Dalam kehidupannya yang tampak biasa, Manik merasakan sentuhan kehadiran yang misterius dan menakutkan. Amurva, sosok yang muncul di berbagai sudut hidupnya, membawanya ke dalam lapisan gelap dunia yang tak terduga.
Namun, dia segera menyadari bahwa keberadaan Amurva adalah awal dari sebuah petualangan yang tak terbayangkan. Kekuatan sihir yang mengelilinginya memasuki dunianya, membuka pintu bagi entitas supranatural yang bertujuan baik, dan juga bagi seorang pengejar kegelapan yang berbahaya - Kala Sungsang.
Manik, terjebak di persimpangan nasib, harus mengungkap misteri di balik kekuatan luar biasa ini dan menemukan jalan untuk melindungi dunianya dari ancaman yang tak terlihat. Tetapi, apakah dia cukup kuat untuk menghadapi arus gelombang magis yang misterius ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Putu Weda Kresna Witana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarana Aji
Melihat kondisi Manik dan istrinya juga ikut-ikutan memburuk, Pak Ida memutuskan untuk kembali menggunakan sarana aji sebagai bentuk perlindungan dari kekuatan dimensi Peteng yang terus mengganggu. Berdasarkan petunjuk dari Sesor, “Ambil sejumput tanah dari halaman rumah untuk dibawa ke kuburan. Tanah ini harus dibuang di sana karena terdapat sesuatu yang bisa dianggap 'kotor' di area rumah. Lakukan ini segera pada malam hari.”
Pada malam yang gelap dan hening ini, orang tua Manik, baik bapak maupun ibunya, dengan tekad bulat melaksanakan sarana aji sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oleh Sesor. Mereka berharap tindakan ini akan memberikan perlindungan bagi keluarga mereka dari ancaman kekuatan gelap yang terus mengintai.
Dalam malam yang kelam, di bawah cahaya remang-remang bulan, Pak Ida dan istrinya, dengan hati-hati dan diam-diam, membawa sejumput tanah dari halaman rumah mereka menuju ke kuburan yang terletak tidak jauh dari sana. Langkah mereka perlahan dan penuh kewaspadaan, seolah-olah alam semesta sendiri merasakan keberadaan mereka.
Tiba di kuburan tua yang diliputi oleh keheningan malam, Pak Ida menggali tanah dengan hati-hati, sebagai bentuk penghormatan kepada roh-roh leluhurnya dan juga sebagai pelaksanaan instruksi Sesor. Sejumput tanah itu diletakkan dengan lembut di atas kuburan, seperti sebuah persembahan untuk melibatkan kekuatan spiritual yang melindungi dan memandu mereka.
Dalam ketenangan malam, mereka menyusun barang-barang yang diperlukan untuk sarana aji. Minyak wangi, bunga-bunga harum, dupa wangi melingkupi kuburan itu, menciptakan atmosfer mistis yang melibatkan kehadiran energi-energi gaib. Dalam kedalaman keheningan, mantra-mantra kuno diucapkan dengan suara pelan dan tulus, mengundang kehadiran para roh penjaga dan energi positif yang mungkin membantu mereka dalam melindungi rumah dan keluarga mereka dari ancaman yang terus mengintai. “Aji damar!” Suara pelan Pak Ida mengucapkan mantra.
Seiring dengan teriakan angin malam yang merayap di antara pepohonan tua, mereka menyelesaikan prosesi aji ini dengan hati penuh harap. Setelah itu, dengan langkah hati-hati, mereka kembali pulang, membawa harapan dan ketenangan di dalam hati mereka. Namun, di balik ketenangan itu, ada kekhawatiran yang mengendap, sebuah perasaan bahwa perjalanan mereka belum berakhir dan ujian-ujian baru masih menunggu di masa depan.
Begitu tiba di rumah saat ini, Manik pun diberikan semacam gelang putih sebagai pengikat akan kekuatan Dieng yang begitu kuasa dari Tuhan. Mengakhiri kembali prosesi yang telah dilakukan Pak Ida, “Manik loncat sebanyak tiga kali di tanah ini, selain untuk mengingatkan jiwa kepada pertiwi, tapi sebagai pelindung bahwa hanya kekuatan sucilah yang menang.”
Dalam tarikan nafas yang dalam, Pak Ida tidak habis pikir akan kejadian peristiwa yang dialami Manik saat secara terang-terangan menjemput Manik sebuah kain yang terbang mencoba mencelakai anaknya, Manik. “Setelah aku melakukan sarana aji, aku harus segera melakukan prosesi Hreyanisa secepatnya,” gumam Pak Ida.
Kekuatan yang Terguncang
Sesaat setelah mereka menyelesaikan sarana aji, dalam keheningan malam yang penuh dengan aroma dupa dan bunga-bunga harum, sebuah suara menakutkan menusuk telinga Pak Ida. Tangisan bayi. Jelas terdengar, meskipun lemah dan samar. Dalam keheningan malam yang seharusnya tenang, suara ini menimbulkan rasa ketidaknyamanan yang mendalam di dalam hati Pak Ida.
“Hah! Dimana ada suara bayi menangis malam-malam begini?!” seru Pak Ida dengan suara gemetar. Ia segera mencuci tangan dan kakinya, merasa keberatan dengan kehadiran yang aneh ini. Denyut nadi di lehernya berdegup cepat, dan rasa cemas merayapi tubuhnya.
Tanpa berpikir panjang, Pak Ida melangkah ke halaman belakang rumah. Setiap langkahnya diiringi oleh suara langkah yang terdengar lebih keras dari biasanya. Pak Ida merasa seolah diawasi oleh mata yang tak terlihat, mata yang memperhatikan setiap gerakannya.
Pak Ida mencari sumber suara bayi ini dengan hati yang berdegup cepat. Namun, beberapa detik kemudian, suara ini tiba-tiba menghilang, meninggalkan Pak Ida dalam kebingungan. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan Pak Ida merasa bulu kuduknya merinding.
Dengan langkah tergesa-gesa, Pak Ida berlari menuju kamar tidur tempat istrinya berada. “Ada sesuatu yang tidak beres,” gumam Pak Ida dengan suara parau, mencoba menyingkirkan ketakutan yang merayap di dalam dirinya.
Saat Pak Ida membuka pintu kamar, matanya terbuka lebar melihat istrinya dalam keadaan pucat pasi, menatap ke arah sudut kamar dengan tatapan kosong. “Apa yang terjadi?” desis Pak Ida, hatinya terombang-ambing antara rasa cemas dan ketakutan. Pak Ida merasakan bahwa sesuatu yang sangat mengerikan melanda rumah mereka, sesuatu yang melebihi pemahaman manusia biasa.
“Apakah ada sesuatu di rumah ini?” gumam Pak Ida, terbangun dari mimpi buruknya, sebelum akhirnya disadarkan oleh Manik. “Bapak, Manik terus mendengar suara anaknya Paman Wesi menangis terus menerus,” kata Manik di sampingnya.
“Hm... Bapak juga tidak tahu, Nak,” jawab Pak Ida dengan kebingungan.
Keesokan harinya, Paman Wesi, dengan alasan yang tidak jelas, memutuskan untuk memotong pohon jambu di rumahnya. Hal ini memicu keributan antara Manik dan pamannya. Paman Wesi berdalih bahwa pohon jambu tersebut dirasanya dihuni oleh hantu, namun Manik dengan tegas menolak alasan tersebut. “Tidak mungkin ada hantu di rumah ini, Paman Wesi mungkin yang hantunya,” seru Manik kepada Paman Wesi.
Namun, Paman Wesi tak peduli dan memutuskan untuk memotong semua pohon di halaman rumahnya.
Ketika malam tiba, tangisan anak Paman Wesi yang sebelumnya mengisi udara diam. Namun, Manik tetap merasakan ketegangan di udara. Manik melihat sosok wanita berambut panjang yang berada di dalam rumah. “Inikah Nayla?” gumam Manik, mencoba memastikan sosok itu, namun segera menyadari bahwa itu adalah sosok yang sama sekali berbeda. Kengerian menyelinap di hati Manik, dan Manik berteriak histeris hingga kedengaran oleh orang tuanya.
“Kenapa, Manik?” tanya Pak Ida khawatir.
“Tadi ada sosok yang sangat menyeramkan, Pak,” jawab Manik sambil menangis.
Pak Ida segera mengecek sekelilingnya. “Manik, mainlah di kamarmu saja. Adikmu sudah tidur, dan sudah malam,” kata Pak Ida dengan nada yang mencoba menenangkan Manik.
“Iya, Pak,” jawab Manik, meskipun masih merasa sangat ketakutan.
Pukul 10 malam, Pak Ida menggumamkan, “Ternyata dugaanku benar, ada keluarga yang menggunakan kekuatan dimensi Peteng. Itulah sebabnya rumah ini menjadi 'kotor' seperti yang disebutkan Sesor,” ujar Pak Ida sambil memastikan kebenaran yang dirasakannya. Dalam hatinya, Pak Ida menyimpulkan bahwa apa yang Manik alami adalah benar adanya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Sesor.
Pak Ida merasa kebingungan mendalam mengenai kejadian-kejadian aneh yang terus terjadi di rumahnya. Pohon jambu yang, menurut Paman Wesi, dihuni oleh hantu, dan tangisan anak kecil yang terus terdengar, menciptakan rasa khawatir yang tak terlukiskan. Pak Ida memutuskan untuk mendiskusikan hal ini dengan Sesor lagi. Begitu mendapat kesempatan, dia mendatangi Sesor untuk mencari penjelasan.
“Sesor, kenapa anak Paman Wesi terus menangis? Dan mengapa aku bermimpi dicari oleh seorang anak kecil menangis di sekitar rumah?” tanya Pak Ida dengan suara bergetar.
Sesor mengangguk paham dan berkata dengan suara tenang, “Setelah kita melakukan sarana aji, seharusnya kekuatan-kekuatan gaib tersebut sudah seharusnya terkurung di tempat yang seharusnya. Namun, kejadian ini mungkin menandakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Manik seharusnya menjalani proses Hreyanisa secepatnya, itu adalah satu-satunya cara untuk menetralisir kekuatan-kekuatan yang mengganggunya.”
Pak Ida mengangguk seraya merasa lega bahwa ada solusi untuk masalah ini. Namun, seiring dengan rasa lega itu, ada kekhawatiran baru yang muncul di benaknya. “Sesor, apa ini semua terkait dengan pohon-pohon yang ada di sekitar rumah kami?” tanya Pak Ida.
Sesor menggelengkan kepala, “Tidak, Pak Ida. Ini bukan karena pohon-pohon itu. Ini karena kekuatan-kekuatan yang tidak seharusnya ada di sini. Mungkin ada orang yang menggunakan kekuatan dimensi Peteng, yang merasa terganggu oleh perubahan yang sedang terjadi di rumah ini.”
Dengan penjelasan ini, Pak Ida merasa semakin terdorong untuk menjalankan prosesi Hreyanisa secepatnya, demi melindungi Manik dari ancaman yang tidak terlihat ini. Meskipun perjalanan menuju kebenaran masih berat dan berliku, Pak Ida akan menjaga Manik dan melawan kekuatan-kekuatan gelap yang mengancam keharmonisan rumah mereka.
Setelah sarana aji dilakukan, suasana di rumah Pak Ida mulai terasa berbeda dan sedikit tenang. Namun, yang tidak mereka ketahui adalah bahwa kekuatan dimensi Peteng merasakan getaran aneh dari sarana aji. Kekuatan gelap tersebut merasakan ancaman terhadap keberadaannya yang seharusnya tersembunyi.
Namun, pertanyaannya masih menggantung: apa bentuk teror yang akan dihadapi oleh Manik selanjutnya? Dan seberapa besar kekuatan dimensi Peteng yang akan dia hadapi? Hanya waktu yang akan menjawabnya, dan dengan itu, Manik bersiap untuk menghadapi ujian terbesarnya yang segera tiba.
~ Catatan ~
Teruslah membaca dengan hati terbuka, pembaca. Setiap halaman membawa kita lebih dekat ke kebenaran, meskipun harus melalui jalur yang gelap. Dan ingat, dalam kegelapan, kita mungkin menemukan kekuatan yang sebelumnya tidak kita sadari. Semoga kalian tetap teguh dalam perjalanan ini, dan semoga cahaya keberanian senantiasa menyinari langkah-langkah kalian.