dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 15. SEPERTI DARI HATI KE HATI
Dukungannya ya
...--------------------...
Siang itu matahari bersinar cerah terlalu cerah bahkan dan hawa panas menyengat terasa lebih menyiksa dari biasanya. Di taman belakang rumah sakit, pemandangan yang tidak biasa terjadi, antrean panjang orang-orang mengular hanya demi satu hal... es krim.
Kinara mendesah lelah dan mengangkat kedua tangannya ke udara, menyerah.
"Aku kalah," ucapnya pasrah.
Di hadapannya, Ryuga tersenyum lebar dengan kemenangan yang jelas terpampang di wajah tampannya. Lesung pipinya terlihat makin dalam, membuat Kinara ingin entah bagaimana mengepalkan tangan dan memukulnya pelan.
"Bagaimana?" tanya Ryuga santai.
Kinara hanya menggeleng. Tangannya refleks menutupi mulut. Ia merasa mual. Terlalu banyak es krim bukanlah keputusan yang cerdas, apalagi di bawah terik matahari seperti ini.
"Ryu, aku tahu kau kaya raya, tapi lihat antrean panjang itu. Kau bisa menyebabkan kerusuhan di sini!" protesnya, agak kesal.
"Tidak akan. Percayalah padaku."
Dengan santainya, Ryuga melambaikan tangan ke arah beberapa satpam yang berjaga tak jauh dari situ.
"Pak, terima kasih atas bantuannya. Tolong kirimkan nomor rekening kalian ke saya, ada sedikit hal yang ingin saya bagikan," ucap Ryuga sopan.
Keempat satpam itu langsung sumringah. Kinara hanya bisa melongo. Ia menyenggol lengan Ryuga, curiga.
"Kau... menyogok mereka ya?" bisiknya pelan.
Ryuga tak menjawab. Ia hanya menahan tawa dan kembali menoleh saat keempat satpam tadi berlari-lari menghampirinya lagi.
"Maaf, Tuan Ryu. Apa ini tidak salah? I-ini terlalu banyak..." ujar salah satu dari mereka, dengan wajah terkejut.
Ryuga mengangguk santai. "Tidak banyak. Tapi mungkin cukup untuk membantu biaya sekolah anak, rumah sewa, perbaiki sepeda motor, atau... renovasi rumah, mungkin?"
Mereka saling berpandangan dengan mata membelalak.
"Tapi... bagaimana Tuan Ryu tahu?"
Ryuga tersenyum kecil. "Rahasia, Pak. Minggu depan silakan temui saya lagi. Sekarang, silakan kembali bertugas."
Kinara yang sejak tadi menahan diri akhirnya tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Mereka memanggilmu Tuan Ryu? Kau sering ke sini? Atau jangan-jangan... kau sering dirawat?" tanyanya curiga.
"Ini rumah sakit milik Daddy. Aku cuma beberapa kali ke sini. Itu pun karena diminta Daddy."
Kinara refleks menoleh ke belakang, memandangi rumah sakit megah di belakangnya. Ia ternganga beberapa detik, lalu kembali menatap Ryuga dengan tatapan tak percaya.
"Ryu, soal tadi... kau kasih mereka berapa, sih, sampai mereka begitu terharu?"
Ryuga tertawa kecil. "Cuma sepuluh juta per orang, Ra."
"CU-MA?" Kinara nyaris tercekik. "Kau mengeluarkan empat puluh juta dalam waktu kurang dari lima menit!"
"Kinara, berhentilah bekerja di kafe itu. Aku bisa membiayai semua kebutuhanmu," kata Ryuga tiba-tiba, serius.
Kinara terdiam. Lalu menggeleng pelan.
"Aku tidak bisa, Ryu. Itu hanya akan membebaniku. Bagaimana kalau... suatu saat kita putus, dan kau minta uang itu kembali? Aku tidak sanggup membayarnya."
Ryuga mendelik.
"Tidak akan ada kata ‘putus’ atau ‘pengembalian uang’, Kinara."
Ia mendekat, menatap gadis itu dalam-dalam.
"Kau harus bertanggung jawab sampai akhir, karena kau sudah membuatku terjebak sejak masa SMA dulu... kau lupa, ya?"
"Lupa apa maksudmu?" tanya Kinara polos.
"Aku akan menculikmu kalau kau kabur atau menghindar dariku," ucapnya santai, tapi nadanya tidak main-main.
Kinara langsung tersenyum jahil. Ia mendapat ide brilian.
"Kalau begitu... aku kabur sekarang, deh!"
Ia bersiap lari, tapi langkahnya terhenti saat Ryuga berkata dengan nada datar namun mengguncang.
"Jangan coba-coba. Kalau kau melangkah satu langkah saja, besok pagi kita langsung menikah."
Kinara langsung berhenti. Tegap. Seperti Patung.
Ia menatap Ryuga yang kini sedang menatapnya balik dengan ekspresi serius campur geli.
"dia ini... serius sekali!" pikirnya dalam hati. Gadis itu bergidik ngeri sendiri. Tak jadi main-main
Kinara masih berdiri di tempat, mematung dengan wajah cemas yang berusaha ia tutupi.
"Ryu, kau tidak serius kan soal menikah besok pagi?" tanyanya dengan nada setengah bercanda, setengah takut.
Ryuga menyilangkan tangan di dada. Meski kakinya masih di perban karena cedera, ekspresi wajahnya tak main-main.
"Aku serius. Kau tahu aku bukan tipe orang yang suka bicara dua kali, Ra."
Kinara mendelik. Ia mendekatkan wajahnya sedikit, menantang.
"Apa itu berarti... kau takut aku kabur?"
Ryuga mengangkat alisnya. "Bukan. Aku hanya tahu satu hal pasti, tak ada tempat di dunia ini yang bisa menjauhkanmu dari aku."
"Gila! Ini cowok kenapa sih makin ke sini makin berbahaya" pikir Kinara, sambil berusaha tetap memasang wajah santai.
"Aku jadi penasaran," ujar Kinara sambil menyipitkan mata, " apa yang akan kau lakukan kalau aku benar-benar lari sekarang?"
Ryuga tersenyum miring.
"Pertama, aku akan menelepon orang-orangku. Kedua, semua stasiun kereta, bandara, dan pelabuhan akan dalam pengawasan. Ketiga…"
Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, membuat wajah mereka nyaris bersentuhan.
"aku akan datang sendiri ke tempatmu, angkat kau pakai karung, dan bawa pulang. Langsung ke KUA."
Kinara membelalak. Wajahnya memerah, telinganya panas.
"A-apa-apaan sih kau ini?!"
Ia memukul dada Ryuga pelan dengan tangannya, lalu berbalik hendak kabur, hanya untuk tersandung rumput dan nyaris jatuh.
Dengan sigap, Ryuga menangkap lengannya. Kinara menahan napas, dada mereka nyaris bersentuhan.
"Ups. Lari belum apa-apa, sudah nyungsep. Nasibmu memang selalu di tanganku, Ra," gumam Ryuga sambil menatapnya lekat-lekat.
Wajah Kinara benar-benar seperti tomat sekarang. Ia buru-buru menarik dirinya, berdehem, lalu melipat tangan di dada.
"Ya sudah, aku pulang! Kau terlalu berbahaya untuk kesehatan jantungku."
"Tapi tunggu, Ra."
Ryuga menarik pergelangan tangannya.
"Besok... temani aku sebentar, ya?"
Kinara mengerutkan kening.
"Ke mana?"
"Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan. Sesuatu dari masa lalu kita yang belum sempat kau tahu."
Kinara menatapnya curiga.
"Ini bukan jebakan kan? Jangan-jangan ini semacam... sesi lamaran diam-diam?"
Ryuga tertawa kecil. "Bukan. Tapi kalau kau berharap itu, bisa kuatur."
Kinara memukul lengannya.
"Berhenti membuatku deg-degan, dasar tukang bikin salting!"
"Tapi kau suka, kan?" bisik Ryuga sambil menatap matanya tajam.
Kinara hendak menjawab, tapi suaranya tercekat. Tubuhnya menegang, namun jantungnya berdetak terlalu cepat untuk membantah.
Ryuga tersenyum kecil.
"Aku suka saat kau tersipu begini. Wajahmu seperti stroberi matang."
"RYUGAAA!" Kinara menjerit, lalu memutar badan dan berlari pelan sambil menahan malu.
Ryuga menatap punggungnya yang menjauh sambil mengusap dagunya.
"Gadis itu... terlalu manis untuk kubiarkan lepas begitu saja."
(Jangan lupa, gen sean Rajendra melekat hampir 90% dalam diri pria itu)
Keesokan Harinya
Kinara berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri dengan ragu. Gaun terusan putih selutut yang dikenakannya tampak sederhana namun manis. Rambutnya dikuncir rendah, dan ia hanya memakai riasan tipis. Tapi jantungnya berdetak seolah hendak meledak.
"Aku hanya... menemani dia, bukan kencan," gumamnya sambil menarik napas panjang.
Tiba-tiba, suara klakson mobil terdengar di luar. Kinara mengintip dari balik jendela, dan ya ampun, Ryuga berdiri di sana, menyender santai di samping mobil sport hitamnya, mengenakan kemeja putih dan celana bahan krem. Rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, dan wajahnya bersinar di bawah sinar mentari pagi.
"Kenapa cowok itu harus seganteng ini sih pagi-pagi?!" batin Kinara sebal tapi berdebar.
Ryuga mengangkat tangan dan melambaikan kunci mobil.
"Ayo, nona. Sudah jam sepuluh lewat dua menit. Kau membuatku menunggu terlalu lama untuk wanita yang sudah kucintai sejak SMA."
Kinara membuka pintu sambil mengerucutkan bibirnya.
"Dasar posesif."
"Tapi kau suka, kan?"
Ia membuka pintu mobil untuk Kinara, lalu ikut masuk ke kursi kemudi.
Sepanjang perjalanan, Ryuga tak henti-hentinya menggoda Kinara. Mulai dari memutar lagu-lagu cinta tahun 2000-an sambil pura-pura menyanyi jelek, sampai dengan sengaja berhenti di lampu merah hanya untuk berkata, "beri aku satu kiss keberuntungan di pipi biar lampunya cepat hijau?"
Kinara mendelik. "Kalau kamu terus begini, jangan salahkan aku kalau nanti aku lompat dari mobil!"
"Lompatlah," jawab Ryuga kalem. "Nanti aku lompat juga, lalu peluk kamu di tengah jalan sambil bawa speaker muter lagu Titanic."
"RYUGA!" Kinara tertawa kesal, memukul lengannya pelan.
Tujuan mereka ternyata adalah sebuah taman kecil di pinggiran kota, agak tersembunyi di balik bukit.
Ryuga menunjuk sebuah bangku kayu tua di dekat pohon rindang.
"Kau tahu itu?" tanyanya pelan.
Kinara mengerutkan kening.
"Tunggu... ini..."
"Tempat kita pertama kali duduk berdua saat kabur dari kegiatan sekolah. Saat hujan turun tiba-tiba, dan kau ngambek karena rambutmu lepek."
Kinara terdiam. Kenangan itu memang masih segar di benaknya, meski sudah lama terkubur. Ia bahkan masih ingat bagaimana Ryuga memayungi mereka berdua dengan tubuhnya karena lupa membawa payung.
"Kau ingat sejauh itu, Ryu?"
Ryuga tersenyum kecil, lalu duduk di bangku tersebut dan menepuk tempat di sebelahnya.
"Setiap detik yang kulalui bersamamu, Ra, selalu kutanam dalam kepala."
Kinara duduk perlahan di sampingnya. Udara terasa sejuk, tapi hati mereka berdua hangat. Ryuga menatap wajah Kinara yang tampak diam-diam terharu.
"Aku membawamu ke sini karena... aku ingin kau tahu bahwa sejak dulu, aku tidak pernah benar-benar pergi dari hidupmu. Meskipun kau sempat menjauh, hatiku tetap di tempat ini. Di sisimu."
Kinara menggigit bibirnya pelan, menahan senyum gugup.
"Ryu... kalau kamu terus bicara manis seperti itu, aku takut benar-benar jatuh."
Ryuga menoleh, matanya menatap dalam.
"Sudah jatuh, Kinara. Tinggal tunggu kau sadar atau tidak."
Mereka sama-sama tertawa pelan. Tak ada suara selain burung-burung kecil dan desiran angin di pepohonan.
Ryuga meraih tangan Kinara pelan.
"Kita mulai dari sini, ya?"
Kinara mengangguk, wajahnya merah merona.
"Mulai dari bangku tua dan memori lama... sampai ke tempat yang belum pernah kita bayangkan."
Setelah duduk cukup lama di bangku tua penuh memori itu, Ryuga mengajak Kinara berjalan-jalan menyusuri taman. Mereka tertawa kecil, membicarakan hal-hal remeh dan saling menggoda seperti dua remaja yang baru jatuh cinta.
Namun langkah Kinara terhenti seketika saat melihat sosok pria tinggi berkacamata yang sedang memotret bunga di sisi taman.
"Rey?" gumam Kinara tanpa sadar.
Pria itu menoleh, lalu tersenyum lebar. "Kinara? Wah, aku tidak percaya ini kau!"
Mereka saling menghampiri dan bertukar sapa. Ternyata, Rey adalah teman masa kecil Kinara yang sempat duduk sebangku di sekolah dasar. Obrolan mereka langsung cair, tentang masa lalu, tentang main petak umpet di gang sempit, dan tentang bagaimana dulu Kinara pernah menolong Rey saat kucing peliharaannya hilang.
Sementara itu, Ryuga berdiri beberapa langkah di belakang, menyipitkan mata curiga.
‘Siapa dia? Kenapa Kinara bisa tertawa selepas itu? Dan...hey! Kenapa si Rey itu berdiri terlalu dekat?!’
Ryuga melangkah maju dengan santai, lalu berdiri di antara mereka berdua membelah ruang di antara Kinara dan Rey.
"Maaf, saya pacarnya," ucap Ryuga dengan nada tenang tapi nadanya cukup menggertak.
Kinara melotot. "RYU..."
"Oh, iya, salam kenal." Rey tampak kikuk tapi tetap sopan.
Ryuga hanya mengangguk sekali dan langsung merangkul pundak Kinara dengan posesif, membuat gadis itu salah tingkah luar biasa.
"Rey, ini... Ryuga. Teman. Dekat. Kadang ngeselin," jelas Kinara tergagap, berusaha menormalkan suasana.
Ryuga tersenyum simpul, lalu berbisik di telinga Kinara, "Teman? Nanti malam aku kirim undangan pernikahan ya, biar statusnya jelas."
Kinara menatapnya tajam, wajahnya memerah. "RYUGA!"
Rey hanya tertawa kecil, lalu pamit pergi karena ada sesi foto berikutnya. Begitu Rey menghilang dari pandangan, Ryuga langsung melepas rangkulannya dan pura-pura bersiul.
"Lucu juga ya... Rey," ejeknya dengan nada datar.
"Jangan bilang kau cemburu?" Kinara mengangkat alisnya menantang.
Ryuga menoleh cepat. "Siapa yang cemburu? Aku hanya waspada. Bisa saja dia penyusup dengan kamera tersembunyi. Dunia sekarang kejam, tahu?"
Kinara tertawa geli. "Aduh, Tuan Detektif, tenanglah. Dia hanya teman lama."
Ryuga memasang wajah cemberut. "Teman lama bisa jadi pacar baru, kalau bodyguardnya lengah."
Kinara menepuk dahinya sendiri. Astaga..."
Beberapa saat kemudian, Ryuga membawa Kinara ke sisi lain taman yang lebih sepi, di bawah pohon sakura yang mulai berbunga. Di sana, telah terpasang sebuah meja kecil dengan dua kursi, dan di atasnya, ada satu lukisan cat air bergambar Kinara tengah tertawa.
Kinara menutup mulutnya, terkejut.
"Ryu... ini..."
"Aku tidak bisa melukis. Tapi aku pesan dari pelukis yang biasa menggambarkan suasana hati seseorang. Jadi, lukisan ini... mewakili perasaanku saat bersamamu."
Kinara menatapnya, matanya berkaca-kaca.
"Ini indah sekali..."
"Dan kamu tahu?" Ryuga menatapnya lekat. "Tawa itu... alasan aku bangkit waktu semua terasa gelap. Jangan pernah berhenti tertawa, ya?"
Kinara mengangguk pelan. "Dan kamu jangan pernah berhenti membuatku tertawa, Ryu."
Mereka pun duduk berdua di bawah pohon sakura, dengan angin berhembus lembut dan kelopak bunga beterbangan. Tak ada lagi Rey, tak ada lagi gangguan. Hanya dua hati yang perlahan menemukan ritme yang sama.
Dan di kejauhan, sang matahari tenggelam pelan seolah memberkati cinta yang mulai tumbuh diam-diam namun pasti.
Di dalam kamar rumah sakit yang sunyi, Alejandro berdiri terpaku di hadapan jendela besar. Tatapannya kosong, memperhatikan langit cerah di luar sana. Tak ada suara yang ia dengar, hanya kesunyian yang mengurungnya dalam kehampaan. Dunia seolah telah mematikan volumenya, dan yang tersisa hanyalah perasaan hampa yang menyiksa.
Sesekali, pandangannya beralih ke arah pintu. Entah sudah berapa kali ia berharap pintu itu terbuka dan menampakkan sosok yang tak mampu ia lupakan, yaitu Elena.
Sejak kemarin, rasa bersalah tak henti menghantuinya. Ia masih mengingat jelas bagaimana ia membentak gadis itu, menyuruhnya pergi padahal Elena hanya ingin menunjukkan kepeduliannya. Alejandro merasa hina. Tak berdaya. Cacat. Dengan pendengarannya yang rusak.
bagaimana ia bisa melindungi Elena? Apa gunanya semua kemampuan bertarungnya jika tak bisa mendengar langkah musuh yang datang?
Di sisi lain rumah sakit, suasana begitu berbeda. Ruangan perawatan Presiden Wigantara dijaga ketat oleh lebih dari sepuluh anggota pasukan pengamanan khusus. Tak sembarang orang bisa masuk, termasuk Elena sendiri.
Hari ini, Diana, istri Presiden sekaligus ibu tiri Elena, berencana memindahkan suaminya ke rumah sakit milik keluarganya di pusat kota.
Alasannya sederhana hanya menutupi berita buruk tentang kondisi Presiden yang tak sadarkan diri akibat insiden beberapa waktu lalu.
Untuk menutupi ketidakhadirannya dalam rapat paripurna, pemerintah mengalihkan perhatian publik dengan menyebarkan kabar bahwa Presiden sedang menjalankan kunjungan kenegaraan ke Jepang.
Elena sudah beberapa kali mencoba mendekat ke ruangan ayahnya, tapi para penjaga selalu menghadangnya dengan dingin. Seakan statusnya sebagai putri Presiden tak memiliki arti.
Kali ini, ia kembali mencoba. Langkahnya cepat, sorot matanya teguh. Namun, belum sempat ia sampai di pintu, sebuah tangan kuat menariknya ke belakang dengan gerakan tegas namun tak menyakitkan. Dalam sekejap, Elena berada dalam pelukan yang sangat dikenalnya...Alejandro.
Tubuh pria itu masih lemah, bahkan tiang infus pun masih terseret olehnya. Tapi pelukannya tetap kuat, seolah dunia akan runtuh jika ia melepaskan Elena barang sedetik saja.
“"Jangan bergerak... Aku melindungi mu." bisiknya rendah, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat jantung Elena berdebar kacau.
Alejandro tahu Elena sedang memprotes. Bibir gadis itu bergerak cepat, jelas tengah menegur atau mungkin bahkan memarahinya. Tapi ia tak bisa mendengar sepatah kata pun. Meski begitu, ia bisa membaca tatapan mata Elena yang panik, bingung, marah, dan... khawatir.
Suasana mendadak tegang saat rombongan pengawal presiden lewat, mengiringi ranjang dorong yang membawa Presiden Wigantara. Diana berjalan di sampingnya, mengenakan kacamata hitam besar yang tak cukup menutupi aura dinginnya.
Tatapan wanita itu singgah sejenak ke arah Alejandro dan Elena yang masih dalam pelukan. Ia berdecak pelan, lalu menggumam sinis, "Dasar anak muda zaman sekarang, tak tahu tempat untuk bermesraan."
Alejandro hanya memejamkan mata sesaat, menahan perasaan aneh yang membuncah. Tapi pelukannya tidak mengendur. Bahkan semakin erat.
Setelah rombongan itu berlalu, Elena mendorong tubuh Alejandro pelan. “Kenapa kamu seperti ini?” gumamnya dengan suara nyaris bergetar.
Alejandro tak menjawab. Ia hanya menatap wajah gadis itu dengan dalam. Sorot matanya tak lagi tajam, melainkan penuh luka yang tak bisa dijelaskan.
Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Elena dengan lembut seolah ingin memastikan gadis itu masih di sana, masih nyata, masih bisa disentuh meski suara dunia tak lagi terdengar.
"Aku takut kehilanganmu, Elena," ucapnya lirih, nyaris seperti gumaman.
"Kalau kamu tahu seperti apa rasanya hidup dalam diam, kamu akan mengerti kenapa aku butuh melihatmu, walau hanya sebentar."
Elena menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak. Hatinya berdesir. Ia tidak tahu harus merasa marah, sedih, atau justru iba. Tapi satu hal pasti, ia tak bisa membenci Alejandro.
Dan tanpa ia sadari, ia pun melangkah lebih dekat dan memeluk pria itu. Perlahan, dengan hati-hati.
Tak ada yang berkata-kata. Tak perlu. Karena kadang, pelukan yang diam itu jauh lebih lantang dari ribuan kata cinta.
Hayoo... pasangan mana yang bikin baper nih , kasi komentar ya 💜