Karena perubahanku, pantaskah kalian menghina?
Bukankah aku seperti ini, lantaran telah melahirkan penerus keluarga!
"Seharusnya, Mas membelaku! Bagaimanapun, aku ini adalah istrimu. Jika, bukan suami ... siapa lagi yang akan melindungiku? Haruskah, aku mencari tempat perlindungan lain? Apakah itu maumu, Mas Azam!" Lika.
"Kita ini hanya seorang anak, sudah seharusnya kita mengalah!" Azam.
Mampukah, Lika bertahan atau memilih pergi dari sisi suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15. Isi Hati Azam
MASIH POV AZAM
Aku terus memutar roda pada kursi ku demi mengikuti Lika. Hasrat ini sudah tak sanggup ku tahan lagi. Semenjak sore beberapa hari lalu, ketika Lika pulang mengantar pesanan. Dimana waktu itu ia keluar dari dalam kamar mandi hanya mengenakkan handuk yang kekecilan. Entah, handuknya yang salah ataukah bentuk tubuhnya yang over size. Satu hal yang pasti kala itu, geloraku tergugah. Hanya saja, saat itu aku marah lantaran ia pergi terlalu lama. Sehingga, aku harus kembali menelan omongan ibu yang tidak-tidak.
Bukannya aku suka ketika ibu dan ayah mencampuri rumah tanggaku. Rasa jengah ini juga hampir membuatku muak. Aku ingin dapat bebas bebas mengatur sendiri keuangan dalam rumah tanggaku. Bisa bebas berduaan, menikmati istriku sendiri. Aku tak peduli mau Lika hamil lagi atau tidak.
Aku akan mendaftarkan Lika mengikuti kelas aerobik agar tubuhnya tidak terlalu melebar ke samping. Tapi, sekali lagi, semua hanya sebersit angan. Selama tak bebas mengatur keuanganku sendiri, semua niat itu hanya sebatas ilusi.
Kulampiaskan rasa pusing yang mendera kepalaku beberapa hari ini. Dengan mencampuri Lika beberapa kali. Beberapa tempat telah kami jadikan panggung aksi. Sofa single adalah tempat paling pas. Sebab, Lika lah yang akan beraksi. Dengan keadaan yang seperti ini, aku tidak bisa melakukan penetrasi secara maksimal.
Tapi, entah mengapa gelora ini begitu menggebu kala melihat body tanpa sehelai benang Lika. Raga polos itu bak oase yang membaut dahagaku menemukan telaga. Ditambah suasana rumah yang sepi, sungguh momen yang sangat langka seumur hidupku. Ah ... ternyata jika di lakukan dengan tenang rasanya nikmat juga.
"Mas, gak boleh begini. Malu di lihat jin. Bahkan, malaikat akan melengos, Mas," ucap Lika berkali-kali memperingati ku. Bahkan, dia sering menengok kekamar takut Heru terbangun.
"Sudah, fokus saja. Jarang-jarang, Mas meminta hak padamu kan!" Aku menghardik Lika agar terus saja bekerja menggoyangkan tubuhnya di atas pangkuanku. Apa salahnya sih, bertubuh polos demi suami? Katanya itu pahala besar? Masih bagus aku mau menikmati bentuknya yang ... ah sudahlah.
"Mas, Lika ambil selimut dulu ya, emh!" ucap istriku sambil melenguh. Tentu saja sebab, senjataku sudah hampir menuju inti dari permainan kami ini. Aku pun sontak menahan pinggulnya yang hendak bergerak bangun.
"Teruskan Lika! Jangan harap ku sentuh lagi jika kau bangun sekarang!" ancam ku dan itu berhasil. Lika kembali bergoyang, bahkan aku memerintahkan padanya agar semakin cepat. Aku sudah hampir meledak untuk ketiga kalinya. Ah ... mumpung rumah sepi bukan. Apalagi di luar gerimis. Sungguh suasana yang pas sekali.
Jika saja aku sehat, mungkin akan ku ciptakan beberapa adegan dengan bermacam pose. Namun, untuk saat ini semua itu belum mampu ku lakukan. Cukup membayangkan saja, setidaknya aku pernah merasakan sensasi itu beberapa kali ketika kami masih menjadi pengantin baru.
Itu pun ketika aku menyewa villa di puncak. Kalau sudah pulang kerumah, mana mungkin bisa. Mencampuri Lika, dalam sebulan bisa dihitung dengan jari. Semua itu, di sebabkan oleh karena rumah kami yang terhubung dengan rumah ibu. Sementara kamarku tidak memiliki pintu. Bukannya aku tidak mau membuat pintu. Tapi, ibu melarang. Katanya buat apa membuang-buang uang saja. Sementara kamar ibu pun sama, tidak ada pintunya.
Emosiku yang kadang tak stabil itu adalah salah satu dari efek ganda. Dimana aku di tuntut untuk menahan hasrat juga kesal yang ku tahan. Jika kecerobohan ini bukan berasal dari orang tuaku sendiri. Mungkin, aku bisa melampiaskan kekesalan ini dengan cara memaki atau memukuli. Tapi, sekali lagi aku hanya bisa diam dan menahan semuanya. Percuma. Sebab, satu saja dari suara yang terucap dari bibirku akan memancing beberapa paragraf yang akan keluar dari mulut ayah.
Luar biasa bukan. Jika kau di besarkan oleh orang tua yang selalu merasa dirinya benar, serta mencari pembenaran jika mereka melakukan kesalahan. Setidaknya, akan selalu ada kambing hitam.
"Mas, sudah kan?" tanya Lika yang kini telah terduduk lemas bersandar pada sofa. Tubuhnya ia tutupi dengan pakaiannya sendiri. Sementara aku tinggal menurunkan sarung yang sempat ku kalungkan tadi. Sebenarnya aku bisa berdiri, tapi hanya mampu beberapa menit. Lika dan yang lainnya belum tau. Mungkin, benar kala Lika. Jika aku dapat pengobatan yang baik maka kesembuhan ku pun akan lebih cepat.
"Kenapa nanya begitu sih? Kamu gak ikhlas ya melayani ku?" semprot ku lancang dengan nada tinggi. Kesal juga, sepertinya istriku ini tidak menyukai yang kami lakukan barusan. Apa ia tidak rindu sentuhan ku? Atau, benar kata ibu, jika di luar sana Lika punya selingkuhan? Awas saja!
"Bukan begitu, Mas ... Lika cuma nanya aja. Kalau, Mas Azam masih kurang. Lika mau bersihin badan dulu. Kan Sunnahnya gitu, Mas. Harus wudhu dulu baru ulangi lagi," jelasnya yang membuatku malas untuk mendengarkan. Ribet, padahal dia baru beberapa kali ku ijinkan ikut pengajian di masjid. Tapi, lagaknya udah kayak Ustadjah saja. Selalu apa-apa di kaitkan dengan agama.
"Udah gak mood!" Setelah mengatakan ucapan barusan aku pun kembali memutar roda pada kursi ku untuk menuju ke kamar mandi. Tubuh ini lengket, bahkan keringat Lika bercampur dengan ku. Memang sih, kuakui meskipun didiagnosa lumpuh, aku masih bisa memuaskan istriku itu. Atau ... Lika pura-pura? Seperti kata ibu.
Seketika ingatanku kembali pada penawaran yang di sampaikan oleh Jelita semalam.
...Bersambung ...
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️