Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
"Mau berkata apa lagi, Mas? Aku sudah tidak mau melanjutkan rumah tangga ini. Dan kamu tau artinya apa ... Semua yang kamu punya akan berpindah tangan menjadi miliku!" tekan Sabrina menghunuskan tatapanya.
Dada Gina naik turun, tampak tidak terima dengan ucapan Sabrina barusan. Baru ingin melangkah untuk berprotes, seketika lengannya langsung dicengkram oleh Ambar. Ditariknya untuk dikeluarkan.
Awhh!! Rintih Gina.
"Kamu ini apa-apaan sih?" muak Gina mengambil tanganya dengan cepat.
"Heh! Dasar wanita ngga tahu diri! Pasti ini semua ulah gilamu, kan? Dimana otakmu, Gina? Bisa-bisanya kamu merusuhi rumah tangga Mbak Sabrina! Karena sikap gilamu itu, rasakan saja apa akibatnya. Sebentar lagi, kamu dan Kakakmu itu akan menjadi gembel!" tekan Ambar mendorong bahu Gina.
Gina semakin menggeram. Saat ini dia tidak dapat mengandalkan sang Kakak. Apalagi Rangga tidak memiliki apa-apa selain harga dirinya. Jika bisa dibeli pun, Sabrina akan membelinya untuk diinjak-injak.
"Aku kesini hanya untuk mengambil barang-barangku saja! Tolong beri jalan, karena aku mau lewat." Dengan gaya angkuhnya, Sabrina mengangkat sebelah alisnya, lalu langsung berjalan kedalam.
Rangga terdiam mencoba mengontrol emosinya. Ia memejamkan mata dalam-dalam, diiringi tarikan nafas lirih.
"Ibu ... Ibu sudah pulang?" Mbak Nur sang pelayang, ia mendekat kearah Sabrina, saat majikannya akan naik keatas.
Sabrina menoleh. Ia tersenyum hangat. Mau tidak mau, pertemuanya dengan sang pelayan, akan menjadi pertemuan terakhir dirumah itu.
"Iya, Mbak Nur. Saya datang hanya untuk mengambil barang-barang saya." jabarnya dengan lembut.
"Say bantu ya, Bu? Mari kita keatas," mendapat anggukan sang Majikan, Nur langsung mengikuti dari belakang.
*
*
*
"Hati-hati Sayang ...."
"Daaaa ... Papah!" Irene melambaikan tangan pada sang Ayah, begitu mobil milik Tuan Pambudi melaju kembali.
Dor!
Irene tersentak, kala Eca mengagetinnya dari belakang. "Yah, kaget banget ya, princess?" ucap Eca sambil terkekeh.
"Dasar Ecaaaa ... Jantungku hampir copot gara-gara suara cemprengmu itu!" pekik Irene mendengus kesal.
"Iya deh, maaf ...." tawa Eca pecah.
Terdengar suara motor kawasaki, baru saja memasuki halaman parkir. Haikal dan Haris langsung melepaskan helm, setelah mem parkirkan motornya.
Eca menyenggol lengan Irene. Menyadarkan sahabatnya itu, bahwa sang pangeran baru saja tiba.
Dengan wajah semangat, dan antusias, Irene langsung saja mengembangkan senyum cerah, sedikit berlari menghampiri kekasihnya.
"Kal ... Ada apa? Kok nggak semangat gini?" Melihat kekasihnya menunduk lesu, membuat Irene berpikir negatif, hingga ia menggoyangkan lengan Haikal.
Haris menatap jengah sikap berlebihan Irene. Karena ia paling anti disentuh oleh makhluk yang bernama wanita. "Urus tu, pacar Lu! Hidupnya lagi nggak baik-baik saja," ucap Haris.
Irene memicingkan matanya, seolah sedang mengintimidasi lawan. "Katakan, pasti kamu tahu kan, Haris?! Kenapa Haikal lesu kayak gini-"
Haikal memegang sebelah bahu Irene. Ia mencoba memaksakan senyum di sela rasa rapuhnya. "Tidak ada yang perlu kamu cemaskan! Nanti setelah istirahat, aku akan menceritakan semuanya! Lebih baik kamu masuk, ge!"
Setelah mengatakan itu, Haris dan juga Haikal, mereka langsung melenggang dari hadapan kedua wanita tadi.
Mengingat mereka tidak satu kelas, jadi mereka langsung masuk kedalam kelas masing-masing.
*
*
Aroma maskulin Haris, rupanya membuat para wanita seketika tersadar, dan tampak duduk tenang menatapnya. Namun berbeda dengan satu wanita yang kini duduk disamping bangku Haris.
Mika ... Ia sejak tadi tampak diam, menopang wajah dengan tanganya, dengan pandangan kosong tertunduk. Wajah cantiknya murung, seakan tengah mengalami masalah berat dalam hidupnya.
Entah dorongan dari mana, Haris yang biasanya cuek, bahkan tidak peduli, kini ia malah dengan sengaja menghempas tangan Mika yang tadi menopang wajahnya.
Dan spontan, gadis berkacamata itu tersentak bukan main.
"Nanti kesurupan baru tahu rasa," cibir Harsi, begitu ia duduk dibangkunya. Ia melirik Mika, yang saat ini tengah melayangkan tatapan tidak terima.
"Jahil banget sih!" celetuk Mika, sambil menaikan sedikit kacamatanya.
Haris hanya dapat tersenyum miring, mencoba abai, sambil membuka buku pelajaranya.
Irene san Eca juga ikut masuk kedalam kelasnya. Posisi duduknya berada didepan bangku Mika. Sambil mengibas-ngibaskan tangannya kearah muka, kini Irene mencoba menstabilkan perasaanya sambil menghela nafas dalam.
"Mika, tolong kipasi aku! Eca, beri aku minum! Mikirin Haikal membuatku dehidrasi."
Melihat bagaimana antusiasnya Mika, dan langsung mengikuti ucapan Irene, hal itu membuat Haris menggelengkan kepala lemah sambil bergumam, "Dasar bodoh!"
Wanita muda berusia 25 tahun masuk kedalam kelas 12 B. Penampilanya rapi, dengan seragam putih. Ia adalah wali kelas tersebut. Namanya Miss Andrina, khusus mengajar mata pelajaran bahasa inggris.
"Mika, kamu di minta keruang TU sekarang!" panggil Miss Andrina.
Mika bangkit. Wajahnya tampak cemas. Ia tidak tahu, mengapa dirinya dipanggil kesana. Kesalahan pun tidak ia buat.
"Memangnya ada apa ya, Bu?" tanya Mika seraya menaikan kacamata bulatnya.
"Sepertinya perihal biaya ujian, yang belum terselesaikan! Untuk lebih jelasnya, nanti tanyakan saja kepada Pak Fajar!" jawab Miss Andrina.
Mika tertunduk lesu. Mau tidak mau ia harus meninggalkan ruang kelasnya, untuk menuju ruangan TU.
Haris~wajah pemuda tampan itu tampak gusar. Tatapanya masih melekat kearah pintu kelas, yang tadi dilewati Mika.
Dan begitu Miss Andrina duduk, Haris mengangkat tanganya sambil berkata, "Maaf bu, saya ijin ke toilet sebentar!"
"Iya, silahkan Haris. Jangan lama-lama!"
Mika saat ini tengah duduk tertunduk disebrang Pak Fajar. Setelah tadi mendengar penjelasan tentang tunggakan biaya yang belum terbayar akhir bulan ini, terpaksa pihak sekolah tidak mengijinkan Mika untuk mengikuti ujian nasional.
Karena pintu tidak sepenuhnya tertutup, Haris yang saat ini tengah berdiri disamping pintu, jelas saja mendengar semua penuturan Pak Fajar.
"Tolong sampaikan pada orang tuamu ya, Mika!"
"Baik, Pak ... Kalau begitu saja permisi dulu!" Mika menunduk sopan, lalu segera keluar dari sana.
Sebelum masuk kedalam kelasnya. Mika menuju toilet terlebih dulu. Disisi tembok depan ruang ganti, Mika duduk disana. Ia menangis, menumpahkan rasa sesak yang sejak tadi tertahan.
Apa yang harus ia banggakan sekarang? Bahkan untuk mengadu terhadap orang tuanya saja begitu sulit. Mika sadar, jika ia hanyalah anak diluar nikah. Ingin mengadukan semuanya kepada sang Ayah, rasanya terlalu sulit, apalagi semuanya telah terbongkar.
Tidak ada siapapun disana. Mika memperdalam tangisanya. Hingga, ada sebuah sapu tangan yang menggantung disamping kepalanya.
Mika tersadar, mendongak untuk menatap siapa si pemilik itu. Dengan cepat ia mengusap air matanya.
"Ambilah! Aku tidak tahan melihat ingusmu yang ikutan keluar," kecam Haris menatap jengah.
Benar, pria itu adalah Haris. Sejak tadi ia mengikuti langkah Mika dari belakang. Tahu sedalam apa luka si wanita, Haris tak sampai hati melihat itu.
"Kamu ngapain disini?! Kamu mengikutiku, ya?" Sambil menyahut sapu tangan itu, Mika memalingkan posisi duduknya.
Haris menghela nafas dalam. Memutar bola malas, sambil berkata. "Wanita selalu seperti itu! Selalu mengecam, padahal tidak sesuai opininya. Sungguh malang sekali! Padahal aku ingin ke toilet, dan kebetulan melihat kamu ingusan seperti tadi." Seraya berjalan menuju kamar mandi, pemuda tampan iti tersenyum miring, sambil menggelengkan kepala lemah.
Mika diam. Ia sibuk mengelap wajahnya dengan sapu tangan tadi. Ekor matanya mengikuti langkah Haris, hingga pria itu menghilang dibalik pintu.
...lanjut thor 💪🏼
di tunggu boncapnya thor lanjut.
lanjut thor💪🏼