Berryl Van Houten adalah seorang tuan muda tampan dan mapan dari pengusaha terkenal. Di usianya yang menginjak kepala 3, ia justru masih menjomblo. ia kerap dikira impoten oleh orang-orang sekitarnya sehingga orang tuanya kerap melakukan sayembara untuk mencarikan jodoh bagi putranya itu.
Hanindita, seorang gadis desa yang cantik keluarga Handoko yang tak pernah dianggap. Ia kerap disiksa keluarganya sendiri dan dilecehkan kakak tirinya membuat Hanindita jadi pribadi yang introvert dan dingin.
Adakah yang mampu menyelamatkannya dari keluarga toxic itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch.15
Tak puas sampai di situ, Hanindita segera melayangkan pukulan demi pukulan menggunakan kayu yang masih dipegangnya hingga jeritan demi jeritan Morgan menggema di dalam kamar mungil itu.
Megan yang tak sengaja mendengar jeritan itu mengira Morgan telah berhasil menodai Hanindita. Ia berseru kegirangan dengan senyum penuh kemenangan.
"Rasakan itu, Dita! Aku rasanya tak sabar lagi menantikan hari esok yaitu hari kehancuranmu. I just want to say, welcome to the hell. Hahaha ... " Megan tergelak puas mendengar jeritan dan benda-benda jatuh dari kamar mungil juga.
Brakkkk ...
"Aaarghhh ... "
Hanindita memukul kaki Morgan hingga ia jatuh terduduk lalu dengan secepat mungkin, Hanindita membuka jendela dan keluar dari dalam rumah itu melalui jendela.
Di luar kamar Hanindita dipenuhi oleh rumput dan semak belukar, tapi Hanindita tetap berusaha pergi dari sana. Ia memilih lebih baik mati daripada dilecehkan. Tidak. Ia akan selalu menjaga kehormatannya. Ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi di dunia ini selain kehormatannya sendiri.
Hanindita telah berdiri di tepi jalan desa, ia kini kebingungan harus pergi kemana. Matanya sudah membengkak, tubuhnya pun bergetar hebat karena ia tengah dilanda kecemasan. Kaki-kakinya pun sudah dipenuhi luka-luka akibat bergesekan dengan rumput dan semak belukar tanpa alas sama sekali.
Hanindita terus berjalan dan berjalan tak tentu arah tujuan. Ia jalan dengan tertatih. Tubuhnya kian bergetar hebat akibat udara dingin yang menusuk. Wajahnya pun sudah terlihat sangat pucat tak bertenaga. Bagaimana tidak bertenaga, seharian ini, tenaganya benar-benar dikuras.
Hanindita menengadahkan kepalanya menatap langit yang tampak berbintang.
"Ya Tuhan, tolong aku tolong selamatkan aku!" lirihnya dengan berurai air mata.
Ia berjalan dan terus berjalan hingga tibalah ia di persimpangan jalan Sambil mengucapkan basmalah, ia memilih jalur kanan sebab setahunya segala hal yang baik harus dimulai dari sebelah kanan. Oleh sebab itu, ia ingin memulai lembaran kehidupan barunya dari jalan yang dipilihnya itu.
Hingga silau cahaya lampu mobil membuatnya terpaksa berhenti melangkah. Tubuhnya kian bergetar apalagi saat mobil itu kian mendekat hingga brakkk .... Pertahankan tubuh Hanindita tumbang. Ia tak kuat lagi bertahan. Tubuhnya bukan hanya lemah, tapi sangat lemah. Akhirnya, ia pun pingsan di tepi jalan.
"Hei, liat ada yang pingsan!" seru seseorang dari dalam mobil itu.
"Jangan - jangan dia rampok bro yang lagi menyamar!" ucap seseorang yang di sebelahnya.
"Ck ... kalaupun rampok, kita ini bertiga dan kita ini pernah jadi petarung Thai boxing, masa' takut sih!" geram rekan lainnya.
Rekannya yang mengemudikan mobil pun lantas menghentikan laju mobilnya. Jalanan yang gelap membuat mereka tak bisa mengenali siapa yang jatuh pingsan di tepi jalan itu. Lalu dengan ragu-ragu, rekannya yang duduk di samping bangku kemudi turun untuk melihat siapa orang yang jatuh pingsan itu dengan penerangan dari cahaya ponselnya.
Deg ...
"Perempuan." gumamnya sambil menelan ludah. Ia tak bisa melihat dengan jelas wajah Hanindita yang tertutup rambut. Lalu ia mencoba menyibak helaian rambut itu ke samping untuk melihat dengan jelas siapa gadis yang tengah pingsan itu.
Matanya membulat seketika saat ia berhasil mengenali gadis yang tergeletak tak berdaya itu.
"Ryl ... " seru Vano dengan wajah cemas.
Lalu Berryl mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil, "Apa?" tanyanya dengan alis mengerut.
"Ryl, buruan! Dia ... dia gadis itu, gadis yang mau loe nikahi!" serunya membuat Berryl tersentak dan bergegas turun dari dalam mobil untuk melihat apakah benar yang dikatakan Vano.
Seketika dadanya bergemuruh saat melihat gadis yang belum lama ia lamar terlihat tak berdaya dengan wajah pucat dan penuh lebam.
Tanpa basa-basi, ia langsung menggendong Hanindita dan memasukkannya ke dalam mobil.
"Cepat ke penginapan dan kau Vano, telepon pemilik penginapan minta dia carikan dokter segera!" titah Berryl dengan nafas memburu.
Hatinya seakan diremas-remas melihat keadaan Hanindita sekarang. Sebenarnya apa yang terjadi pikirnya. Siapa yang telah membuat Hanindita menjadi seperti ini, pikirnya? Mengapa? Siapa? Bagaimana? Berbagai pertanyaan telah memenuhi benak Berryl.
Dipeluknya dengan erat tubuh mungil Hanindita. Ini adalah untuk pertama kalinya ia memeluk seorang perempuan. Dalam hati ia bergumam, semoga tidak terjadi hal yang serius pada calon istrinya itu.
...***...
