan.

“Video itu sama saja, sudah tersebar di grup RT. Sudah, begini saja. Pak satpam buka pintunya biar saya ceramah di dalam untuk memperingati mereka daripada besok saya bawa ras terkuat di bumi ini untuk demo besar-besaran!”

Tiga pria penjaga rumah itu segera saling pandang, diskusi dilakukan hanya dari sorot mata yang melotot dan mengedip seolah pertimbangan alot itu sangat berpengaruh.

Ade Rai kw berdehem, menggerak-gerakkan lehernya seolah pemanasan.

“Pintu gerbang akan di buka lima menit lagi.” Wajah-wajah penggrebekan rumah ningrat itu nampak bungah. “Tapi ada syarat. Diam selama pengintaian atau kalian akan saya laporkan ke pihak berwajib atas dasar usaha merugikan dan mencemarkan nama baik para tuan.”

Pak RT segera mengiyakan, Bapak-bapak yang lain pun iya. Pokoknya selagi masih bisa melakukan pembenaran dari apa yang di lihat, mereka kompak.

Pintu gerbang terbuka. Syaratnya memang hanya diam mulutnya, bukan lari. Jadi Pak RT yang mempunyai kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu segera lari tunggang langgang memasuki rumah klasik yang memiliki banyak pintu.

Ade Rai kw menggeram sambil tergopoh-gopoh mengejar kawanan Bapak-bapak kebanyakan kopi gula itu.

“Ini urusan gawat, bagaimana bisa video semacam itu sampai ke Pak RT? Siapa yang berani menodai kedamaian rumah ini dan pekerjaanku?”

Kawan-kawannya mengendikkan bahu, soal itu mereka jelas tidak tahu karena ranah mereka sebatas satpam gerbang masuk dan keluar. Jadi yang berani menyebarkan ruang pribadi para tuan hanyalah penghuni rumah.

“Mungkin pelayan rumah yang tidak suka, Pak.”

Langkah pemimpin para penjaga gerbang itu mengambil arah lain, dia pergi ke rumah yang digunakan para pelayan rumah tangga beristirahat sementara di dalam rumah utama, satu persatu pintu mencoba di buka oleh para rombongan Pak RT. Sepi, rumah utama kosong, lima anak Rinjani Alianda Putri sudah menetap di rumah masing-masing setelah menikah.

“Pasti di rumah Pak Nanang, ayo, Bapak-bapak. Ini akan menjadi pahala untuk kita semua.” ajak Pak RT menggebu-gebu tanpa mempedulikan nada peringatan dari dua penjaga gerbang yang mati-matian menghalangi mereka.

“Mereka pasti di salah satu kamar rumah ini. Anak-anak Pak Nanang itu masih kecil-kecil, butuh sosok ibu. Jadi...” ucap Pak RT di depan pintu antik.

“Jadi mereka benar-benar menjalani kehidupan rumah tangga untuk anak-anak mereka. Wah... parah ini. Serbu, Bapak-bapak...”

Dikomandoi Pak RT, rombongannya menyingkirkan dua penjaga gerbang dengan tarik menarik secara susah payah sebelum membuka pintu pintu yang tak terkunci. Selain engselnya sudah longgar dan berderit, mengunci pintu tidak pernah Nanang lakukan.

Mereka mengendap-endap menuju pintu pertama. Jalu Aji sudah tidur dengan komputer menyala. Kamar kedua, Senja dan Pagi tidur bersama kucing-kucing mereka. Kamar ketiga kosong, menuju kamar keempat dan kelima, situasi semakin menegangkan. Ada suara, balita hampir menangis dan suara wanita menenangkan, lalu langkah-langkah kaki yang mendekat dari luar secara bersama-sama membuat Pak RT segera tahu kamar ke lima ialah tempat terjadinya perkara.

Pak RT mendorong pintu dengan pelan, matanya melotot, dirinya tergoda untuk segera membangunkan mereka. Tetapi foto dulu, penting, sebagai bukti bahwa sudah ditemukan sepasang ‘non muhrim’ tidur bersama sambil pelukan.

“Astagfirullah, Pak Nanang... Bu Jani...” Pak RT mengambil bantal lalu memukul kaki mereka. “Astagfirullah, tidak etis ini di lihat. Bangun... Bangun...”

-

Terpopuler

Comments

ꪶꫝMAK DEVI ♉

ꪶꫝMAK DEVI ♉

mampir Thor ngak sengaja lihat di beranda

2024-03-26

0

De Embun

De Embun

setelah sekian lama sya baru mampir baca lg krn hp rusak😁😁😁 jd rehat .

2024-03-17

0

'Nchie

'Nchie

aku cuma.membayangkan mas Kaesang gmn ya? ah knp jadi sedih ya ...

2024-03-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!