Alda Putri Anggara kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil dan tumbuh di bawah asuhan paman dan bibi yang serakah, menguasai seluruh harta warisan orang tuanya. Di rumah sendiri, Alda diperlakukan seperti pembantu, ditindas oleh sepupunya, Sinta, yang selalu iri karena kecantikan dan kepintaran Alda. Hidupnya hanya dipenuhi hinaan, kerja keras, dan kesepian hingga suatu hari kecelakaan tragis merenggut nyawanya untuk beberapa menit. Alda mati suri, namun jiwa seorang konglomerat wanita cerdas dan tangguh bernama Aurora masuk ke tubuhnya. Sejak saat itu, Alda bukan lagi gadis lemah. Ia menjadi berani, tajam, dan tak mudah diinjak.
Ketika pamannya menjodohkannya dengan Arsen pewaris perusahaan besar yang lumpuh dan berhati dingin hidup Alda berubah drastis. Bukannya tunduk, ia justru menaklukkan hati sang suami, membongkar kebusukan keluarganya, dan membalas semua ketidakadilan dengan cerdas, lucu, dan penuh kejutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 – “Rahasia Terungkap, Tapi Hati Tak Mau Lepas”
Pagi datang dengan cerah. Burung-burung di taman belakang bersahutan, sementara sinar matahari menyusup lembut ke kamar besar tempat Aurora terbangun.
Ia meregangkan tubuh, menguap pelan.
Baru saja ia hendak bangkit…
“Pagi yang cerah, tapi seseorang tidur tanpa menutup selimut.”
Suara datar namun hangat itu membuat Aurora mendongak.
Arsen berdiri di depan pintu kamar, mengenakan kemeja hitam, wajahnya seperti biasa tenang tapi sulit ditebak.
“Sejak kapan kamu suka ngawasin orang tidur?” tanya Alda dengan nada menggoda.
Arsen menjawab tanpa ekspresi, “Sejak orang itu mulai tidur di kamar saya.”
Alda melotot. “Heh? Ini kamar tamu kan?”
Arsen menatapnya tajam. “Dulu iya. Tapi kamu ubah semua dekorasinya. Jadi sekarang aku anggap ini bagian dari rumahku juga.”
Aurora mengangkat dagu dengan gaya sok angkuh. “Baiklah, berarti aku resmi menempati bagian paling indah dari rumahmu.”
Arsen berdecak. “Kamu ini benar-benar…”
Aurora menatapnya sambil menahan tawa. “Manis? Lucu? Tak tergantikan?”
“Menjengkelkan,” potong Arsen, tapi ujung bibirnya tersenyum samar.
----
Hari itu, keduanya sarapan bersama.
Alda mencoba menyiapkan roti panggang, tapi hasilnya agak gosong.
Arsen hanya menatap roti itu lalu berkomentar datar, “Aku gak tahu kamu masak roti atau batu bata.”
Aurora menjawab cepat, “Batu bata pun bisa berguna kalau dipakai melempar orang yang terlalu banyak komentar.” Keduanya saling menatap lalu tertawa bersamaan.
Di tengah tawa itu, Aurora tiba-tiba menatap Arsen serius.
“Arsen… kamu pernah percaya pada reinkarnasi?”
Arsen meletakkan cangkir kopinya perlahan. “Pertanyaan aneh pagi-pagi begini.”
“Aku serius,” kata Aurora. “Kalau ada seseorang yang mati, tapi jiwanya hidup lagi di tubuh orang lain. Apa kamu pikir itu mungkin?”
Arsen terdiam sejenak. “Kalau itu benar, berarti orang itu dapat kesempatan kedua. Tapi… apa dia masih orang yang sama?”
Aurora menunduk, menggigit bibirnya.
Ia ingin bilang, ‘Aku bukan Alda yang asli, aku adalah Aurora Lin yang mati dibunuh dan kini hidup di tubuhnya’.
Tapi lidahnya kelu. Ia takut.
Takut Arsen menjauh. Takut kehilangan kehangatan yang baru mulai tumbuh di antara mereka.
Jadi ia hanya tersenyum dan menjawab ringan,
“Mungkin… dia tetap sama. Hanya saja, lebih berani untuk hidup.”
Arsen menatapnya lama. “Sepertinya kamu bicara tentang dirimu sendiri.”
Aurora tertawa kecil, meneguk jusnya. “Mungkin.”
----
Siangnya, Aurora pergi ke kantor cabang kecil yang baru ia dirikan diam-diam tempat ia menyimpan dokumen aset lamanya sebagai Aurora Lin.
Di sana sudah menunggu seorang wanita berusia 40-an, elegan, mengenakan kacamata tipis.
“Selamat datang kembali, Nona Aurora,” ucap wanita itu pelan, sedikit menunduk.
Aurora tersenyum hangat. “Ah, sudah kubilang jangan terlalu formal, Lian. Aku sekarang bukan lagi Aurora Lin, tapi Alda.”
Lian menatapnya penuh haru. “Bagi saya, Anda tetap orang yang sama yang menyelamatkan hidup saya waktu dulu. Semua aset dan rekening rahasia aman. Tidak ada satu pun yang bisa dilacak.”
"Itu bagus sekali, pak pak Bram sudah memberi tau semuanya" ujar Alda
Mereka pun mengobrol ringan dan memeriksa laporan masuk
Namun tiba-tiba ponselnya bergetar.
Nama di layar membuatnya terkejut Arsen.
“Kamu dimana?”📱
Aurora menjawab cepat, “Urusan kecil.”📱
“Urusan kecil? Di kantor cabang Varmond kamu tidak ada. Kamu yakin gak sembunyiin sesuatu dari aku?”📱
Aurora tersenyum miring.
“Wah, ternyata Tuan Dingin mulai berubah jadi detektif cemburuan, ya?”📱
“Bukan cemburu. Aku cuma… khawatir.”📱
Hening.
Kalimat itu membuat jantung Aurora berdetak sedikit lebih cepat.
Ia menatap layar ponsel, lalu menjawab pelan, “Aku akan pulang sore ini. Jangan terlalu serius, nanti kamu tambah tua.”📱
Setelah menutup panggilan, Lian menatapnya dengan senyum menggoda.
“Dia perhatian sekali, Nona. Apakah dia tahu siapa Anda sebenarnya?”
Aurora menggeleng pelan. “Belum. Dan mungkin… belum saatnya.”
-----
Sore menjelang. Saat Aurora pulang ke rumah, Arsen menunggunya di taman belakang, dengan setumpuk berkas di pangkuannya. “Aku tahu kamu bukan sekadar gadis biasa, Alda,” katanya pelan.
Aurora terkejut. “Kamu ngomong apa?”
Arsen berdiri, mendekatinya perlahan. “Aku menemukan catatan keuangan dengan nama ‘Aurora Lin’. Dan semua transaksi itu… ditandatangani olehmu.”
Aurora membeku.
Tangan dan bibirnya gemetar, tapi ia mencoba tersenyum. “Kamu salah paham. Itu—”
“Berhenti berbohong,” potong Arsen lembut tapi tegas.
Ia menatap Aurora lurus-lurus. “Siapa kamu sebenarnya?”
Udara di sekitar mereka terasa berat.
Aurora memejamkan mata sejenak, lalu perlahan berkata, “Kalau aku bilang aku bukan Alda, kamu akan percaya?”
Arsen tidak menjawab.
Aurora menatapnya penuh keberanian. “Namaku… dulu Aurora Lin. Aku mati dibunuh oleh suamiku dan sahabatku sendiri. Dan entah kenapa, aku bangun lagi di tubuh Alda.”
Keheningan panjang menyelimuti taman itu.
Burung-burung berhenti berkicau, angin seolah ikut berhenti.
Arsen menatapnya lama sekali, wajahnya sulit dibaca.
Akhirnya ia mendekat, menyentuh bahu Aurora pelan. “Kalau begitu… selamat datang kembali, Aurora.”
Aurora menatapnya dengan bingung. “Kamu… gak takut?”
Arsen tersenyum tipis. “Aku kehilangan terlalu banyak untuk takut pada hal-hal aneh. Dan entah kamu siapa… kamu adalah orang yang menghidupkan aku lagi.”
Aurora terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi senyumnya hangat.
“Mungkin kamu satu-satunya orang yang gila karena bisa menerima sesuatu seaneh ini.”
“Kalau itu gila,” kata Arsen pelan, “biarlah aku gila hanya untukmu.”
Aurora tertawa kecil, menatap langit sore yang keemasan.
“Dunia memang aneh. Aku mati dan hidup lagi di tubuh orang lain, tapi malah menemukan seseorang yang mau hidup bersamaku tanpa takut masa laluku.”
Arsen menatapnya dalam-dalam. “Mungkin ini kesempatan kedua untuk kita berdua.”
Aurora mengangguk pelan, lalu berbisik,
“Kalau begitu, ayo kita mulai segalanya dari awal. Tapi kali ini, tanpa rahasia.”
Bersambung