Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Lega
"Apa? Dia ke kantor?"
Bukan hanya Bima yang ketar-ketir, tapi juga Yudha. Sudah jelas dia yang dimaksud adalah Lengkara, agaknya Bima terlalu lengah sampai tidak memikirkan masalah ini. Sama-sama panik, Bima bergegas pergi dan tanpa sadar turut mendorong Yudha yang sejak tadi duduk di kursi rodanya.
"Kau saja, Bima!! Kenapa malah ajak aku?"
"Aku panik, tapi dia tidak bilang kalau mau ke kantor, Yudha."
"Tenanglah ... untuk beberapa hari ke depan tetaplah di sana, dan tidak perlu mengkhawatirkanku. Bukankah kau bisa memantau para karyawanmu dari sana," tutur Yudha berusaha tetap tenang, walau bayangan Lengkara yang marah dan meledak-ledak sudah begitu jelas di otaknya.
"Bisa memang, tapi aku ingin bertemu ibu juga."
"Bisa kau hubungi, lagi pula Lengkara pasti ingin tahu kabar ibu, Bima."
Yudha mungkin sudah terbiasa menghadapi masalah, atau mungkin terbiasa dengan kegilaan Lengkara hingga dia tampak sesantai itu. Padahal, saat ini Bima yang seakan gila dan bergegas pergi padahal baru saja tiba.
"Maafkan aku, Bima," tutur Yudha menghela napas pasrah.
Perlahan Yudha kembali masuk ke ruang tamu, untuk saat ini berada di kursi roda bukan hal buruk baginya. Jujur saja pikiran Yudha saat ini sedang tidak berada di rumah, melainkan justru pada saudara kembarnya.
"Aku lupa memintanya berhati-hati," sesal Yudha kemudian, sungguh hanya karena satu kata itu lupa terucap, Yudha merasa benar-benar bersalah.
Tidak kehilangan akal, Yudha menghampiri meja dan meraih benda pipih miliknya. Meski sederhana, dia tidak tenang sebelum kalimat "Hati-hati saja, Bima ... jangan terlalu gegabah, Lengkara tidak akan marah." itu terucap dengan sempurna.
Namun, belum sampai lima menit ketenangan Yudha kembali terusik kala melihat kotak bekal berwarna merah muda itu tidak sengaja tertinggal. Seketika Yudha agak ragu untuk hal yang satu ini, tapi pada akhirnya Yudha memutuskan untuk memberitahukannya juga.
"Bim, kotak bekalnya ketinggalan ... siapkan alasan kalau tidak mau tidur di luar."
Bima yang terancam, tapi dia yang takut. Perkara kotak bekal adalah hal yang rumit, itu adalah hal yang Yudha rasakan sejak dalam didikan ibunya. Saat ini, Yudha hanya bisa berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi, semua baik-baik saja dan kedatangan Lengkara mungkin hanya memastikan keadaannya di kantor Zean, itu saja.
.
.
Jika di Semarang Yudha berusaha berpikir positif, di sisi lain Bima tengah berusaha menyiapkan jawaban andai nanti Lengkara bertanya banyak hal. Dia ke kantor Zean tanpa memberitahu lebih dulu, pagi tadi Lengkara menghubunginya dan membahas masalah sendok, entah kenapa firasat Bima sudah begitu buruk saat ini.
Setelah melalui perjalanan yang begitu panjang, Bima tiba di kediamannya. Rumah itu tampak sepi dan tidak menunjukkan tanda-tanda Lengkara mengamuk atau semacamnya.
Hari ke hari selalu Bima hadapi dengan jantung yang tidak aman sama sekali. Pria itu melangkah masuk, rumah seluas itu hanya dihuni berdua bersama asisten rumah tangga dan juga penjaga. Jelas terasa amat sepi dan berbeda dari kehidupan Lengkara sebelumnya.
Bima sudah was-was, dia mencari keberadaan Lengkara dengan pikiran yang sudah menduga-duga. Bagaimana jika dia pergi ke rumah papanya, jelas akan rumit urusannya. Dada pria itu naik turun, dengan napas yang kini terengah-engah, Bima memanggil nama Lengkara berulang.
"Astaga dimana dia?"
"Mas? Sudah pulang?"
Bima sudah pucat pasi, tapi Lengkara terlihat sesantai itu menatapnya dari kejauhan. Dia menghampiri dengan langkah pasti dan juga penampilan yang terlihat begitu segar, aroma tubuh Lengkara menguar hingga menelisik rongga hidungnya.
"Tumben cepat, biasanya lembur," ucap Lengkara dengan kening berkerutnya.
"Kamu ke kantor kapan?" Tidak menjawab, Bima justru melempar pertanyaan.
"Tidak lama setelah mas pergi, aku lupa kasih mas sendok ... tapi mau manggil sudah telanjur pergi, jadi ya aku bawa ke kantor eh mas belum datang ternyata."
Lega, penjelasan Lengkara membuat pria itu mengira jika sang istri benar-benar serius, tanpa dia sadari jika Lengkara sudah menyiapkan jawaban andai ditanya jauh sebelum Bima pulang.
"Kenapa bisa lebih cepat kamu?"
"Aku naik ojek, jadi cepat, Mas ... sampai kantor aku sakit perut dan mau pakai toilet kantor aku tidak terbiasa jadi pulang. Terus karena aku takut sendoknya tidak benar-benar sampai sama kamu, ya sudah aku bawa pulang juga," jelas Lengkara sejelas-jelasnya dengan tatapan tak terbaca yang kini tertuju pada Bima.
"Oh begitu."
"Iya, sana mandi ... pasti lelah, 'kan seharian ini?"
Bima mengangguk, dia menurut begitu Lengkara memintanya untuk mandi. Sementara wanita itu masih mengekor di belakang punggung Bima, memerhatikan gerak-gerik pria itu dengan wajah datarnya.
"Ah iya, tadi bekalnya mas habiskan?" tanya Lengkara duduk di tepian tempat tidur layaknya seorang istri yang antusias mendengar keluh kesah suami sepulang kerja.
"I-iya, kuhabiskan, Kara." Matilah dia, kenapa Bima baru mengingat masalah ini, bagaimana jika Lengkara justru bertanya soal kotaknya, pikir pria itu.
"Bagaimana rasanya?"
"Enak, rasanya pas di lidahku," jawab Bima yang kini tampak sedikit lebih tenang, sementara Lengkara hanya menggangguk pelan.
"Oh iya? Kalau telurnya gimana? Habis juga, 'kan?" tanya Lengkara lagi, sontak otak Bima kembali mencari jawaban lantaran memang sama sekali dia tidak melihat isinya, yang dia tahu nasi goreng, itu saja.
"Tentu saja, bahkan tomatnya juga kumakan," jawab Bima asal, dia hanya menggunakan pengalaman beberapa hari terakhir, seingatnya Lengkara masak nasi goreng tentu disajikan dengan irisan tomat dan juga telur dadar.
"Bahkan isinya saja tidak kamu buka ... aku tidak menambahkan telur dadar, apalagi tomat," batin Lengkara tersenyum kecut dengan tangan yang terkepal dan dada yang seakan tengah terbakar.
.
.
- To Be Continued -