Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.
Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri
Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?
Ia pintar dalam hal .....
Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Antara Hidup dan Mati
Malam itu sangat tidak bersahabat bagi mereka berdua. Angin bertiup kencang disertai kilat yang menyambar - nyambar. Mereka terjebak di situasi yang mengharuskan mereka untuk bertahan hidup. Entah sosok apa yang naik keatas untuk mendekati mereka. Kreeeekk... kreeek..
"Sosok itu sepertinya tinggi dan besar. Terdengar jelas dari suara langkah kaki yang berat. Membuat anak tangga yang sudah lapuk dan usang itu menjerit." Riski melepaskan sumbatan tangannya dari mulut Dinda.
" Jadi kita harus bagaimana." Wajah wanita itu pucat—dengan nafas yang tersendat, pendek, dan tak teratur tetapi tetap berbisik.
Suara itu semakin dekat—nafasnya terdengar berat dan penuh amarah.
"Saya tahu kalian di dalam...!!! Bajingan!! Terdengar suara pria itu di balik pintu. Dobrakan itu semakin kencang hingga membuat engsel pintu tua itu hampir terlepas.
"Jejak kaki dan bekas air hujan kemungkinan membawa dia kesini" Riski mencoba mencari cara agar bisa bertahan. " Dinda masuklah ke kolong ranjang itu. Apapun yang terjadi jangan keluar...!!! " Dengan wajah yang pucat dia masuk ke kolong ranjang. Dengan tangan gemetar dan tubuh yang kian lesu dia bersembunyi.
Segera Riski mencari sesuatu yang bisa ia gunakan — menggeledah tiap sudut ruangan kelam.
BRAAANG!! CREEEK—KRAAAK!!
"Ketemu lagi pahlawan, Dimana gadis itu" Engsel pintu itu lepas saat tak kuat lagi menahan kekuatan pria itu. Di hadapan pria itu, mata Riski yang awalnya liar dan wajah pucat pun berubah menjadi tegang. Matanya fokus kearah depan. Entah apa yang akan ia hadapi saat ini. "Awalnya saya mau minum kopi hangat saat ini. Tapi akan ditunda selepas pemakaman dari seorang pecundang". Wajah Riski yang mengkerut itu tiba-tiba tersenyum tipis.
"Kita lihat apakah mulut busukmu itu masih bisa berbicara seperti itu setelah menelan pisau ini hah .!! " Pria itu mengacungkan pisau belati kearah Riski. "Tetaplah tersenyum selagi sempat...!! " Dengan kecepatan yang tidak terduga pria itu menyerang Riski. Riski pun mundur sedikit untuk menghindar. Dengan sigap ditangkisnya pisau itu dengan tangan kirinya. Riski bergerak kesamping untuk mencari celah. Rasa Sakit dari tangan kanannya yang terluka saat terjatuh tadi membuat dia sedikit goyah. Pria itu melancarkan tendangan ke arah wajah Riski, tapi refleks tubuh Riski masih bisa mengimbangi. Selang waktu yang singkat, kaki pria itu di pegang dan di tarik kedepan agar keseimbangan perampok itu goyah. Pria itu roboh seketika.
Tanpa membuang waktu, Riski melompat keluar dari kamar dan segera berlari menuruni tangga. Namun, ketika kakinya menginjak salah satu anak tangga yang licin akibat basah, ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung, lalu terguling tak terkendali menuruni tangga kayu itu—dengan suara derak yang memecah keheningan malam."
"Mau lari dimana pria kecil hah... .!!!" Teriak pria itu disertai tawa yang menggelegar.
Dinda yang mendengar kejadian itu dari dalam tempat persembunyiannya itu pun hanya bisa diam terpaku — ibarat mayat yang tergeletak di ruang otopsi rumah sakit. Hatinya ingin menolong, tapi rasa takut itu menguasainya.
Tikus di plafon mengerik mengalihkan pandangan pria itu. Tapi tak lama, dan kemudian pria itu mengejar Riski. Tapi hormon adrenalin Riski telah menyatu dengan raganya. Riski bangkit dari lantai dan segera berlari ke arah Dapur . Terpajang dengan anggun deretan pisau antik di hadapannya. Diambilnya sebilah pisau sedang dengan gagang minimalis.
"Mau kemana kau bajingan....!" Pria itu berteriak diiringi langkah kaki yang kian cepat. Pekikan suara guntur yang menggelegar teredam oleh suara yang penuh amarah dari pria itu. Kedua pria itu saling berhadapan. Dengan tatapan tajam pria itu menatap Riski "Setelah kamu, yang akan dimakamkan adalah wanita itu. Mungkin saya bisa sedikit bersenang-senang dengannya sebelum hal itu tiba haha .... "
Ucapan pria itu seolah air di daun keladi. Tak membuat Riski tersulut amarah. Ia mencoba tetap tenang. Ia sadar saat ini emosi hanya akan membuat posisinya semakin terpojok dan bisa di pastikan kekalahan tepat berada di depan matanya. Dengan secepat kilat Riski maju dan menendang kaki pria itu . Tapi dengan kokoh tendangan itu bisa di tangkis. Riski menjaga jarak. Dia sadar yang ia hadapi sudah tak seperti saat bertemu pertama kali.
Kilatan petir menyala-nyala. Suasana semakin berat. Nafas Riski yang mulanya tenang kini menjadi tidak beraturan. Belum pernah terjadi hal seperti ini dalam hidupnya. Antara hidup dan mati. Membunuh atau dibunuh. "Majulah, kita selesaikan ini. " Riski meludah kearah Pria itu
Tubuh kokoh dari sosok tinggi di bawah cahaya petir membuat atmosfer yang mencekam. Pria itu meloncat dengan cepat seraya menghunus pisau kearah leher Riski. "Hah mampus.." Senyum menyeringai dari bibir pria jangkung itu. Matanya merah —melotot seakan puas dengan hasil yang ia inginkan.
Berhamburan darah di lantai. Tapi tidak, ini belum berakhir. lengan kanan Riskilah yang tertusuk demi menahan serangan itu. Sepersekian detik waktu terasa berhenti. Rasa sakit yang kuat menjalar keseluruhan tubuh pria muda itu. Ia sebenarnya ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi rasa sakit itu seketika sirna. Terbungkus dengan rapi dalam adrenalin tinggi. Entah apa yang harus ia lakukan untuk keluar dari situasi tak terduga ini. Die or live.
"Kau masih mau leb.. " Sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya, tak terduga pisau yang ada di tangan kiri Riski melesat bagai peluru. Merobek arteri dari leher pria itu. Seketika darah bak air mancur di taman kota. Mengucur deras membasahi pakaian pria muda itu. Aroma tajam darah—mirip seperti bau logam menyengat—menguasai seisi ruang dapur itu.
Nafas Riski seketika tidak beraturan. Mata yang awalnya fokus pun gelisah. Tangannya gemetaran tak berhenti. Tatapan matanya kosong. " Apa yang terjadi "Suara gaduh tersebut tiba-tiba hening. Hanya suara angin — hujan dan petir diluar. "Aku membunuh? Ini mimpi? . Darah... ? Ini darah segar?. Tanganku masih tak berhenti gemetar. Ada apa ini?". Dalam pikirannya terus bertanya. Apa? kenapa? . Tapi dia hanya bisa terdiam tak berkata. Hanya seorang pria besar yang terbaring di lantai dapur ini. Darah berhamburan kemana-mana.
Dinda yang mendengar suara erangan itu pun tak kuasa menahan diri untuk keluar memeriksa keadaan. Dirinya yang awalnya di liputi rasa takut pun sekejap berubah jadi rasa khawatir yang mendalam. Seketika wanita itu turun ke lantai 1 dan segera mendekat ke sumber suara. Dari arah tangga, dia sejenak diam terpaku. Menyaksikan dua siluet bayangan yang terlukis di lantai. Dimatanya hanya terdapat seorang pria yang tertunduk lesu dengan pisau yang masih berdiri tegak di genggamannya. Disisi lain ada sosok tak bernyawa yang terbaring kaku. Dia mendekat. Jantungnya tak henti-henti berdegup kencang. Menyaksikan pemandangan yang tak biasa.
"Riski... Ris.. " Riski tak menjawab. Hanya tatapan kosong yang terlukis di wajah pria yang berlumuran darah itu. Dinda pun mual dan ingin segera muntah. Tapi rasa itu tertahan karena otaknya pun tak bisa berfikir apa-apa saat itu.