Istri Pilihan Putri Ku.
"Sayang... kamu tunggu di sini dulu, Papa ada perlu sama teman sebentar, ok," Kata Adnan. Setelah shalat ashar sebagai pemilik kampus ia akan menghadiri rapat bersama petinggi kampus.
"Iya Pa, tapi jangan lama-lama loh," pesan bocah perempuan berumur 4 tahun itu, menggerakan telunjuknya tampak lucu membuat Adnan terkekeh gemas.
"Tidak dong sayang... cium dulu dong, muach," Adnan mencium pipi montok putrinya.
Adnan membawa map keluar dari ruangan direktur. Sementara bocah kecil yang bernama Afina itu menunggu di ruangan sendiri sambil bermain masak-masakan yang ia bawa dari rumah.
Namun, sudah hampir magrib Afina merasa bosan, karena sang papa tak juga datang.
"Papa kemana sih..." gumamnya, menggaruk-garuk kepala. Tangan kecil itu membuka handle pintu memindai sekeliling, tetapi di luar ruangan pun sepi.
Afina berjalan mencari sang papa di lobby kampus namun keadaan loby pun sudah sepi.
"Papaaa..." ia memekik. Tentu tidak ada jawaban, karena sudah tidak ada orang sama sekali. Afina mencari keliling kampus tidak menemukan siapa pun.
Bocah itu berjalan lambat sambil tengok kanan kiri, siapa tahu ada orang untuk mengusir sepi. Tanpa kenal lelah ia melewati tiap-tiap fakultas, udara dingin karena banyaknya pepohonan menambah suasana hening.
"Papaaa... huaaa..." Afina menangis merasa takut, karena di luar pagar kampus tampak hutan lebat tidak ada pendar. Matahari pun sudah bersembunyi tergantikan gelap.
"Meooooonng..." kucing berbulu hitam hanya terlihat matanya yang menyala merah kebiruan membuat Afina semakin ketakutan.
"Papaaa..." Afina berlari sekuat tenaga menjauh dari kucing dan tidak ia sadari sudah terlalu jauh dari fakultas kedokteran di mana sang papa rapat.
********
Tidak jauh dari situ seorang gadis nasibnya pun seperti Afina. Ia sedang menunggu dijemput ayahnya, tetapi sang ayah belum juga datang. Ia menunggu di pinggir jalan, karena di kampus sudah sepi.
Dia adalah Nur Sabrina, mahasiswi tingkat akhir wajah nya cantik dan menjadi idola kampus. Jika ia mau, bisa saja menerima tawaran salah satu mahasiswa yang mengagumi dirinya dan berniat mengantar. Namun, Sabrina memilih dijemput sang ayah, karena yakin seratus persen bisa melindungi dirinya.
Saat sedang sibuk dengan pikiranya sendiri Sabrina mendengar suara anak kecil yang memanggil-manggil papa.
"Papaaa... Papa dimanaaa.... huaaa...."
Gadis yang bernama Nur Sabrina itu menajamkan pendengaran wajah cantiknya disorot lampu tampak mengerling mencari sumber suara.
"Seperti mendengar suara anak kecil?" Gumam gadis itu lalu berdiri dari duduk nya di kursi panjang. Di pinggir jalan yang biasa hanya dilalui para siswa, tapi kali ini sudah sepi. "Hiii... jangan-jangan suara hantu, disana kan hutan?" Ujarnya seorang diri. Sebab waktu magrib telah lewat.
Gadis itu merasa takut kemudian menjauh.
"Papaaa... huaaa..." suara itu semakin mendekat ke arah Sabrina.
Sabrina menoleh ke belakang di mana anak kecil berlari dikejar kucing hitam yang hanya terlihat matanya seperti kelereng.
"Tanteee..." Afina merangkul perut Sabrina yang masih bengong.
"Hai... adik kecil, kenapa?" tanya Sabrina lembut, kemudian berjongkok di depan bocah kecil itu.
"Tanteee... aku takut..." tangan Afina menunjuk kucing. Namun, wajahnya masih menyusup di pundak Sabrina.
"Oh kucing... Pus, Puus... Puuus" Sabrina memanggil kucing.
"Meoooong..." Kucing hitam mulus pun menggosok-gosokkan pipinya ke kaki Sabrina yang terhalang celana.
"Tanteee..." Afina berputar memeluk pundak Sabrina dari belakang.
"Tidak apa-apa Dek, lihat, kucing nya cuma minta disayang," Sabrina mengusap kepala kucing yang terpejam.
Afina memandangi kucing yang manja naik ke pangkuan Sabrina.
"Tuh... nggak apa-apa kan? Sini, ke depan Tante," Sabrina mengangkat tanganya ke atas memegang tangan Afina yang masih mencengkeram pundaknya.
Afina akhirnya duduk di samping Sabrina.
"Coba sini tangan Adik," Sabrina memegang tangan Afina kemudian meletakan di kepala kucing.
"Meooooonng..." kucing berbulu hitam itu menatap Afina sambil menjulur-julurkan lidahnya.
"Bulunya licin.... gemeess..." pada akhirnya Afina tidak takut lagi.
"Sekarang nggak takut lagi kan? Kucing itu, binatang yang paling disayang kebanyakan orang. Makanya, banyak yang suka memelihara binatang lucu ini, kamu di rumah piara kucing nggak?" Sabrina menatap lekat wajah Afina. Hidung mancung, mata bulat, alis tebal. Sungguh cantik sekali.
"Enggak," Afina menggeleng.
"Oh iya, kamu tadi disini sama siapa?" setelah ngobrol lama Sabrina baru menyadari jika bocah ini hanya sendiri.
"Huaaa... Papa." Afina ingat sang papa seketika kembali menangis.
"Sayang... jangan menangis," Sabrina menurunkan kucing, beralih memangku Afina. Ia kesal seperti apa orang tua yang tega menterlantarkan anaknya di tempat sepi seperti ini. Pikirnya.
"Oh iya. Nama adik siapa?" Sabrina menyusut air mata bocah yang baru dikenal itu.
"Nama aku Afina. Afina Mawadah," jawab Afina.
"Nama yang bagus. Kalau nama Tante, Sabrina. Nur Sabrina," Sabrina memperkenalkan diri.
"Kok nama kita hampir sama ya Tan, Afina sama Sabrina," celoteh Afina langsung akrab dengan wanita yang baru ia temui itu.
"Hehehe... Iya, Tante baru sadar" keduanya tertawa.
*******
Di kampus dengan langkah cepat pria berahang tegas itu keluar dari ruang rapat lebih dulu meninggalkan bawahannya. Sambil berjalan, di bukanya ujung kemeja yang menutup arloji. "Astagfirrullah... sudah lewat maghrib. Ia bergumam.
Ia masuk lift, yang memang kosong memencet angka satu yang menuju lantai dasar. Ingin segera menemui putrinya yang sudah terlalu lama menunggu. Tanganya menyugar rambut klimisnya, berkali-kali mendesah kesal pada dirinya sendiri, karena meninggalkan putrinya seorang diri hingga dua jam.
Ting.
Lift terbuka suara sepatu pantofel terdengar nyaring bergema di loby kampus.
Ceklak.
"Maaf sayang... papa terlam..." ucapnya terpotong begitu memindai ruangan tidak ada Afina. Yang ada hanya mainan masak-masakan yang berserakan.
Plek.
Pria tampan itu melempar maf asal, hingga jatuh ke lantai. Berjalan tergesa-gesa ke kamar mandi.
"Sayang... kamu di dalam?" tanya pria itu. Namun sepi. Adnan membuka pintu perlahan ternyata kosong.
"Afina..." separuh nyawanya terasa hilang dengan sekuat tenaga ia keluar ruangan berputar-putar mencari putrinya.
"Ada apa Nan, kok terburu-buru sekali? tanya Arman yang baru turun dari lift, karena ia salah satu peserta rapat.
"Afina tidak ada di ruangan saya Pak Arman," ucapnya sedih.
"Jadi kamu tadi mengajak anakmu?" tanya Arman.
"Iya Pak, mungkin menunggu saya terlalu lama," lirih Adnan.
"Astagfirrullah... coba cek hp Nan, siapa tahu, keluargamu ada yang menjemput," Arman berpendapat.
"Oh iya ya Pak, kenapa otak saya ngebleng," Adnan membuka handphone cek pesan maupun telephone. Namun tidak ada yang masuk.
"Tidak ada Pak," jawabnya lemas.
"Sabar Adnan, kita cari bersama-bersama," Arman tidak tega menatap wajah Adnan tergambar jelas kesedihan yang dalam.
Dosen yang kini menjadi dekan fakultas ekonomi itu, menemani Adnan mencari Afina.
Dengan rasa panik tidak karuan Adnan menyusuri seputar kampus. Bukan hanya di fakultas kedokteran namun setiap fakultas ia datangi dan hasilnya nihil.
"Astagfirrullah... Pak Arman, anak saya kemana Pak?" Adnan rasanya ingin menangis.
"Sekarang coba hubungi keluarga kamu Nan, siapa tahu putri mu sudah ada yang menjemput," usul Arman.
*******
Assalamualaikum... cerita ini kelanjutan dari kisah Sulastri. Tetapi cerita ini bukan kisah nyata seperti Lastri ya, saya hanya mengolah cerita Adnan. Semoga bisa menghibur jika masih ada yang mau mampir 😁😁😁.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Erina Munir
akhirnya aku ketemu juga crita ini bun...mskasih bun
2024-01-31
1
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
lanjut
2023-10-17
1
Sandisalbiah
Assalamualaikum thor.. ijin baca ya..
2023-08-22
2