NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14

Devan akhirnya memutuskan membawa Jovita ke apartemennya. Tadinya ia ingin mengajaknya makan malam di luar sambil berbicara lebih tenang, tapi baru teringat kalau malam itu tukang servis AC akan datang. Sudah dua hari AC di apartemennya rusak, dan baru malam ini sempat diperbaiki. Jadi mereka pun sepakat berbicara di sana saja.

Apartemen itu tenang, hanya terdengar suara kipas angin sementara menutupi udara yang agak panas. Devan menuangkan dua gelas air dingin, lalu duduk di seberang Jovita yang tampak letih namun tetap tegar.

“Jadi, kamu mau menggugat mereka?” tanya Devan setelah mendengarkan semua cerita dari awal. Nada suaranya datar, tapi sorot matanya tajam, penuh perhatian.

Jovita mengangguk pelan tapi pasti. Di matanya terlihat api kecil yang menyala, campuran antara kemarahan dan tekad.

“Mereka memfitnahku,” ucapnya, suaranya sedikit bergetar namun tegas. “Memecatku tanpa alasan, menyalahkanku atas hal yang bukan tanggung jawabku… bahkan,” ia berhenti sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. “Aku menduga ada praktik korupsi di dalamnya.”

“Korupsi?” ulang Devan pelan, memastikan ia tak salah dengar.

Jovita mengangguk lagi. “Adam, Arum, manajerku… mereka semua terlibat. Aku gak bisa membiarkannya,” katanya lirih, hampir seperti bisikan. Tapi nada suaranya membawa emosi kuat..

Devan menatapnya lama tanpa berkata apa-apa. Di antara mereka, udara terasa berat, campuran antara keyakinan, kemarahan, dan sesuatu yang belum bisa mereka definisikan.

“Jovita,” panggil Devan pelan.

Jovita yang sedari tadi menunduk langsung menoleh. Tatapannya datar, tapi ada kelelahan yang jelas di matanya.

“Kamu melakukan ini bukan karena perasaan pribadimu, kan?” tanya Devan hati-hati.

Jovita mengerutkan kening. “Apa?” suaranya nyaris tak terdengar, diwarnai kebingungan dan sedikit rasa tersinggung.

“Hubunganmu dengan Adam gak baik,” lanjut Devan, nadanya tenang tapi tegas. “Kalau kamu menggugat mereka, semua tuduhanmu bisa dianggap bias.”

Sekilas, mata Jovita memantulkan sorot kecewa. Ia menatap Devan lama, seperti berusaha memahami apakah pria di depannya benar-benar meragukannya. “Kamu gak percaya padaku?” tanyanya lirih, suaranya pecah di ujung kalimat.

Ia tertawa kecil, tawa getir. “Asal kamu tau,” katanya, “aku selalu kerja dengan sungguh-sungguh. Aku pastiin semua produk yang aku kembangkan aman, gak pernah ada masalah seperti ini sebelumnya.”

Ia berhenti sebentar, menatap kosong ke meja di depannya. “Tapi sejak Arum mencurinya…” suaranya melemah. Kata-kata berikutnya seolah tertahan di tenggorokan.

Ia sudah terlalu lelah menjelaskan, terlalu lelah membela diri. Emosi dan kecewa bercampur, membuatnya ingin menyerah saja. “Udahlah,” katanya akhirnya, berdiri dengan gerakan cepat. “Kalau kamu gak mau bantu aku, gak apa-apa.”

Devan hanya bisa menatapnya, diam. Ada sesuatu di matanya, campuran antara ragu, simpati, dan rasa bersalah yang samar.

Perempuan itu jelas terluka oleh Adam, oleh perusahaannya, dan sedikit juga olehnya. Dan menyadari hal itu membuat dada Devan terasa sesak, seperti ada sesuatu yang tidak semestinya ia biarkan terjadi.

Ia meraih tangan Jovita dengan lembut, menahannya sebelum sempat melangkah pergi. “Oke,” ucapnya pelan namun tegas, menatap matanya dengan sungguh-sungguh. “Aku akan membantumu.”

Jovita berhenti, tubuhnya menegang sejenak.

“Aku akan bantu,” lanjut Devan, nadanya lembut tapi meyakinkan. “Jadi… tenangkan dirimu dulu.”

Pelan-pelan Jovita membalikkan badan. Tatapannya bertemu dengan Devan, dan matanya mulai bergetar, ada kelegaan yang sulit ia sembunyikan. Setelah semua yang terjadi, akhirnya ada seseorang yang percaya padanya.

Ia menundukkan kepala, bahunya bergetar halus. Air mata mulai menggenang, berusaha menembus pertahanan yang selama ini ia jaga rapat. Sejak awal, rasa kecewanya terlalu dalam sampai ia tak bisa menangis. Tapi sekarang, di hadapan pria itu, semua emosi yang ia tahan pecah begitu saja. Air matanya jatuh, pelan tapi deras.

Devan terdiam, menatapnya tanpa tahu harus berbuat apa. Ada sesuatu yang terasa berbeda di dadanya, sebuah rasa yang muncul tiba-tiba, tanpa peringatan. Melihat wanita itu menangis, entah kenapa hatinya terasa mencelos. Seolah ada bagian dalam dirinya yang ikut terluka bersama tangisnya.

***

Keesokan paginya, Jovita kembali ke kantor. Tujuannya sederhana, mengambil sisa barang-barangnya dan pergi untuk terakhir kalinya. Namun begitu ia melewati area kerja, suasana langsung berubah.

Beberapa orang yang tidak tahu apa-apa mulai berbisik pelan, menatapnya dari balik monitor. Yang tahu kejadian sebenarnya pun tak kalah canggung, mereka hanya bisa menatap Jovita dengan pandangan iba, seolah kasihan tapi tak berani mendekat.

Sena, yang duduk di mejanya sendiri, langsung berdiri begitu melihat Jovita datang.

“Kamu… berhenti?” tanyanya hati-hati.

Jovita menatapnya dan tersenyum tipis, senyum yang mencoba terlihat kuat padahal jelas rapuh. Ia mengangguk pelan.

“Hm. Aku berhenti sekarang,” jawabnya singkat.

Sena tak berkata apa-apa. Ia hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan, campuran antara sedih, marah, dan tak percaya.

Beberapa rekan kerja lain ikut menghampiri, menepuk bahunya, memeluknya sebentar sebelum kembali ke meja masing-masing. Enam tahun kebersamaan, tumpukan kenangan, dan kerja keras mereka bersama seolah runtuh begitu saja dalam semalam.

Setelah beberapa saat, Jovita menatap Sena lagi. “Aku mau ngomong sesuatu,” katanya lirih.

Mereka pun berjalan ke tangga darurat, tempat yang sepi dan jarang dilewati orang.

“Boleh aku minta tolong?” tanya Jovita akhirnya, menatap Sena dengan serius. “Aku berencana menggugat mereka. Tapi sampai saat itu tiba, aku butuh bantuanmu.”

Di antara rekan kerjanya, Sena lah yang paling Jovita percaya. Mereka masuk ke perusahaan itu berbarengan, jadi semua yang mereka lalui selalu dihadapi bersama. Dengan senang hati ia akan membantu Jovita.

“Maaf, aku gak bisa apa-apa,” katanya menyesal.

Jovita tersenyum samar, menatapnya lembut. “Makanya bantu aku kali ini,” ujarnya dengan nada bercanda yang nyaris tak berhasil menutupi keseriusan di balik kata-katanya.

Dengan langkah berat, Jovita meninggalkan gedung yang selama enam tahun terakhir menjadi bagian besar dari hidupnya.

Begitu sampai di lobi, ia berpapasan dengan Arum, datang dengan penampilan rapi, menenteng tas baru yang mencolok. Senyum di wajahnya tampak dibuat-buat, tapi cukup jelas menunjukkan kesombongan yang tak berusaha ia sembunyikan.

“Ah, aku lupa, hari ini kamu udah gak kerja di sini,” katanya ringan. “Sayang banget, kalau aja aku datang lebih pagi, mungkin kita bisa sempat… perpisahan dulu.” Nada suaranya terdengar sinis, seolah ingin memastikan setiap kata menancap di hati Jovita.

Jovita menatapnya lama. Bibirnya membentuk senyum samar, tapi matanya dingin.

“Tasmu keliatan mahal,” ucapnya datar, nada sindiran halus terucap begitu saja.

Senyum Arum mendadak menegang. Ia spontan menyembunyikan tasnya sedikit ke belakang, seolah tersadar bahwa pujian itu bukanlah pujian.

“Aku sibuk. Harus kerja,” katanya cepat, mencoba menegakkan wajahnya lagi. “Bagaimanapun, selamat udah keluar dari perusahaan toxic ini.”

Arum melangkah pergi, meninggalkan aroma parfum yang menusuk. Jovita hanya menatap punggungnya tanpa ekspresi. Perusahaan toxic? Bukan perusahaannya yang beracun, tapi orang-orang di dalamnya. Dan racun terbesarnya berdiri beberapa langkah darinya, dengan tas mahal dan senyum palsu.

Sejak kemunculan Arum, segalanya berubah. Entah apa yang ia lakukan sampai bisa membuat para petinggi begitu percaya padanya, cukup kuat untuk menggulingkan semua kerja keras Jovita dalam sekejap.

Jovita berbalik, menatap punggung Arum yang baru beberapa langkah menjauh. Suaranya tenang, tapi mengandung ketegasan yang menusuk.

“Kamu pikir bisa bebas gitu aja?”

Langkah Arum terhenti. Ia menoleh perlahan, keningnya berkerut.

“Apa maksudmu?” tanyanya, nada suaranya mulai waspada.

Jovita hanya tersenyum samar. “Bukan apa-apa,” ujarnya ringan, seolah tak ada beban. “Nikmati pekerjaanmu di sini… selagi bisa.” Tatapannya tajam, tapi tenang, seperti seseorang yang tahu apa yang sedang ia rencanakan.

Arum menatapnya beberapa detik, mencoba membaca makna di balik kata-kata itu. Namun ketika tak menemukan apa-apa selain senyum tenang di wajah Jovita, ia mengembuskan napas pendek dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

Begitu Arum menghilang di balik pintu kaca, senyum di wajah Jovita perlahan memudar. Matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup.

“Akan kupastikan kamu dapet balasannya,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Aku gak akan biarin kamu lolos begitu aja.”

Jovita akhirnya pulang ke rumahnya. Mulai hari itu, statusnya resmi berubah menjadi pengangguran. Begitu membuka pintu, Airin, kakak iparnya, langsung menatapnya dengan dahi berkerut.

“Loh, kenapa pulang lagi?” tanyanya heran. Tatapannya makin bingung saat melihat kardus cokelat di tangan Jovita.

“Aku dipecat,” jawab Jovita datar, meski suaranya terdengar lelah. Ia berjalan masuk dengan langkah berat, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa seperti kehilangan tenaga.

Airin menatapnya tak percaya. “Apa? Kok bisa?” serunya.

Jovita memejamkan mata sejenak, lalu menatap langit-langit. “Itu juga yang pengin aku tanyain,” gumamnya lirih. “Aku dipecat karena sesuatu yang gak aku lakuin. Intinya, aku difitnah.” Napasnya terhela panjang, bahunya turun lesu.

Airin hanya bisa mematung. Ia belum paham sepenuhnya, tapi bisa merasakan kalau adik iparnya benar-benar terpukul. Jovita lalu menoleh pelan, menatap Airin dengan mata cemas.

“Jangan kasih tau Kak Noah, ya,” pintanya lembut, hampir seperti memohon. Wajahnya tampak pasrah. “Aku capek kalau harus jelasin semuanya ke dia. Belum lagi kalau dia tahu yang sebenarnya, bisa-bisa malah bikin masalah.”

Ia menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu menambahkan dengan suara pelan,

“Aku lagi ngurus semuanya. Jadi, sebelum semua beres... tolong jangan kasih tahu Kak Noah dulu.”

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Airin mengangguk pelan. Ia setuju untuk merahasiakan semuanya, meski di kepalanya masih berserakan banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Namun, ia memilih menahan diri. Ia tahu, kalau Jovita sudah berkata akan menyusun rencana, berarti gadis itu benar-benar serius.

“Tapi aku gak bisa jamin kalau nanti dia tahu sendiri, ya,” ucap Airin akhirnya, memberi peringatan.

Jovita mengangguk paham. Ia tahu, Airin tipe orang yang bisa dipercaya. Sudah banyak rahasia yang pernah ia bagi, dan semuanya aman sampai sekarang. Tantangannya justru datang dari Eden. Bocah kecil itu terlalu cerdik, kadang suka muncul tanpa suara dan mendengar hal-hal yang seharusnya tidak ia dengar. Jovita harus lebih hati-hati bicara di rumah, terutama kalau si kecil ada di sekitar.

Hening beberapa saat. Lalu Jovita menatap Airin lagi, kali ini dengan wajah memelas.

“Terus…” katanya pelan, suaranya seperti anak kecil yang minta tolong. “Ada lowongan di toko roti gak?”

Airin spontan menatapnya dengan ekspresi antara malas, geli, dan kasihan.

“Kamu aja gak bisa masak, gimana mau kerja di sana?” katanya setengah bercanda.

“Masak sama bikin roti tuh beda,” sahut Jovita cepat, mencoba membela diri. “Kakak tahu sendiri, bikin roti itu keahlianku.” Ia menegakkan punggung dengan wajah bangga, membuat Airin hanya bisa menggeleng pelan sambil tersenyum tipis.

Bagaimanapun, Airin tidak bisa langsung menerima Jovita bekerja di toko rotinya. Saat ini, toko itu belum membutuhkan karyawan baru. Jadi, untuk sementara waktu, Jovita hanya bisa menunggu dan tetap menjaga rahasia dari Noah.

Setiap pagi, ia berpura-pura berangkat kerja seperti biasa. Ia masih berdandan rapi, membawa tas, lalu pamit seolah akan menuju kantor. Padahal, setelah keluar rumah, langkahnya berbelok ke perpustakaan. Di sana, ia menghabiskan waktu membaca buku, novel, atau komik, apa pun yang bisa mengalihkan pikirannya dari rasa kesal dan kecewa. Setidaknya tempat itu tenang, dan membuatnya lupa sebentar pada masalah.

Menjelang sore, barulah ia pergi ke rumah Devan. Seperti hari itu.

Jovita duduk di kursi lobi, menunggu dengan tenang. Ia menatap pintu masuk setiap kali terbuka, sampai akhirnya melihat sosok yang dikenalnya datang. Devan baru pulang kerja, wajahnya lelah, dasinya sedikit longgar, dan langkahnya berat. Begitu melihat Jovita di sana, ekspresinya langsung berubah, antara kaget dan bingung.

“Kamu menungguku?” tanyanya heran juga terkejut.

Jovita mengangguk lalu berjalan menghampiri. “Katanya mau membantuku. Aku hanya memastikan kamu menepati janji, lagian aku korbannya, bakal lebih mudah bekerja langsung denganku,” katanya.

Devan menghela napas pasrah. Dia baru pulang dan langsung harus bekerja lagi, hanya untuk klien VIP-nya itu. Tanpa bisa menolak, akhirnya mereka naik ke lantai atas.

Dari luar apartemen, tanpa mereka sadari, sejak tadi ada seseorang yang memperhatikan mereka. Sosok itu berdiri diam, menatap tajam ke arah gedung, lalu mengangkat kameranya, menangkap momen bak seorang paparazi.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!