Blurb
Arjuna Syailendra dan Anggita Jelita, menerima perjodohan demi kepentingan masing-masing. Bersama bukan karena cinta, tetapi hanya sebatas azas manfaat.
Akankah rasa berdebar tak terencana tumbuh di hati mereka? Sementara Arjuna hanya menganggap Anggita sebagai pelampiasan dari cinta tak berbalas di masa lalu.
Ikuti kisah mereka yang akan menguras emosi. Selamat membaca🤗.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senjahari_ID24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8a
BAB 8a
Arus parjalanan terbilang lancar juga didukung cuaca cerah. Kendaraan mewah yang ditumpangi Juna melesat membelah jalanan. Sejak mobil dipacu sopir melaju pulang, senyuman tak diundang terus tersungging manis di wajah tampannya.
Memandang lepas ke luar jendela, ada rasa asing menggelitik di dada. Mengganggu, tetapi dia suka. Juna melirik ke jok di sampingnya. Berbagai macam oleh-oleh menumpuk, dibelinya di pusat sentra oleh-oleh Pekalongan yang dilaluinya tadi.
Setelah menikah, setiap kali bepergian ke luar kota maupun luar negeri, Juna selalu menyempatkan diri membeli buah tangan. Walaupun biasanya yang disuruh membeli dan memilih adalah Pandu atau sopir.
Akan tetapi untuk kali ini entah apa yang mendorongnya. Juna turun sendiri dan memilah sendiri. Si sopir yang menyaksikan gelagat Juna di luar kebiasaan, menggaruk kepalanya tak gatal. Ini merupakan pertama kalinya sang bos begitu antusias. Memilih dan bertanya tentang oleh-oleh khas yang paling famous dan digemari. Sampai-sampai pikiran si sopir berkelana. Mungkinkah atasannya itu ketumpangan jin penghuni lahan pabrik baru?
"Sesampainya di Jakarta jangan ke rumah dulu, antarkan aku ke Rumah Sakit Siloam," titah Juna pada si sopir dengan raut berseri.
"Baik, Pak."
*****
Anggi memindahkan channel televisi sesuai permintaan Ningrum. Sudah dua malam Anggi menginap di rumah sakit, cukup untuk membuyarkan sedikit rindu beratnya pada ibunya walaupun tidak bisa berbaring berpelukan yang penting satu ruangan.
"Ibu mau makan buah?" tanya Anggi.
"Ibu sudah kenyang. Sebaiknya kamu makan malam dulu. Ini sudah jam tujuh. Ibu perhatikan, kamu belum menyantap apa pun sejak tadi siang."
Ucapan Ningrum bersamaan dengan gemuruh yang berbunyi dari perutnya. Anggi menurunkan pandangan, lalu mengusap perutnya yang melilit.
"Sepertinya aku memang butuh makan." Anggi terkekeh. "Ibu enggak apa-apa ditinggal sebentar? Aku cari makan dulu ke kantin di lantai bawah."
"Pergilah, Nak. Biar perawat saja yang menjaga Ibu. Jangan khawatir."
Kantin rumah sakit tampak cukup ramai. Banyak yang bersantap mengisi perut di sana. Rata-rata adalah orang-orang yang juga menunggui keluarganya yang sedang sakit.
Sebetulnya Anggi bisa saja memesan makanan agar diantar langsung ke kamar perawatan ibunya. Akan tetapi Anggi khawatir, ibunya terpancing ingin mencicipi menu yang dimakannya karena asupan makanan untuk Ningrum diatur ketat guna mempercepat pemulihan.
Anggi menghampiri stand penjual bakso. Sejak berjalan turun tadi menu yang satu ini terus melintas di benaknya. Kuah bakso yang hangat dan pedas sudah terbayang mampu menyegarkan mood juga mengenyangkan perut. Ia memesan satu porsi bakso komplit juga segelas teh tawar hangat.
Anggi mendesah lega sembari mengusap perut setelah menandaskan isi mangkuk dan gelasnya. Sejak tadi siang sebetulnya ia tidak berselera makan akibat ulah Ayu yang membebani pikiran juga jiwanya. Hanya saja tubuhnya berkata lain, dan Anggi pun sadar, bahwa tubuhnya tetap harus diberi asupan haknya agar kuat menghadapi kenyataan hidup.
Anggi memutuskan berdamai dengan takdirnya kini. Memusuhi pun tiada guna, tak menjadi solusi. Setidaknya masalah finansial berat yang merecoki keluarganya dapat terselesaikan melalui jalan halal walaupun jiwanya banyak terluka, yang penting ibunya selalu tersenyum.
"Anggi."
Saat namanya ada yang memanggil otomatis Anggi menoleh. Mengembuskan napas jengah ia beranjak dari duduknya untuk segera pergi. Sosok yang memanggilnya tak lain adalah si pria pecundang yang mudah tergoda s*langkang*n murahan.
"Hei, kalau orang menyapa itu dijawab, manis." Hendrik mencekal pergelangan tangannya. Tersenyum miring penuh minat. "Kamu semakin cantik saja setelah menikah," ujarnya tak tahu malu.
"Aku tidak sudi menjawab sapaan buaya. Aku hanya menjawab sapaan manusia!" cibir Anggi sinis. Anggi menyentak tangannya kasar agar terlepas dari cekalan Hendrik.
"Apa kamu bilang, buaya? Jangan sok suci!" ujarnya berang. "Kamu pasti merayu atasanmu menggunakan tubuhmu dan menjebaknya untuk diperistri supaya bisa menjadi nyonya besar! Aku penasaran, senikmat apa rasamu sampai-sampai orang kaya raya seperti dia memilihmu untuk dipersunting," tuduhnya seenak jidat.
Ingin sekali Anggi menonjok wajah Hendrik sekarang juga jika tidak ingat harus menjaga citra diri di luaran, seperti yang diwanti-wanti Juna kepadanya.
"Bukan urusanmu. Tubuhku milikku, jadi terserah mau kuapakan! Sebaiknya kamu urusi saja Vania. Atau jangan-jangan, dia mulai berpaling darimu? Asal kamu tahu. Wanita yang kamu puja dengan membuangku, beberapa hari lalu nekat merayu suamiku di tempat umum. Jaga dia baik-baik, supaya tidak binal!"
"Anggita!"
Gema suara jantan yang sangat familiar di telinga Anggi mengisi ruang kantin. Anggi berbalik, memicing kebingungan dengan kedatangan pria yang katanya akan pergi satu minggu, tetapi tiba-tiba muncul lebih cepat.
"Mas Juna?"
TBC
JUNA NYEBELIN TINGKAT TINGGI 😡