Kala Sungsang
Malam merayap dalam dinginnya udara, diperdengarkan sorakan jauh suara anjing yang menggonggong. Ruangan tengah terbenam dalam gelap, tetapi di tengah keheningan, sebuah pertunjukan seni sedang membangun intriknya di balai pertunjukan. Di tengah-tengah panggung, Manik, dengan penuh konsentrasi, menarikan Kayon dengan ahli, menjalankan tarian begitu indah. Sebuah melodi misterius dari gamelan gender wayang perlahan bergema, merentangkan kedamaian yang sakral sebelum terhanyut ke dalam irama yang lebih hidup. Sorotan cahaya merayap dan menapaki Manik, memancarkan pesonanya sebagai penari utama. Setiap gerakan tubuhnya terpahat dengan karisma yang tak terbantahkan.
Suara Manik menyatu dengan iringan gamelan gender wayang, menciptakan simfoni yang menjerat dan memukau. Dalam teater yang gelap, mata semua terpaku pada sosok Manik yang menawan, sebuah magnetisme yang tak terelakkan. Permainannya menghasilkan getaran dalam jiwa penonton, menyulut sensasi mendalam di tengah dada. Rasa kagum melampaui kata-kata, membiarkan kulit merinding dan memancarkan aura kagum. Saat penampilan Manik berlangsung, seisi balai pertunjukan tertangkap dalam pesona seni yang menggetarkan, mengalami momen yang mengesankan dan mewakili puncak dari ekspresi manusia.
Malam ini, suasana di balai pertunjukan desa begitu meriah. Lampu-lampu sorot yang tergantung di atas panggung menyinari setiap sudut ruangan. Penonton yang memadati bangku-bangku kayu yang kerasan berdesir dan bersorak riuh ketika pengumuman pemenang perlombaan pentas seni antar sekolah akhirnya dibacakan.
"Dan pemenang dari kategori seni tari adalah… Sekolah Amanta!" Teriakan riuh penonton pecah begitu nama Sekolah Amanta diumumkan. Para siswa dari Sekolah Manik pun berdiri dan bergandengan tangan dengan gembira, terutama Manik, yang baru pertama kali ikut serta dalam pementasan seni tari.
Manik tidak dapat menahan senyuman bahagianya. Ia merasa seperti melayang di atas awan-awan. Sebelumnya, ia hanya mencoba ikut audisi karena dorongan teman-temannya. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia bisa menjadi bagian dari tim tari sekolahnya, apalagi memenangkan perlombaan ini. Aura kebahagiaan yang memancar dari wajahnya memikat semua yang melihatnya. Tidak hanya teman-temannya, bahkan orang-orang di luar sekolah yang datang untuk menyaksikan pementasan ini terpesona.
Setelah menerima piala dan hadiah lainnya, Manik dikelilingi oleh teman-teman sekolahnya. Mereka berpelukan, tertawa, dan merayakan kemenangan mereka dengan semangat yang tinggi. Namun, Manik tetap merasa rendah hati. Ia tahu bahwa ini bukan hanya hasil dari keberuntungan semata. Ia telah bekerja keras bersama tim tari sekolahnya, berlatih hingga larut malam, dan mengatasi berbagai kesulitan selama persiapan.
Ketika acara berakhir, beberapa penonton dari desa tetangga mendekat ke panggung. Salah satu dari mereka, seorang wanita tua dengan rambut abu-abu panjang yang diikat dengan simpul di bagian belakang kepalanya, menghampiri Manik dengan senyuman hangat.
"Anak muda, siapakah namamu?" tanya wanita itu dengan penuh rasa ingin tahu.
"Namaku Manik, Bu," jawab Manik dengan sopan.
Wanita itu mengangguk. "Manik, aku harus mengatakan sesuatu padamu. Ketika kamu menari di atas panggung tadi, aku merasa ada aura yang sangat kuat dan sakral dalam penampilanmu. Kau membawa keindahan dan kekuatan yang luar biasa. Ini lebih dari sekadar penampilan biasa."
Manik merasa terharu mendengar kata-kata wanita itu. Ia tidak tahu bagaimana meresponsnya, jadi ia hanya tersenyum malu-malu. Wanita itu melanjutkan, "Ingatlah, Manik, bakatmu adalah anugerah yang sangat istimewa. Jangan sia-siakan kekuatan ini. Teruslah mengejar impianmu, dan kamu akan mencapai hal-hal luar biasa."
Manik mengangguk dengan penuh rasa terima kasih. Kata-kata wanita itu memberinya semangat baru untuk terus berusaha dan berlatih. Ia tahu bahwa meskipun ini adalah keisengan dari teman-temannya dan Manik hanya mencoba melakukan suatu hal baru.
Pementasan di balai pertunjukan desa tersebut tidak hanya membawa kemenangan bagi Sekolah Manik, tetapi juga membawa sebuah pengalaman berharga dan inspirasi bagi Manik. Ia belajar bahwa keberhasilan bukan hanya tentang hasil akhir, tetapi juga tentang perjalanan, kerja keras, dan semangat yang dibawanya dalam apa yang dicintainya.
Minat dan Bakat
Sekolah Amanta adalah tempat Manik menempuh pendidikan sebagai murid menengah pertama. Sebagai murid biasa, Manik memiliki minat dalam berbagai hal, seperti menulis, menyanyi, menari, berolahraga, dan kegiatan lainnya. Prestasi akademik Manik tidak selalu mencapai peringkat tertinggi, karena Manik mengakui bahwa ia tidak terlalu pandai dalam pelajaran. Oleh karena itu, ia mencoba beberapa kegiatan non-akademik untuk mendapatkan pengalaman baru.
"Apakah ini pelajaran matematika lagi?" Manik bertanya kepada teman sebangkunya.
"Iya, benar," jawab teman sebangkunya.
Pelajaran matematika sering kali membuat Manik merasa kelelahan. Maka, Manik mengajak temannya, Candra, untuk pergi ke toilet dan menyegarkan diri.
"Candra, apakah kamu juga merasa mengantuk?" tanya Manik sambil membasuh wajahnya.
"Agak, sebenarnya," jawab Candra sambil tersenyum. "Ini sesi pembelajaran terakhir, tetapi kita sudah cukup lelah, terutama setelah olahraga pagi tadi."
Pelajaran matematika berlanjut, namun tiba-tiba terdengar teriakan dari kelas sebelah yang membuat guru dan murid di kelas 2B terkejut. Suasana menjadi hening sejenak.
Hembusan angin kencang dengan cuaca panas siang tiba-tiba membuat semua orang bingung. Manik, Candra, dan yang lainnya segera menuju kelas 2C. Di sana, mereka melihat bahwa Omar, Sarah, dan Jesika mengalami kerasukan dan pingsan, sementara murid-murid lainnya tampak syok dan lemas.
"Tenang, semua orang, mari kita tenang," kata Ibu Umi, mencoba menenangkan murid-murid kelas 2C. Mereka semua diminta keluar dari kelas dan duduk di taman baca depan perpustakaan.
"Apa yang sedang terjadi?" tanya seorang murid kepada Manik yang sedang duduk bersama teman-temannya. Hampir semua murid di Sekolah Amanta berkumpul di depan kelas 2C, ingin tahu apa penyebab kejadian ini.
Aldo memberi tahu Manik, "Sarah merasa tidak enak badan, awalnya dia tampak melamun. Saya sempat mengatakan padanya untuk pergi ke UKS, tetapi tiba-tiba dia berteriak."
"Jesika dan Omar juga ikut berteriak," tambah Aldo.
Para murid yang berkumpul di taman baca mulai berbicara tentang kejadian aneh di kelas 2C. Kejadian ini merupakan pertama kalinya terjadi di Sekolah Amanta selama Manik bersekolah di sana.
Bel sekolah berbunyi tiga kali, menandakan waktunya pulang. Sore nanti, Manik dan Candra berencana untuk belajar kelompok dan menyelesaikan beberapa tugas yang harus dikumpulkan besok. Manik merasa beruntung memiliki Candra sebagai teman sebangku, karena Candra adalah murid juara umum di Sekolah Amanta dalam hal prestasi akademiknya, sementara Manik memiliki minat di berbagai bidang lainnya. Mereka adalah teman yang saling melengkapi.
Dalam perjalanan pulang, Manik berjalan kaki bersama teman-temannya. Moment ini sangat istimewa karena kebersamaan mereka begitu erat, mereka saling berkelakar dan tertawa sebelum akhirnya beristirahat di teras rumah dengan angin sejuk yang menghembus. "Ussh! Hari ini benar-benar melelahkan," gumam Manik dalam hati. Mereka akan bersiap untuk belajar kelompok bersama Candra sebentar lagi. Sementara menunggu Candra, Manik menyempatkan diri membersihkan diri, makan siang, dan beristirahat sejenak.
Tiba-tiba, telepon Manik berbunyi dengan dering yang khas. "Dringg!"
"Manik, apakah kamu membawa buku paket berlapis coklat yang aku tinggalkan di atas meja?" tanya Candra.
Manik menjawab, "Tunggu sebentar, aku akan cek." Ia mulai mencari buku paket yang dimaksud di dalam tasnya. "Maaf, Candra, ternyata buku itu tidak ada di sini. Apakah mungkin kamu lupa membawanya?"
Candra merespons, "Aku akan periksa sekali lagi."
Manik menggelengkan kepala dengan sedikit keheranan melihat kelakuan Candra. Sambil menunggu jawaban dari Candra, Manik mencoba mengingat-ingat buku paket tersebut. Ia tahu itu adalah buku milik Candra yang ia lihat di atas meja Candra. "Aku pikir tadi Candra sudah membawanya," gumam Manik dalam hati.
Candra melaporkan lewat telepon, "Tidak, Manik, buku itu tidak ada di sini. Bisa kamu ambilkan dari kelas kita? Aku khawatir bukunya akan hilang, dan kita juga harus berbagi kelas dengan orang lain."
Manik menyetujui, "Tentu saja, Candra." Ia tidak terlalu terkejut dengan permintaan bantuan Candra, karena ini bukan kali pertama Candra melupakan sesuatu atau kurang berhati-hati, meskipun ia sangat pintar dalam pelajaran. Manik menganggap ini hanya salah satu kelemahan yang dimiliki oleh semua orang.
Rumah Manik cukup dekat dengan sekolah, sehingga Candra sering meminta bantuannya. Terkadang, saat Candra memiliki latihan tambahan di sekolah hingga sore, ia akan singgah ke rumah Manik sebentar untuk makan siang dan menunggu jemputan dari ibunya. Demikian juga ketika Manik terlibat dalam kegiatan tambahan di sekolah, ia tidak perlu khawatir tentang jarak pulang yang jauh, karena hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di rumah.
Di tengah teriknya matahari pada siang hari, Manik berjalan seorang diri melewati perempatan di depan rumah menuju sekolah. Panasnya udara membuat kulit Manik terasa terbakar. Ia melewati perempatan jalan dua kali sebelum melanjutkan perjalanannya menuju sekolah.
Tiba di sekolah, Manik meminta izin kepada ketua kelas 1B untuk mengambil sebuah buku paket yang terletak di meja Candra. Kelas 1B adalah kelas adik kelas yang mendapatkan kelas di sore hari setelah kelas 2B pagi hari. Manik mengucapkan terima kasih kepada ketua kelas 1B atas bantuannya dan kemudian segera pulang.
Saat melintasi perempatan pertama menuju rumah, Manik merasakan sesuatu yang aneh, seolah-olah ada yang mengikuti. Terkadang, perasaan ini membuat Manik mempercepat langkahnya. Mungkin ini hanya perasaan yang datang setelah dua hari terakhir Manik menonton film horor bersama Candra, yang membuatnya terus membayangkan wajah hantu dalam film tersebut.
"Seperti ada yang mengikuti tadi, tapi kok tidak ada ya..." gumam Manik dalam hatinya.
Ketika tiba di Gang Jingga, Ibu Nurisah bertanya, "Baru pulang sekolah, Manik?"
Manik menjawab, "Iya, Ibu. Tadi saya ambil buku yang tertinggal di kelas, hehehe..."
Ibu Nurisah bertanya lagi, "Kelas berapa sekarang, Manik?"
Manik menjawab sambil menundukkan kepala dan tersenyum, "Sudah kelas dua, Ibu."
Ibu Nurisah tersenyum dan membawa sebuah daun pisang di tangannya.
Setelah itu, Candra tiba di rumah Manik. Manik bertanya, "Candra, sudah lama kamu sampai di sini?"
Candra menjawab sambil memberikan senyum, "Maaf ya, Manik, sudah merepotkanmu. Aku baru saja tiba. Ayahku yang mengantarku tadi."
"Oh iya, tadi di sekolah, apakah kamu bertemu dengan Sri, Wulan, Diah, dan Yuli?" tanya Candra. "Aku lupa bahwa hari ini sebenarnya ada pertemuan siswa berprestasi di laboratorium fisika."
Manik menghela nafas dalam-dalam sambil tertawa, "Astaga, Candra. Kenapa kamu selalu sedikit ceroboh, hahaha... Tadi aku tidak melihat mereka, karena semua siswa kelas satu sudah masuk ke dalam kelas."
Candra berkata, "Ooh... Ayo kita mulai belajar."
Manik menyarankan, "Baiklah, mari kita mulai dengan tugas matematika dulu, Candra. Ada beberapa bagian yang masih membuatku bingung."
Candra mengatakan dengan candaan, "Sepertinya, semuanya bikin bingung, Manik, hahaha..."
Manik ikut tertawa, "Hahaha... Ya, memang begitu. Entah kenapa pelajaran matematika selalu membuatku merasa seperti anak kecil yang tidak bisa mengerti angka."
Candra memberi saran, "Mungkin kamu perlu mengulangi rumus-rumusnya lagi, Manik, mungkin itu yang membuatmu paham."
Manik menjawab, "Aku sudah mengulangi rumusnya, Candra. Tetapi aku seringkali bingung dengan perkalian dan pembagiannya..."
Candra tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Manik, "Bukankah aku sudah sering memberimu contoh soal dan pembahasannya seperti ini, Manik?"
Manik tersenyum, "Tapi ketika ujian tiba, semuanya tiba-tiba terasa berbeda, Candra."
Mereka lalu fokus pada latihan soal matematika. Dalam hati, Manik bergumam, "Aku sudah berusaha yang terbaik, tapi nanti mungkin aku akan lupa lagi, hahaha..."
"Manik, nanti kamu akan berlatih pidato di rumah Ibu Ana, bukan?" tanya Candra.
Manik menjawab, "Hm... sebenarnya aku belum pasti, Candra. Aku belum menghafal naskah pidatonya."
Candra mengingatkan, "Sepertinya kamu selalu berlatih di sekolah, Manik. Masih belum hafal juga?"
Manik menjelaskan, "Naskah ini masih perlu beberapa perubahan, jadi aku hanya berlatih untuk memahami konteks pidato ini, Candra."
Pertemanan antara Manik dan Candra, yang saling mendukung dalam berbagai bidang, membuat mereka dikenal di Sekolah Amanta sebagai "Duo jenius." Manik memiliki prestasi gemilang dalam bulu tangkis, pidato, tarik suara, dan tarian. Di sisi lain, Candra memiliki prestasi luar biasa dalam olimpiade fisika, matematika, dan sains. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kalah Lomba
Setelah menghadapi beberapa perlombaan, Manik dan Candra tidak langsung meraih julukan "Duo Jenius." Pada perlombaan pidato pertamanya di Balai Pertunjukan Seni dan Kebudayaan yang bertajuk "Karana Arti," Manik mengalami kekalahan yang mendalam. Kegagalan ini membuatnya merasa malu dan bahkan menangis selama seminggu. Kepedihan Manik atas kegagalan tersebut sangat besar, menghancurkan harapannya untuk meraih kemenangan.
Namun, setelah beberapa kali mengalami kekalahan, Manik memutuskan untuk mengubah perspektifnya. Ia mulai berprinsip untuk melakukan yang terbaik tanpa terlalu memikirkan apakah ia akan menang atau kalah. Candra juga mengadopsi sikap yang serupa. Meskipun ia sering meraih gelar juara umum di Sekolah Amanta, ia menyadari bahwa prestasi itu belum menjamin kesuksesan dalam olimpiade fisika pertamanya. Bahkan, dalam tiga percobaan pertamanya, Candra juga mengalami kekalahan.
Manik dan Candra kemudian saling berbagi cerita dan saling mendukung satu sama lain. Mereka pernah mengalami perundungan karena kekalahan mereka. Seorang siswa pernah mengolok-olok Candra sambil berjalan bersebelahan dengannya, mengatakan, "Aku kira juara di Sekolah Amanta bisa menang melawan sekolah lain, hahaha..."
Manik segera merespons dengan sinis, menarik tangan Candra, dan membawanya masuk ke dalam kelas. "Candra, jangan pedulikan mereka, mereka hanya menaruh harapan besar padamu. Cara mereka mengungkapkannya memang salah," kata Manik, memberikan dukungan kepada Candra dengan tulus. Candra tersenyum, merasa bahagia memiliki seorang teman seperti Manik yang selalu ada untuknya dalam saat-saat sulit.
~Catatan~
Tanpa ada rasa ketakutan, bagaimana mungkin seseorang akan dapat melangkah sukses?
Mengenal diri sendiri akan memudahkan dirimu mengenali karakter orang lain.
“Jika sebuah ketakutan menjadi penghambat, maka keberanian hadir menyelamatkan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Vivi Z
izin mampir thor hihihi
2023-09-27
1
Dima
Coba saja Manik bisa matematika pasti gak bakal horor lagi hahaha...
2023-09-26
3