NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:615
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memastikan Jalannya Cerita

...Chapter 14...

Theo menulis semua itu dalam catatannya dengan hati-hati, seolah dengan menulisnya ia bisa memastikan agar jalannya cerita tetap sama—supaya dunia ini tidak lagi membuat kejutan yang di luar kendali. 

Dan bagian ketiga, meskipun terasa getir untuk diakui, adalah permulaan dari api yang akan menyala lama.

Konflik nan perlahan tumbuh di antara Erietta Bathee dan Aldraya Kansh Que. 

Di antara dua sosok yang sama-sama dekat dengan Ilux, terbentuk garis halus antara kekaguman, iri, dan keinginan untuk memiliki. 

Bagi Theo, inilah titik yang menentukan arah episode lima arc pertama—pergeseran emosi yang akan memengaruhi tak hanya Ilux, tapi seluruh skenario di balik layar. 

Ia tahu, begitu percikan kecil ini menyala, tidak ada yang bisa memadamkannya dengan mudah.

'Fase itu telah terlewati. 

Ilux sudah menjalani 299 kematiannya, sama seperti yang kucatat dari gerak-geriknya. 

Diskriminasi dari teman sekelasnya juga sudah memuncak, tepat seperti yang diramalkan.'

Theo menatap dari kejauhan, dari sudut lorong yang tak banyak dilalui siswa Akademi Bintang. 

Pandangan matanya redup, penuh hitungan dan dugaan yang hanya ia sendiri pahami. 

Ia membuka kembali bukunya yang sudah penuh coretan, lembar demi lembar dipenuhi tanda panah, catatan kecil, dan garis-garis penghubung seperti peta yang hanya bisa dibaca oleh penulisnya. 

Sejauh yang bisa ia perhatikan, dua dari tiga skenario penting sudah berjalan sebagaimana mestinya. 

Ilux Rediona—tokoh utama yang seharusnya mati sebanyak 299 kali dalam pelatihan Aldraya Kansh Que—telah melampaui fase itu. 

Theo telah mengalaminya tanpa harus memastikan, bagaimana tubuh Ilux yang dulu rapuh kini berdenyut dengan kekuatan yang bahkan mata biasa pun bisa rasakan. 

Dan diskriminasi dari teman-teman sekelas? 

Sudah terjadi, tepat waktu, penuh kebencian dan ketakutan seperti yang tertulis dalam naskah game Flo Viva Mythology yang dulu pernah ia mainkan.

‘Masalahnya ada di bagian ketiga, bukan soal pertikaian Erietta dan Aldraya, melainkan Aldraya yang kini mulai memperhatikanku.

Empat episode penuh aku yakin tak ada yang bisa menyadari keberadaanku, tapi entah mengapa gadis berambut perak itu selalu ada di tempatku berada, menyerupai bayangan yang sengaja mencari celah untuk mengikuti.

Huuuuh!

‘Yang lucu, dia tak hanya diam. 

Setiap kali aku ketahuan, dia selalu bereaksi, dengan nada datar tapi tajam, membuat telingaku ingin berhenti mendengar.

Jika itu untuk Ilux, aku paham, itu bagian dari alur cerita.

Tapi kalau untukku? Untuk sosok tak penting seperti Theo Vkytor? 

Heh, sepertinya dunia ini mulai bermain dengan cara yang semakin aneh.’

Theo tak pernah menyangka bahwa dalam dunia yang serba tertulis, ada bagian yang mulai menulis dirinya balik. 

Ia sadar, sesuatu nan seharusnya statis kini mulai bergerak menuju arahnya—Aldraya Kansh Que, sang instruktur dingin yang mestinya hanya terpaku pada perkembangan Ilux Rediona, kini justru memindahkan pusat perhatiannya kepada dirinya. 

Dari sudut aula, dari jendela kelas yang terbuka separuh, bahkan dari bayangan di taman belakang Akademi Bintang nan diselimuti kabut pagi, Theo bisa merasakan tatapan itu. 

Tatapan yang tidak menghakimi, tapi meneliti. 

Seolah Aldraya tengah membaca dirinya sebagai bagian dari teka-teki yang belum rampung. 

Dan itu membuat Theo, seorang penulis yang terbiasa menjadi pengamat, mendadak menjadi bagian dari cerita nan seharusnya ia kendalikan.

Ia mencoba menyangkal hal itu dengan aktivitas harian yang tampak biasa. 

Menulis catatan di halaman belakang perpustakaan, duduk sendirian di kantin, memerhatikan pergerakan awan yang menandai waktu jam pelajaran hampir selesai. 

Namun di antara suara murid nan bercakap dan langkah kaki yang berlalu, selalu ada satu momen ketika Theo tahu Aldraya ada di sana—diam, tapi hadir. 

Tak jarang Theo mendapati dirinya berhenti di tengah jalan, membalik badan, dan mendapati sang instruktur berlagak tengah menatap pepohonan.

Sekilas tampak acuh, tapi terlalu sering untuk disebut kebetulan. 

Seperti bayangan yang sengaja dibiarkan terlihat, sekadar memastikan korbannya sadar bahwa ia sedang diawasi.

Theo tahu, cara bicara Aldraya selalu disusun untuk menggertak. 

Ia pernah mendengar nadanya ketika berbicara kepada Ilux Rediona—datarnya melengkung di ujung kalimat, bagaikan garis grafik emosi yang nyaris tak berubah tapi menyimpan potensi tajam di dalamnya. 

Dan kini, ketika Aldraya mulai membuka suara kepadanya dalam situasi-situasi kecil—sekadar komentar pendek, kalimat formal yang tidak memerlukan balasan—Theo bisa merasakan betapa suara itu tak lagi sekadar mengajar, tapi menyingkap. 

Ada ketertarikan yang tak semestinya.

Bukan dalam makna manusiawi, melainkan seperti kecerdasan buatan yang menemukan error di dalam sistemnya sendiri. 

Theo mendengarnya dengan gelisah, karena setiap kata dari Aldraya terdengar seperti uji coba kode nan tengah memverifikasi keberadaan sesuatu yang tidak seharusnya ada.

Yakni dirinya.

‘Sialan, perempuan itu benar-benar menguji kesabaranku. Setiap kali aku hanya ingin mengintip Ilux dari kejauhan, dia selalu ada di sana, melempar pertanyaan-pertanyaan aneh yang bahkan anak kecil takkan tanyakan.

“Mengapa kursi dinamakan kursi?” 

Hah, aku bukan kamus. 

“Mengapa baling-baling kipas harus berputar?” 

Karena itu kipas, bukan ornamen. 

Dan “mengapa meja dipakai untuk menaruh barang?” 

Aldraya, apa itu pertanyaan sungguhan?’

Tsuuuuf!

‘Aku cuma ingin bekerja dengan damai, memantau Ilux, mencatat perkembangan plot, bukan diganggu pertanyaan-pertanyaan bodoh setiap menit.

Meski begitu, aku tak bisa benar-benar menyalahkannya, mulai paham kenapa dia bertindak begitu.

Ini akibat perbuatanku sendiri, karena aku selalu mengintai Ilux, membuatnya ragu, dan akhirnya ikut terlibat.

Dan sekarang, dia malah balik mengintipku.’

Sejak hari itu, rutinitas di Akademi Bintang tak lagi sama bagi Theo. 

Setiap kali bel tanda pelajaran usai berdentang, dan murid-murid lain berhamburan meninggalkan kelas, ada sosok yang tetap berdiri di balik jendela tinggi nan menatap ke taman tengah akademi. 

Aldraya Kansh Que, dengan jas panjangnya nan selalu tampak rapi tanpa cela, akan melangkah perlahan, seolah sedang melintasi garis takdir yang telah diatur baginya. 

Ia menyelesaikan kewajibannya sebagai pengajar, membimbing Ilux Rediona sebagaimana mandat dari kepala Akademi, lalu tanpa banyak alasan, akan berbelok menuju arah di mana Theo biasanya berada. 

Entah di balik tiang batu aula, di antara pepohonan, atau di tepi lapangan latihan yang senantiasa berdebu oleh langkah para murid berlatih kontrol Inti Lu. 

Seakan mata Aldraya memiliki insting yang tahu di mana Theo menyembunyikan keberadaannya.

Theo, di sisi lain, selalu berusaha menjadikan pertemuan itu sebagai kebetulan. 

Ia mencoba mengalihkan arah jalan, memutar ke rute lain, atau bahkan berhenti di tengah keramaian agar sosok itu kehilangan jejaknya. 

Tapi yang terjadi selalu sama. 

Aldraya muncul dengan langkah pasti, memandangi Theo seperti seseorang yang menunggu jawaban dari pertanyaan nan belum pernah diucapkan. 

Saat pertemuan itu tak bisa dihindari, dan Theo akhirnya menoleh, yang muncul bukanlah teguran atau ancaman, melainkan deretan pertanyaan ganjil yang tak memiliki korelasi apa pun dengan logika percakapan manusia. 

Mengapa kursi disebut kursi, mengapa meja tidak diberi fungsi selain menampung benda, mengapa baling-baling kipas harus berputar, dan mengapa udara yang diam terasa lebih menyiksa daripada yang bergerak. 

Pertanyaan-pertanyaan itu berlapis, acak, tak tertebak arahnya—tapi setiap kata dari bibir Aldraya seolah menyingkap bahwa di balik kulit seorang guru, ada sesuatu yang tengah mencoba memahami manusia dari balik algoritma nan retak.

Theo menanggapinya dengan kebingungan yang perlahan bergeser menjadi rasa waspada. 

Ia bukan lagi pengamat yang netral, melainkan bagian dari skenario yang tak bisa dikendalikan. 

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!