Mutia Muthii seorang ibu rumah tangga yang sudah menikah dengan seorang pria bernama Zulfikar Nizar selama 12 tahun dan mereka sudah dikaruniai 2 orang anak yang cantik. Zulfikar adalah doa Mutia untuk kelak menjadi pasangan hidupnya namun badai menerpa rumah tangga mereka di mana Zulfikar ketahuan selingkuh dengan seorang janda bernama Lestari Myra. Mutia menggugat cerai Zulfikar dan ia menyesal karena sudah menyebut nama Zulfikar dalam doanya. Saat itulah ia bertemu dengan seorang pemuda berusia 26 tahun bernama Dito Mahesa Suradji yang mengatakan ingin melamarnya. Bagaimanakah akhir kisah Mutia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Mobil Datang
Mutia berjalan sendirian di pinggir jalan, keranjang belanjaan di tangannya bergoyang ringan. Pikirannya melayang, membayangkan senyum Sephia dan Sania saat mereka menyantap makanan yang baru saja dibelinya di pasar. Tiba-tiba, sebuah tangan kekar membekap mulutnya dari belakang, membuatnya terkejut dan ketakutan.
"Jangan berteriak!" bisik suara serak di telinganya, tangan itu menariknya paksa menuju sebuah mobil hitam yang berhenti di pinggir jalan.
Mutia meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat itu. Instingnya berteriak untuk melawan, untuk bertahan hidup. Ia menendang, mencakar, dan menggigit, berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri.
"Lepaskan aku! Tolong!" teriak Mutia, suaranya teredam oleh tangan yang membekap mulutnya.
Namun, cengkeraman itu terlalu kuat. Pria itu berhasil menyeretnya ke dekat pintu mobil. Mutia, dengan sisa tenaga yang ada, menendang perut pria itu, membuatnya terhuyung ke belakang. Kesempatan itu ia gunakan untuk melarikan diri, berlari sekuat tenaga menjauhi mobil hitam itu.
"Sial!" geram pria itu, ia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Mobil hitam itu melaju kencang, mengejar Mutia yang berlari ketakutan.
Mutia menoleh ke belakang, melihat mobil itu semakin mendekat. Ia berlari lebih cepat, tetapi kakinya terasa lelah dan jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ia tidak akan bisa lari lebih lama lagi.
Mobil hitam itu semakin mendekat, lampu depannya menyilaukan mata Mutia. Ia mendengar suara deru mesin yang semakin keras, dan kemudian, rasa sakit yang luar biasa menghantam tubuhnya.
Mutia terlempar ke udara, tubuhnya membentur aspal dengan keras. Kesadarannya perlahan menghilang, dunia di sekitarnya menjadi gelap.
Mobil hitam itu berhenti sejenak, lalu melaju kencang, meninggalkan Mutia tergeletak tak sadarkan diri di pinggir jalan.
Mobil hitam itu berhenti sejenak, lalu melaju kencang, meninggalkan Mutia tergeletak tak sadarkan diri di pinggir jalan.
Beberapa saat kemudian, seorang pengendara motor melihat Mutia tergeletak di jalan. Ia segera berhenti dan menelepon ambulans. Suara sirine ambulans memecah kesunyian malam, membawa Mutia menuju rumah sakit.
****
Telepon berdering nyaring, memecah keheningan malam di rumah Ahmad dan Leha. Leha mengangkat telepon dengan tangan gemetar, suara seorang perawat dari rumah sakit terdengar di seberang sana.
"Selamat malam, Ibu. Kami dari Rumah Sakit Sejahtera, ingin menyampaikan kabar mengenai putri Anda, Mutia," ujar suara perawat itu, nadanya serius.
Jantung Leha berdebar kencang, firasat buruk menyelimuti hatinya. "Ada apa dengan putri saya?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Putri Anda mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat ini, beliau sedang mendapatkan penanganan intensif di ruang gawat darurat," jawab perawat itu, suaranya pelan.
Leha terkejut, telepon di tangannya hampir terjatuh. Ahmad, yang duduk di sampingnya, menatapnya dengan tatapan cemas.
"Ada apa, Bu?" tanya Ahmad, suaranya khawatir.
Leha menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Mutia... Mutia kecelakaan," ucapnya, suaranya tercekat.
Ahmad terkejut, wajahnya pucat pasi. Ia segera meraih tangan Leha, mencoba menenangkan istrinya yang mulai menangis.
"Kita harus segera ke rumah sakit," ucap Ahmad, suaranya tegas. "Kita harus melihat keadaan Mutia."
Mereka berdua bergegas keluar rumah, melajukan mobil menuju rumah sakit dengan kecepatan tinggi. Hati mereka dipenuhi kecemasan dan ketakutan, membayangkan kondisi putri mereka yang terbaring lemah di ruang gawat darurat.
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruang gawat darurat. Mereka melihat Mutia terbaring di ranjang, wajahnya pucat dan tubuhnya penuh luka. Air mata Leha mengalir deras, ia tidak sanggup melihat putrinya dalam keadaan seperti ini.
"Mutia, Nak," isak Leha, ia menggenggam tangan Mutia erat. "Ibu di sini."
Ahmad menatap putrinya dengan tatapan sedih, ia merasa marah dan tidak berdaya. Ia tidak mengerti mengapa putrinya harus mengalami semua ini.
Dokter menghampiri mereka, menjelaskan kondisi Mutia. "Putri Anda mengalami luka parah di kepala dan beberapa patah tulang. Kami sedang berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkannya," ujar dokter itu, suaranya penuh simpati.
Ahmad dan Leha mengangguk lemah, mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka hanya bisa berdoa dan berharap, semoga Mutia bisa selamat.
****
Kabar kecelakaan Mutia sampai ke telinga Dito, membuatnya terkejut dan panik. Ia segera bergegas menuju rumah sakit, hatinya dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada wanita yang dicintainya itu.
Sesampainya di rumah sakit, Dito langsung menuju ruang gawat darurat. Ia melihat Ahmad dan Leha duduk di kursi tunggu, wajah mereka penuh kesedihan. Dito menghampiri mereka, menatap mereka dengan tatapan khawatir.
"Bagaimana keadaan Mutia?" tanya Dito, suaranya bergetar.
Ahmad dan Leha menatap Dito dengan tatapan sedih. "Mutia mengalami luka parah di kepala dan beberapa patah tulang," jawab Ahmad, suaranya lirih. "Dokter sedang berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkannya."
Dito terkejut mendengar kabar itu. Ia merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia tidak menyangka Mutia akan mengalami kecelakaan yang begitu parah.
"Aku... aku ingin melihatnya," ucap Dito, suaranya tercekat.
Leha menggelengkan kepalanya. "Dokter belum mengizinkan siapa pun masuk," jawabnya, air mata mengalir di pipinya. "Kita hanya bisa menunggu."
Dito mengangguk lemah, ia duduk di kursi kosong di samping Ahmad dan Leha. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa melakukan apa pun untuk membantu Mutia. Ia hanya bisa berdoa dan berharap, semoga Mutia bisa selamat.
Waktu terasa berjalan lambat, setiap menit terasa seperti jam. Dito, Ahmad, dan Leha menunggu dengan cemas, berharap dokter akan memberikan kabar baik. Mereka saling berpelukan, mencoba memberikan kekuatan satu sama lain.
Setelah beberapa jam, dokter akhirnya keluar dari ruang gawat darurat. Dito, Ahmad, dan Leha segera menghampiri dokter, menatapnya dengan tatapan penuh harapan.
"Bagaimana keadaan Mutia, Dok?" tanya Dito, suaranya bergetar.
Dokter menghela napas panjang, wajahnya terlihat lelah. "Kami telah berhasil menstabilkan kondisinya," jawab dokter itu, suaranya pelan. "Namun, kondisinya masih kritis. Kami akan terus memantau perkembangannya."
Dito, Ahmad, dan Leha mengangguk lemah, merasa lega sekaligus khawatir. Mereka tahu bahwa Mutia masih dalam bahaya, tetapi mereka juga bersyukur karena Mutia berhasil melewati masa kritis.
"Terima kasih, Dok," ucap Dito, suaranya lirih. "Terima kasih telah menyelamatkan Mutia."
Dokter mengangguk, lalu pergi meninggalkan mereka. Dito, Ahmad, dan Leha kembali duduk di kursi tunggu, menunggu kabar selanjutnya tentang Mutia. Mereka akan terus berdoa dan berharap, semoga Mutia bisa segera pulih.
****
Leha duduk di atas sajadah, air matanya tak henti mengalir. Usai menunaikan salat, ia memanjatkan doa dengan suara bergetar, memohon kepada Tuhan untuk kesembuhan putrinya, Mutia.
"Ya Allah, hamba mohon, selamatkan putri hamba," isak Leha, tangannya terangkat memohon. "Hamba tidak sanggup melihatnya menderita seperti ini."
Leha menatap langit-langit masjid, air matanya terus mengalir. Ia merasa hatinya hancur berkeping-keping, melihat putrinya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia tidak mengerti mengapa putrinya harus mengalami semua ini.
"Ya Allah, berikanlah kekuatan kepada putri hamba," bisik Leha, suaranya tercekat. "Sembuhkanlah dia, ya Allah. Hamba mohon."
Leha terus berdoa, memohon kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Ia berharap, doanya akan dikabulkan, dan Mutia akan segera siuman. Ia tidak sanggup membayangkan hidup tanpa putrinya.