Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Benalu yang Semakin Merajalela
"Sudah, Bu. Berhenti menggerutunya. Mending kita isi perut dulu, tadi katanya Ibu sudah lapar sampai gemetaran. Sayang makanannya kalau sampai dingin, jadi nggak enak," potong Bapak Wijaya dengan nada datar.
Bapak Wijaya bukannya mau jadi pahlawan untuk Aini, ia hanya sudah mati kutu mendengar ocehan istrinya yang seperti mesin jahit—tak berhenti sejak mereka menginjakkan kaki di rumah ini. Ibu Sarah hanya mendengus, matanya masih menatap Aini dengan sinis sebelum akhirnya menyambar piring. Ia mulai menyendok tumis kangkung dan ikan asin itu dengan porsi besar, seolah-olah tadi ia tidak baru saja menghina masakan tersebut.
Setelah suasana meja makan yang mencekam itu berakhir, Aini segera mengumpulkan piring kotor. Ia berdiri di depan wastafel, membiarkan air mengalir membasahi tangannya yang gemetar karena menahan emosi.
"Huh... sabar, Aini. Sabar," bisiknya pelan sambil mengelap sisa air di tangannya. Badannya terasa remuk, setiap sendi rasanya minta dipijat, tapi istirahat sepertinya hanya mimpi siang bolong baginya.
"Aini! Sini kamu! Jangan sembunyi di dapur terus!" Suara melengking Ibu Sarah membahana dari ruang tengah.
Aini menghela napas panjang, mencoba membuang sesak di dadanya.
"Baru juga mau selonjoran sedetik, sudah dipanggil lagi. Benar-benar nggak kasih napas," gumam Aini lirih. Ia tahu, kalau dia telat semenit saja, ceramah tujuh hari tujuh malam akan langsung dimulai.
"Iya, Bu? Ada apa lagi?" tanya Aini dengan wajah selembut mungkin saat menghampiri Ibu Sarah yang sedang asyik gonta-ganti saluran TV.
"Kamu siapkan kamar buat Ibu sama Bapak! Jangan pakai lama!" perintah Ibu Sarah tanpa mengalihkan pandangan dari layar TV.
Aini terdiam, jantungnya berdegup sedikit lebih kencang.
"Ibu sama Bapak... jadi menginap malam ini?"
Seketika, Ibu Sarah menoleh dengan gerakan cepat, matanya melotot.
"Kenapa?! Kamu keberatan? Kamu merasa keganggu kalau mertuamu di sini? Ingat ya Aini, ini rumah anak saya, rumah si Varo! Jadi Ibu mau nginep setahun pun, itu hak Ibu! Jangan sok berkuasa di sini!" Suaranya naik beberapa nada, membuat telinga Aini berdenging.
"Ya Allah, Ibu... bukan begitu maksud Aini. Aini cuma tanya biar bisa siapin sprei sama bantalnya. Ya sudah, Aini ke kamar tamu dulu ya," jawab Aini cepat-cepat sebelum "bom" itu benar-benar meledak.
Di dalam kamar tamu, Aini menghempaskan kain sprei dengan perasaan campur aduk. Kepalaku rasanya mau pecah. Masalah pengkhianatan Mas Varo sama Cilla saja sudah bikin aku mual, sekarang ditambah lagi drama mertua yang nggak tahu diri. Sampai kapan aku harus pakai topeng ini?
BRAKKK!
Pintu kamar ditendang atau mungkin didorong dengan sangat kasar hingga menghantam dinding. Aini tersentak sampai hampir menjatuhkan bantal yang ia pegang.
"Astaghfirullah!"
"Belum kelar juga? Kamu itu niat nggak sih nyiapin kamar buat mertua? Badan Ibu sudah pegal semua, mau rebahan saja susah amat!" Ibu Sarah sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah yang ditekuk habis-habisan.
"Sebentar lagi, Bu. Aini lagi pasang sarung bantalnya. Tadi juga harus ganti sprei yang bersih dulu," sahut Aini sambil menahan getaran di suaranya.
"Lama! Kamu itu dari dulu kerjaannya lelet, nggak pernah sat set. Heran Ibu, kok bisa Varo tahan sama perempuan selambat kamu," gerutu Ibu Sarah sambil berkacak pinggang.
Aini memilih tutup mulut. Ia tahu, membalas ucapan mertuanya hanya akan membuang energi yang sangat ia butuhkan untuk rencana besarnya nanti. Setelah semuanya rapi, ia mundur selangkah.
"Sudah selesai, Bu. Ibu sama Bapak sudah bisa istirahat sekarang."
"Ini kamar kenapa kayak pengap begini? Kamu nggak pernah buka jendela ya? Debunya pasti tebal di bawah kasur!" cerocos Ibu Sarah lagi, padahal kamar itu sangat bersih dan wangi.
"Setiap hari Aini bersihkan kok, Bu. Jendela juga selalu dibuka tiap pagi."
"Halah, alasan! Menantu zaman sekarang memang pintar kalau disuruh jawab," Ibu Sarah langsung menjatuhkan tubuhnya ke kasur dengan kasar.
"Haaaa... lumayanlah, daripada berdiri terus di depan."
Aini segera keluar dari kamar itu sebelum meledak. Ia langsung menuju kamar mandi, berharap air bisa melunturkan rasa lelah dan amarahnya. Sore pun berganti malam, dan Varo akhirnya menampakkan batang hidungnya.
Malam harinya, setelah selesai Maghrib, Aini kembali ke dapur. Kakinya terasa seperti beton, sangat berat untuk digerakkan.
"Masak apa kamu buat malam ini?" tanya Varo yang muncul dengan wajah segar sehabis mandi, aromanya sangat wangi—aroma yang sama dengan yang ada di baju Cilla kemarin.
"Aku nggak masak malam ini, Mas. Badanku lagi nggak enak banget, jadi aku sudah pesan makan lewat HP tadi," jawab Aini tanpa menoleh.
"Loh, kamu nggak masak lagi? Enak benar jadi kamu ya," Tiba-tiba Ibu Sarah muncul dari belakang Varo, ikut nimbrung.
"Iya, Bu. Aini tadi pusing banget, takutnya kalau dipaksa masak malah pingsan di dapur," ujar Aini memberi alasan.
"Siang tadi kamu juga tidak masak, sekarang malah nggak mau masak lagi? Kamu itu boros banget sih jadi istri, Aini! Varo itu cari uang banting tulang, jangan cuma kamu buang-buang buat beli makanan mahal di luar!" semprot Ibu Sarah.
Varo yang tadinya diam, kini mulai terpengaruh provokasi ibunya.
"Kamu siang tadi beneran nggak masak Ai? Kalau dikit-dikit beli, tabungan kita bisa habis. Benar kata Ibu, kamu harusnya lebih hemat, jangan dikit-dikit manja begini."
Aini menatap suaminya dengan tatapan yang sangat tajam, namun Varo tidak menyadarinya. Hemat? Manja? Dia berani bilang begitu ke aku sementara dia habiskan ratusan juta buat selingkuhannya? batin Aini tertawa getir.
"Tadi siang aku sibuk di rumah makan, Mas. Lagian Ibu sama Bapak kan nggak ada kabar mau datang, jadi stok bahan di kulkas memang lagi kosong. Lagi pula siang tadi aku bawaain makanan dari rumah makan aku kok. Malam ini aku pesan online karena badanku benar-benar drop. Biasanya aku masak terus kan? Kamu sendiri tahu aku jarang banget beli makan di luar," Aini membela diri dengan suara yang mulai bergetar.
"Lagian kamu ngapain sih masih ngotot ngurusin rumah makan sepi itu? Sudah nggak ada untungnya, cuma bikin kamu capek dan rumah jadi nggak keurus," sahut Varo, meremehkan satu-satunya sumber kekuatan finansial Aini saat ini.
"Nggak apa-apa dong, Mas. Itu usaha aku sendiri, sayang kalau harus tutup cuma karena aku capek sedikit."
"Cuma bikin capek dan buang waktu saja kamu itu! Mending fokus jadi ibu rumah tangga yang benar. Jangan sok-sokan mau jadi pengusaha kalau urusan dapur saja keteteran. Pakai uang suami juga kan buat modalnya?" timpal Ibu Sarah dengan nada yang sangat menyebalkan.
Aini hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Ingin rasanya ia melemparkan semua bukti perselingkuhan Varo ke wajah mereka sekarang juga, tapi ia menahan diri. Belum saatnya.
Saat mereka mulai menyantap makanan yang dipesan online, pintu depan terbuka. Cilla masuk dengan langkah yang sedikit gontai.
"Cilla? Baru pulang kamu?" tanya Varo saat melihat Cilla lewat menuju arah kamar mandi.
"Eh, Mas Varo... eh, ada Ibu sama Bapak juga ya?" tanya Cilla dengan nada bicara yang dibuat-olah terkejut, padahal dia sudah tahu dari tadi.
"Ini siapa, Varo? Temanmu?" tanya Ibu Sarah sambil memperhatikan penampilan Cilla dari bawah sampai atas dengan tatapan tidak suka.
"Ini Cilla, Bu. Adiknya Aini. Dia tinggal di sini karena kuliah di kota ini," Varo menjelaskan dengan nada yang sedikit gugup.
"Oh, adiknya si Aini?" Ibu Sarah kembali menoleh ke arah Aini dengan tatapan curiga.
"Iya, Bu. Cilla mulai kuliah di kota ini," jawab Aini pendek.
"Owh, ya sudah... lanjutkan saja makannya. Aku mau mandi dulu, bau asap jalanan," kata Cilla sambil berlalu pergi begitu saja.
Selesai makan, Aini mendatangi kamar Cilla. Ia merasa harus memberi peringatan lagi di depan mertuanya yang masih ada di ruang tengah.
Tok! Tok! Tok!
Cilla membuka pintu dengan wajah yang sangat tidak bersahabat.
"Ada apa lagi sih, Mbak? Aku capek mau tidur."
"Kamu seharian ini ke mana saja, Cilla? Ingat ya, kamu di sini itu tanggung jawab Mbak. Jangan keluyuran nggak jelas, Mbak nggak mau kalau Ibu di kampung tanya-tanya soal kamu," ucap Aini tegas.
"Apaan sih Mbak, lebay banget. Aku juga tahu mana yang baik mana yang nggak, nggak usah digurui terus," jawab Cilla ketus.
Tahu mana yang baik? Kalau kamu tahu, kamu nggak akan tidur sama kakak iparmu sendiri, Cilla! maki Aini dalam hati.
"Pokoknya kamu harus tahu aturan di rumah ini. Jangan pulang selarut ini lagi. Sudah, Mbak mau masuk kamar."
Setelah Aini pergi, Cilla mencibir di depan cermin.
"Sok suci banget sih jadi kakak. Pantas saja Mas Varo milih aku, kamu itu membosankan dan terlalu banyak aturan. Sebentar lagi, kamu yang bakal angkat kaki dari sini."
Di kamar utama, Varo sudah menunggu di atas ranjang saat Aini masuk. Wajahnya terlihat sangat serius.
"Aini, duduk sini. Ada hal penting yang harus aku kasih tahu."
"Apa lagi, Mas?" tanya Aini, hatinya mulai merasa tidak enak.
"Ibu sama Bapak... mereka bakal tinggal di sini selamanya," ucap Varo dengan nada datar, seolah itu adalah kabar cuaca.
Aini ternganga, matanya membulat sempurna. "Hah?! Maksud kamu apa, Mas? Tinggal di sini seterusnya?"
"Iya," jawab Varo pendek.
"Tapi kenapa? Rumah mereka di kampung gimana? Kenapa tiba-tiba begini?" Aini mulai merasa sesak napas. Bayangan harus menghadapi Ibu Sarah setiap detik adalah siksaan baginya.
"Rumah Ibu sama Bapak sudah disita bank, Ai. Jadi mereka sudah nggak punya tempat tinggal lagi di sana," Varo menjelaskan.
"Apa?! Disita bank? Kok bisa?!" Suara Aini naik tanpa ia sadari.
"Bisa pelan sedikit nggak?! Ibu sama Bapak dengar nanti! Berisik banget sih!" bentak Varo, matanya memerah menahan marah.
"Maaf, Mas... aku cuma kaget banget. Kenapa bisa sampai disita?"
"Ibu ternyata diam-diam pinjam uang ke bank buat modal bisnis temannya, jaminannya rumah itu. Ternyata temannya nipu, dan Ibu nggak bisa bayar cicilannya. Jadi ya ditarik pihak bank. Sekarang mereka cuma punya kita," jelas Varo panjang lebar.
Aini terdiam, tubuhnya terasa dingin.
"Bisa gila aku kalau Ibu Sarah tinggal di sini selamanya. Ada Cilla saja sudah seperti neraka, sekarang ditambah mertua yang hobi nyinyir? Ya Allah, kenapa ujiannya bertubi-tubi begini?
"Kenapa Ibu nggak cari kontrakan saja dulu, Mas? Bukannya aku nggak setuju, tapi Mas tahu sendiri kan gimana hubunganku sama Ibu? Kita selalu ribut," usul Aini dengan suara memohon.
"Jadi kamu beneran nggak suka orang tuaku ada di sini?! Kamu menantu macam apa hah?!" Varo mulai membentak, egonya terluka.
"Bukan begitu, Mas... tolong dengerin aku dulu," Aini mencoba menenangkan.
"Aku cuma kasih saran biar kita semua sama-sama nyaman. Mas sendiri kan yang sering pusing kalau aku sama Ibu sudah mulai debat?"
"Ya kamu yang harus sabar! Kamu yang harus banyak ngalah! Kamu itu istri, harus nurut apa kata suami dan mertua! Pokoknya mereka tetap tinggal di sini titik. Kalau ngontrak, malah aku lagi yang harus keluar duit buat bayar sewanya!" tutup Varo dengan sangat egois. Ia memang kesal dengan ibunya, tapi ia terlalu lemah untuk menolak keinginan Ibu Sarah.
Aini hanya bisa terduduk lemas di lantai kamar mandi beberapa saat kemudian, membiarkan air matanya mengalir tanpa suara.
"Ya Allah... cobaan apa lagi ini? Sepertinya aku harus menyiapkan kesabaran setebal-tebalnya untuk menghadapi para penghuni rumah yang tidak tahu diri ini," gumam Aini lirih, hatinya semakin mengeras untuk melakukan pembalasan yang setimpal.
Bersambung
...****************...