Bekerja sebagai tim pengembangan di sekolah SMA swasta membuat Hawa Tanisha bertemu dengan musuh bebuyutannya saat SMA dulu. Yang lebih parah Bimantara Mahesa menjadi pemilik yayasan di sekolah tersebut, apalagi nomor Hawa diblokir Bima sejak SMA semakin memperkeruh hubungan keduanya, sering berdebat dan saling membalas omongan. Bagaimana kelanjutan kisah antara Bima dan Hawa, mungkinkah nomor yang terblokir dibuka karena urusan pekerjaan? ikuti kisah mereka dalam novel ini. Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERUBAHAN SIKAP
Bima datang ke kantor yayasan hampir tengah hari, wajahnya sangat tak ramah, bahkan hanya menyapa tim sekedar bilang Siang. Saat melewati meja kerja Hawa pun cuma melirik tanpa berkata apa pun, lalu masuk ke ruangan. Hawa ingin menyapa tapi melihat ekspresi Bima yang menyeramkan begitu, ia pun mengurungkan niatnya. Amelia juga ikut menatap Bima, dan horor sekali memang. Bagus deh kalau Hawa tak bertanya apa pun pada Bima. Biarkan dulu, nanti pasti ada rapat bulanan dan bahas masalah ini. Usahakan jangan kepo dengan urusan tingkat pimpinan, sebagai anak buah kerja saja sesuai tupoksi.
"Serem amat," ujar Hawa sembari menoleh pada Amelia, namun gadis itu hanya memberi kode untuk diam saja pada Hawa. Meski kepo, Hawa pun harus kuat menahannya, benar kata Amelia biarkan Pak Bima sendiri yang cerita, jangan kita yang memancing beliau untuk bercerita.
Lain kantor yayasan, lain juga ruang kepala sekolah. Pak Sur ikut memaki tindakan Pak Sur yang gegabah, beliau pun mengutarakan aduan dari beberapa guru yang sudah curiga dengan kedekatan mereka. Bahkan Bu Tera sering disindir akan suami orang, tapi tak peduli. "Apa benar begitu?" tanya Pak Sur. Niatnya konfirmasi jam pertama saja namun bablas hingga menjelang istirahat kedua.
Bu Tera mengaku tak merasa disindir, hanya menganggap omongan guru lain sebagai guyonan saja. Pak Sur menggelengkan kepala, "Ya berarti Bu Tera yang gak sadar diri kalau sudah disindir. Gak mungkin para guru menyindir kalau tidak ada asap bukan?"
"Sudahlah, Pak Sur. Tertarik sama rekan kerja kan wajar," jawab Pak Jayadi santai, terlebih sudah tidak ada Bima. Ia bebas bercengkrama dengan Pak Sur lebih intens. "Pak Sur saja yang gak mau mencoba sedikit nakal. Istri sudah banyak ngomel kalau diajak, gak ada salahnya kan kita mencari hiburan lain, yang penting gak begini," ujar Pak Jay sembari menunjukkan kode orang berhubungan dengan jari. Pak Sur ingin sekali mengumpat beliau, tapi ia tahan setengah mati. Daripada semakin pusing mendengar omongan absurd Pak Jay, beliau pun menyuruh keluar dua anak buahnya itu, plus uang sogokan. Pak Sur juga menolak tegas uang itu.
Bu Tera dan Pak Jayadi keluar dari ruang kepala sekolah, para wakil kepala sekolah tidak melihat mereka, pura-pura fokus dengan pekerjaan. Saat keduanya sudah keluar dari ruang pimpinan, penilaian para waka pada mereka pun bermunculan. Meski ditutupi siapa oknum guru yang terciduk Pak Bima, kini mereka tahu siapa yang dimaksud. "Pecat aja sih. Benalu memang mereka," ujar wakil kepala sekolah bagian kurikulum, jengkel juga dengan tingkah guru senior dan Bu Tera, bisa-bisanya berbuat mesum di area kantor. Kayak gak tahu hotel dan penginapan saja.
Masuk ruang guru, rekan lain pun tak ada yang menggubris Pak Jayadi dan Bu Tera, sudah bikin malu, jadi tak perlu berdekatan juga. Apalagi bapak-bapak yang masih muda dan baru menjadi seorang ayah akan menjauhi Bu Tera. Gelagatnya memang menggoda sekali, khawatir mereka lemah iman malah terciduk dengan Pak Bima atau yang lain, bisa hancur kebahagiaan yang baru mereka bangun.
Sedangkan di kantor yayasan. Hawa dibuat jengkel dengan Bima. Tak sekalipun keluar dari ruangannya, bahkan chat lewat ponsel yayasan pun gak dibalas. Hawa sudah terlalu kepo, apa iya dia merendahkan diri dan mengetuk ruangan Bima kemudian bertanya, aduh Hawa tak punya keberanian untuk itu. Dia pun membesarkan hatinya, semoga besok Bima bisa lebih friendly dan menjelaskan kelanjutan kasus itu.
Namun nyatanya enggak, kasus itu dikeep oleh Bima dan Pak Surya, meski beberapa orang tahu siapa yang dipanggil pagi itu. Hanya saja kronologi dan detailnya tidak ada yang tahu. Hawa menunggu penjelasan kasus itu sampai seminggu tak ada kemajuan sama sekali. Lama-lama Hawa lupa juga, lebih tepatnya tak peduli lagi. Toh sikap Bima setelah hari itu berubah, semakin dingin dan terlihat semakin angkuh, plus sudah tidak pernah mengajak lembur lagi. Bahasan kerja pun via ponsel yayasan saja, kadang mampir ke meja Hawa membawa laptop bahas kerjaan bentar, tapi tak mungkin juga Hawa memancing masalah itu ditempat umum. Ya sudahlah, sepertinya Hawa dilarang kepo urusan orang.
Hawa dan Amelia sengaja jalan setelah pulang kerja saat hari jumat, mampir ke cafe milik Rifka. Makan puding dan es kuwut kesukaan Amelia. Kalau Hawa paling suka kwetiau goreng pedas seafood.
"Pak Bima kayaknya marah banget sama kejadian itu, mode diamnya lama!" ucap Amelia sembari memakan tahu bakso topping jamur pedas.
Hawa yang sedang menikmati kwetiau pedas hanya mengangguk, "Sebal gue sama dia. Kalau saja gue gak malu mungkin kantornya udah gue bom sekalian."
"Kayak berani aja." Hawa meringis.
"Cuma kata Bu Firsa sih, mereka udah jaga jarak."
"Semoga, Mbak Mel. Setidaknya kalau mau melanjutkan hubungan terlarang itu tidak di sekolah atau bahkan berhenti saja deh. Kasihan istri Pak Jayadi," ucap Hawa prihatin, sembari menikmati pedasnya kwetiau.
"Kata Bu Dyah kemarin, kasihan istri Pak Jayadi sudah pernah stroke, jadi ya soal biologis kayaknya gak sanggup buat melayani gitu lah."
"Emang Pak Jay gak prihatin akan kondisi sang istri, tega gitu minta hak sedangkan keadaan sang istri sakit atau bahkan masih tahap pemulihan?"
"Namanya laki, Wa. Urusan begituan pasti number one numero uno!" Hawa tertawa, ingat sekali ucapan Uki dulu, bahwa dia akan berhenti dan menjauhi Diana. Ah bohong banget, Hawa memang polos belum pernah merasakan adegan intim, tapi dia tahu lah after se* itu pasti mengulang lagi. Ketagihan juga. Beruntung dia tegas, dan tak mau bekas orang juga.
"Makanya gue penasaran dengan Pak Bima setelah melihat live adegan itu, yakin gak pengen?"
Hawa cemberut kenapa mengarah pada Bima sih, sejak sikapnya berubah, Hawa semakin meyakinkan diri, bahwa Bima adalah cowok angkuh yang tak patut dijadikan teman atau pasangan. "Aku juga lihat live tapi gak pengen coba. Malah pengen muntah. Duh, mau muntah beneran. Sayang kwetiauku," ujar Hawa sembari mewek.
"Lo belum tahu rasanya sih, Wa!"
"Emang Mbak Amel tahu?" Amelia hanya tersenyum, tapi dari gelagat itu Hawa menyimpulkan kalau sudah pernah.
"Sama pacar yang ini?"
"Sama mantan juga pernah, emang godaan banget dan harus kuat nahan sih, Wa. Apalagi keluar berdua begitu, rasanya langsung kesetrum aja. Emang lo enggak gitu sama Uki dulu?"
Hawa menggeleng, "Gak pernah di tempat sepi terus kita berdua doang, enggak ada. Kita jalan di alun-alun, tempat kopi, makan mie ayam begitu saja."
"Uki tahan juga berarti ya," Hawa mengedikkan pundak, yang jelas Hawa ciuman bibir dan keperawanannya masih terjaga. Mereka pun melanjutkan makan, namun saat Hawa mendongak, ia langsung tersedak.
"Mbak, itu bukannya Mas Fajar ya?" tunjuk Hawa pada seseorang yang baru saja masuk ke cafe dan sedang mencari tempat duduk.
"Wa, dia tadi bilang lagi meeting," ucap Amelia yang hendak beranjak dan mau menghampiri sang kekasih, namun ditahan Hawa.
"Mbak, kita lihat saja jangan gegabah!"
"Tapi, Wa."
"Tenang, lihat, ekskusi."
Amelia menurut saran Hawa, meski ia sudah tak sabar ingin melihat siapa perempuan yang bersama Fajar. Hawa pun ikut mengamati, dan keduanya shock setengah mati siapa perempuan yang diajak makan oleh kekasih Amelia.
"TERA!" ucap keduanya kompak.
Auto bawa sperangkat alat solat sekalian akhlak nyaa
awokwook /Curse/
Hawa: ga beLagak tapi belagu/Slight/
reader: bim, ci pox bim ampe engappp/Grin//Tongue/
maaf aq nyaranin jahat 🤭🤭🤭