Nikah Paksa Tapi Mau

Nikah Paksa Tapi Mau

Bab 1 – “Rumah Tak Lagi Rumah”

Udara pagi seharusnya membawa kesejukan. Tapi bagi Alda, pagi hanyalah awal dari rentetan suara bentakan, omelan, dan pandangan sinis.

Langit cerah, burung berkicau, tapi di dalam rumah besar bergaya lama itu… bahagia hanya milik orang lain.

“AALDAAA!!”

Suara melengking itu datang dari ruang tengah. Sangat khas, sangat tajam dan sangat menyebalkan. Itu suara bibi Ratna, wanita paruh baya dengan alis melengkung seperti tanda tanya dan bibir yang selalu menjorok ke depan, seakan dunia ini berutang banyak padanya.

Alda gadis berusia 18 tahun, berambut hitam panjang, kulit cerah, dan mata lembut segera bangkit dari kasur tipis di pojokan kamarnya. Kamarnya kecil, hanya cukup untuk kasur busa tipis, lemari bekas, dan satu kipas yang berderit jika dinyalakan.

“Iya, Bi!” jawabnya cepat, menahan napas.

“Cepet turun! Kamu pikir rumah ini hotel?!”

‘Kalau hotel, setidaknya tamunya diperlakukan baik, Alda membatin. Tapi tentu, dia tak pernah berani mengucapkan itu keras-keras. Pengalaman mengajarkannya, satu kata salah itu adalah hukuman.

Dia turun ke bawah dengan langkah cepat. Di ruang makan, Bibi Ratna sudah duduk, mengenakan daster bunga-bunga yang warnanya mencolok mata. Di sebelahnya, duduk Paman Joko, dengan perut buncit dan rokok terselip di antara jarinya. Meja sarapan? Hanya ada roti, telur mata sapi, dan susu… untuk mereka. Sementara untuk Alda? Seperti biasa, sisa.

“Kenapa lama banget?!” Bibi Ratna melotot.

“Maaf, Bi… Alda baru bangun.”

“Dasar pemalas! Gak kayak Sinta tuh. Anak yang berpendidikan, cantik, pinter, gak nyusahin.”

Alda menelan ludah. Sudah hafal skenario ini. Setiap hari, kalimat itu seperti lagu wajib pagi-pagi. Lagu yang liriknya sama: “Sinta hebat, Alda beban.”

Seolah dipanggil malaikat kejahatan, Sinta sepupu Alda muncul dari tangga dengan pakaian seragam sekolah yang rapi, rambut terurai, dan senyum tipis yang lebih cocok disebut senyum kemenangan.

“Oh… Kak Alda belum bangun ya? Kasian, udah gak punya ortu, malas pula…” ucapnya manis tapi menohok.

Alda menahan napas. Dalam hatinya: “Kalau bukan karena kamu anak kesayangan Bibi, udah aku keplak dari dulu.” Tapi di luar? Hanya senyum tipis.

“Iya, maaf, tadi bangunnya telat.”ujar Alda

“Makanya jangan suka mimpi yang aneh-aneh,” Sinta terkikik.

Paman Joko mendecak, “Udah sana, cuci piring. Jangan harap kamu ikut makan.”

Dan seperti biasa, Alda berjalan ke dapur, mengambil piring-piring bekas sarapan mereka, sementara aroma telur hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Perutnya melilit, tapi dia menelan ludah saja. Sudah biasa.

Hidup Alda berubah sejak umur tujuh tahun, ketika kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Rumah ini dulunya adalah rumah mereka. Warisan mereka. Tapi setelah Alda kecil tak punya siapa-siapa, paman dan bibinya, adik kandung mendiang ibunya mengambil alih semuanya. Harta, rumah, mobil, bahkan tabungan orang tuanya.

Awalnya Alda kira mereka akan jadi keluarga. Ternyata mereka hanya menganggapnya sebagai beban.

“Anak yatim piatu ini numpang hidup. Jadi harus tahu diri,” begitu kata mereka dulu. Kalimat itu menancap di kepalanya.

Tapi meski begitu, Alda tak pernah benar-benar membalas. Ia memilih diam, menahan. Dia punya mimpi, lulus SMA, kerja, lalu keluar dari rumah ini. Hidup sendiri. Bebas.

“AALDAAA!!” teriak Sinta lagi dari ruang tamu.

“Ya Tuhan…” Alda menyeka tangannya dari busa sabun. “Iyaaa, Sinta.”

“Ambilin tas aku di kamar atas. Cepet, aku telat!”

"Telat bukan salah aku juga, napa aku yang disuruh?" Alda mengeluh dalam hati. Tapi langkahnya tetap naik tangga.

Begitulah setiap hari. Sinta seperti ratu, Alda seperti pelayan.

Saat Alda turun dengan tas sekolah Sinta, gadis itu malah mengangkat alis, “Lambat banget. Dasar gak becus.”

Bibi Ratna menyeringai puas. “Makanya Sinta, jangan contoh dia. Anak gak tahu diri.”

Paman Joko menambahkan, “Orang tuanya aja mati ninggalin beban. Pantas aja.”

Kalimat itu seperti belati. Tapi Alda sudah kebal.

Sudah bertahun-tahun mendengar kalimat itu.

Di sekolah, Alda adalah murid teladan. Nilainya selalu terbaik. Guru-guru menyayanginya. Tapi itu justru bikin Sinta makin iri. Setiap kali Alda dapat pujian, Sinta akan mencari cara menjebaknya.

Pernah suatu kali Sinta menyembunyikan kunci mobil paman, lalu menyalahkan Alda. Akibatnya Alda dikurung di gudang semalaman. Pernah juga Sinta menjatuhkan vas bunga, lalu menangis pura-pura dan tentu, Alda yang disalahkan.

“Karena kamu, Sinta nangis!”

“Padahal aku cuma lagi di dapur, Bi…”

“Boong!”

Hidup Alda seperti jalan penuh jebakan.

Pagi itu, setelah semua selesai, Alda duduk sebentar di belakang rumah. Memandangi langit biru. Tempat itu satu-satunya tempat dia merasa tenang. Di sana ada bangku kayu tua milik mendiang ayahnya. Bangku itu masih utuh, meski semua peninggalan orang tuanya lainnya sudah dijual oleh paman dan bibi.

“Papa… Mama…” bisiknya pelan. “Kalian pasti bangga kan, Alda hampir lulus SMA? Setelah ini Alda kerja, ya. Gak bakal lama kok, Alda keluar dari sini.”

Matanya berkaca-kaca. Tapi dia tersenyum kecil. Ia harus kuat. Kalau tidak, siapa lagi?

Sore harinya, Sinta pulang sekolah dengan gaya bak selebriti.

“Buuu!!” jeritnya. “Alda bikin malu aku lagi!!”

Alda yang sedang mengepel terlonjak. “Hah? Aku?”

“Dia jalan di belakang aku tadi, Buu. Temen-temen kira aku bawa ART! Ya Allah, aku malu banget!!” Sinta mendramatisir, matanya berkaca-kaca seperti pemain sinetron.

“APA?!” Bibi Ratna langsung melotot. “ALDAAA!!! Kamu bikin malu sepupu kamu!!”

“Aku cuma jalan di belakang Sinta karena jalannya rame, Bi…”

“ALASAN!”

Paman ikut datang dengan wajah jengkel. “Dasar pembawa sial.”

Bibi menampar pelan pipi Alda. Bukan keras, tapi cukup membuat pipinya panas.

“Nanti malam gak usah makan!”

“Bi—”

“Diam!”

Alda menggigit bibirnya. Sakit di pipi tak seberapa dibanding sakit di hati.

Malam itu, saat keluarga itu makan malam, Alda duduk di teras belakang. Gelap, dingin, dan perutnya kosong. Tapi matanya tetap menatap bintang-bintang.

“Papa… Mama… Kapan semua ini selesai?” bisiknya lirih.

Angin berhembus pelan. Sunyi.

Hanya suara jangkrik yang menemani.

Di dalam rumah, suara tawa Sinta dan bibinya terdengar nyaring. Seperti pesta kecil yang tak mengundang Alda.

Beberapa bulan kemudian, sekolah Alda mengadakan pengumuman kelulusan. Semua murid senang. Termasuk Alda. Dia lulus dengan nilai tertinggi di angkatan. Kepala sekolah sampai memanggil namanya di depan aula.

“Alda Putri Anggara, siswi terbaik tahun ini!” tepuk tangan membahana.

Sinta hanya melotot dari bangku. Wajahnya memerah.

“Gadis sial itu dapet pujian lagi!” gumamnya kesal.

Saat Alda naik panggung menerima piagam, semua siswa bersorak. Guru-guru menepuk bahu Alda bangga.

Tapi Alda tahu… begitu pulang ke rumah, kebahagiaan ini tidak akan berarti apa-apa.

“Pintar gak guna kalau gak tahu diri,” ucap Bibi Ratna sinis malam itu.

Paman mengangguk, “Lagian nilai tinggi bikin apa? Uang gak ada, kerjaan belum tentu dapat. Hahaha.”

Sinta ikut tertawa, “Iya, Bu. Nanti juga dia kerja jadi pembantu.”

Alda diam. Tapi dalam dadanya, ada api kecil menyala.

Sebelum mati, ayahnya pernah berkata: “Alda, kamu harus kuat. Jangan biarkan orang lain menentukan siapa kamu.”

Malam itu, Alda kembali duduk di bangku tua ayahnya.

Dia menatap langit.

“Papa… Mama… sebentar lagi Alda cari kerja. Alda gak bakal hidup kayak gini terus. Alda janji.”

bersambung

Terpopuler

Comments

Tiara Bella

Tiara Bella

baru bab 1 aja udh nyesek gini😭

2025-10-26

0

-Thiea-

-Thiea-

jahatnya tuh mulut..😑

2025-11-03

0

Lydia

Lydia

lanjut author

2025-10-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!