Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Pengungkapan
"Kok mendadak aku nggak mau pergi, ya, No?" Suara Ivy terdengar ragu.
"Loh, kita udah siap-siap loh, Vy! Kamu gimana, sih!" Nada bicara Noah sedikit meninggi karena memang kesal kepada Ivy.
"Maaf, No. Tapi aku kayak nggak yakin kita harus berangkat sekarang juga. Gimana kalau besok?"
"Terserah kamu!" Noah langsung mematikan mesin mobil dan membanting pintu kendaraannya itu sangat kasar.
Ivy tersentak seketika. Ada rasa bersalah sekaligus sesak ketika melihat Noah yang biasanya sabar menghadapinya mendadak bersikap kasar. Ivy menatap Noah yang melangkah masuk dengan mata berkabut.
Srini yanh memahami situasinya pun berjalan menghampiri Ivy. Dia memegang bahu Ivy sehingga membuat majikannya tersebut menoleh. Air mata mengalir membasahi pipi Ivy.
"Sabar, Mbak. Mungkin Mas Noah lagi capek." Seini tersenyum lembut, berusaha menenangkan majikannya tersebut.
"Aku emang salah, Mbok. Padahal tadi aku yang minta dia buat antar ke Malang. Cuma aku memang minta diantar besok aja. Tadi dia ngajak sekarang. Tapi ...." Ivy menatap kosong pintu rumahnya yang setengah terbuka.
"Aku mendadak ragu kalau berangkat sekarang."
"Keputusan yang benar, Mbak. Ini juga udah larut malam. Sekarang istirahat saja lebih cepat supaya besok pagi bosa bangun lebih segar dan bisa berangkat ke Malang sebelum terang." Srini menggandeng tangan Ivy dan mengajaknya masuk ke rumah.
Ivy mengangguk, dia mengikuti langkah Srini. Perempuan tersebut menatap pintu kamarnya yang sudah tertutup rapat. Kakinya perlahan menaiki anak tangga.
Ketika membuka pintu kamar, Ivy mendapati Noah sudah berbaring dengan posisi badan memunggungi pintu. Ivy merangkak perlahan menaiki ranjang. Dia merebahkan tubuh kemudian berusaha menyentuh bahu Noah, tetapi suaminya itu menggerakkan tubuh seakan tak mau disentuh.
"Maafkan aku, No. Tapi perasaanku mendadak nggak enak. Aku ragu jika berangkat sekarang. Kita berangkat besok pagi saja."
Hening, tak ada jawaban dari Noah. Kesunyian dalam ruangan tersebut seakan melahap jiwa Ivy. Hatinya begitu nyeri karena untuk pertama kali dia melihat Noah bersikap dingin.
Akhirnya Ivy memilih untuk memunggungi Noah. Dia menangis dalam diam malam itu. Jika biasanya kehangatan pelukan Noah mengantarnya ke alam mimpi, tidak kali ini.
Ivy terlelap dalam kondisi mata yang masih basah. Dia pun terbangun dengan mata sembap karena sisa tangis semalam. Saat terjaga, Noah sudah tidak lagi ada di atas ranjang.
"Ke mana dia sepagi ini?" gumam Ivy sambul perlahan bergerak dari atas ranjang.
Langit sudah mulai terang, tetapi cahaya matahari belum benar-benar menghangatkan bumi. Ivy mandi sebelum akhirnya keluar kamar. Dia mendapati Noah sudah ada di meja makan, menyantap sarapannya dan sudah berpakaian rapi.
Tak seperti biasa, kali ini Noah sepertinya benar-benar marah. Ivy perlahan menyalahkan diri sendiri karena semalam membatalkan keberangkatan secara mendadak. Ivy menarik kursi, berniat untuk bergabung dengan Noah.
Namun, ketika baru saja Ivy hendak duduk di atas kursi, justru Noah bangkit. Dia sama sekali tak menatap Ivy. Hati Ivy seakan diremas ketika mendapat perlakuan itu.
"No, kamu masih marah sama aku soal semalam?"
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Noah. Bahkan lelaki tersebut sama sekalu tak menatap Ivy. Noah justru balik kanan dan lanjut berjalan menuju garasi.
"Noah!" teraik Ivy.
Noah memutar bola matanya. Dia menghentikan langkah, kemudian balik kanan. Lelaki tersebut menatap Ivy yang kini terlihat begitu frustrasi.
"Kamu sudah janji mau antar ke Malang! Kenapa sekarang malah rapi dan mau pergi kerja? Kamu mau mengingkari janji?" teriak Ivy dengan dada kembang kempis.
"Itu semalam, sebelum kamu membatalkan rencana kita. Aku ada rapat dadakan. Ke Malang kapan-kapan lagi!" ujar Noah sambil terus melanjutkan langkahnya.
"Oke kalau begitu! Aku juga masih bisa jalan sendiri ke Malang! Aku bisa kok melakukannya sendirian! Sana pergi! Nggak usah peduli sama aku!" teriak Ivy di antara tangis.
Kali ini Noah benar-benar pergi. Tubuh Ivy merosot ke atas lantai. Dia merasa tak berdaya karena diabaikan oleh Noah.
"Sialan kamu Noah! Biasanya aku nggak selemah ini! Aku mulai bergantung sama kamu! Baiklah, aku akan buktikan kalau aku masih menjadi Ivy yang dulu! Aku masih bisa ke mana-mana sendirian kok!" Ivy perlahan bangkit dan berjalan ke arah meja makan.
Usai melahap sarapannya, Ivy berjalan ke kamarnya untuk bersiap. Pagi itu Ivy benar-benar pergi sendiri ke Malang. Dia tidak ingin terlalu bergantung pada Noah dan menjadi wanita lemah.
Sementara itu Noah yang masih kesal kepada Ivy terus melamun sepanjang perjalanan menuju kantor. Melihat Ivy menangis membuatnya sedih. Namun, dia ingin memberikan pelajaran kepada Ivy bahwa dia tidak bisa bersikap seenaknya meski sudah menjadi istri sungguhan.
Perjalanan menuju kantor terasa lebih lama. Waktu juga berputar sangat lama hari itu. Noah sama sekali tidak bisa fokus terhadap pekerjaannya karena terus kepikiran Ivy.
"Aku bisa gila kalau begini terus!" Noah mengembuskan napas kasar.
Lelaki tersebut merogoh saku celanan dan mengambil ponselnya dari dalam sana. Dia menatap ragu ke arah layar benda pipih yang menunjukkan nama Ivy. Awalnya Noah ragu, tetapi akhirnya dia menelepon Ivy.
Noah menunggu panggilannya diangkat. Panggilannya diabaikan, sehingga harus membuat Noah mengulanginya berkali-kali. Namun, hasilnya tetap sama.
"Sepertinya Ivy benar-benar marah." Noah melemparkan ponselnya ke atas meja, lalu mengusap wajah kasar.
Di tengah rasa frustrasinya, tiba-tiba pintu ruangan Noah terbuka. Dia menatap ke arah ambang pintu dan mendapati Mentari lagi-lagi datang dengan niat untuk kembali mengusiknya.
"Ngapain lagi Mama datang? Aku sudah peringatkan untuk tidak membuat masalah. Aku punya semua kunci dan rahasia busukmu. Jika macam-macam, maka semua usahamu akan sia-sia. Hiduplah dengan tenang, menikmati warisan papa dan menjalani masa tua yang nyaman. Aku rasa warisan papa buat Mama sudah cukup memberimu kemewahan sampai Tuhan memanggilmu, Ma." Noah mengucapkan rangkaian kalimat tersebut tanpa mau menatap Mentari.
"Aku datang karena ingin membongkar kebusukan Ivy! Kamu harus tahu ini! Kamu harus percaya sama mama kali ini, No! Ivy itu penipu dama seperti mendiang ayahnya! Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya!"
Noah memutar mata. Dia mengusap wajah kasar kemudian mencengkeram lengan sang ibu. Namun, Mentari tetap berontak.
Perempuan tersebut mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan mulai merekam percakapannya dengan seorang lelaki lain. Noah terbelalak seketika. Dia perlahan melepaskan cengkeraman dari tangan Mentari.
Noah menunduk, mengepalkan kedua tangannya berusaha menahan diri agar amarahnya tidak meledak. Dia mendengarkan percakapan Mentari dan orang yang Ivy kenal. Noah langsung menyambar ponsel sang ibu dan membantingnya kasar ke atas lantai.
"Aku sudah bilang kalau Ivy itu bukan wanita baik-baik, No! Kamu kenapa nggak percaya? Sekarang kamu menyesal, kan?" ucap Mentari dengan percaya diri.