Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.
Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.
Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.
Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
Maddy menoleh pada sahabatnya. "Zia, ayo! Kita latihan dulu sebentar sebelum Pak Beni dateng," ajak Maddy sambil beranjak dari duduknya.
Zia mengembuskan napas kasar, lalu bangkit berdiri mengikuti sahabatnya yang sudah duluan ke tengah lapangan. Namun, baru beberapa langkah, ia tanpa sengaja menabrak punggung Arza yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Tubuhnya langsung terpental sedikit ke belakang.
"Aduh..." Zia meringis pelan sambil mengusap hidungnya. Arza menoleh, menatapnya datar tanpa ekspresi. Tatapan tajam pemuda itu membuat Zia refleks menegakkan tubuh.
"Gue gak sengaja," ucap Zia cepat-cepat, buru-buru klarifikasi agar Arza tidak salah paham.
Arza menyipitkan mata, menatapnya lama. "Padahal gue gak bilang apa-apa," katanya santai, nada suaranya dingin.
"Belum," sahut Zia cepat, melipat tangan di dada. "Lo belum bilang apa-apa, tapi gue tahu lo pasti mikir gue lagi cari perhatian, kan? Lo tuh emang tukang nuduh!"
Arza mengangkat alis, sudut bibirnya naik samar. "Oh ya? Jadi gue tukang nuduh sekarang?"
"Ya iyalah! Tatapan lo aja udah kayak hakim sidang," balas Zia, jengkel tapi pipinya malah makin memanas.
Cowok itu terkekeh pelan. "Kenapa muka lo jadi mirip badut?" celetuknya tiba-tiba dengan nada menggoda.
Zia langsung melotot. "Dih, mana ada badut secantik gue! Lo buta, ya?"
Arza melangkah lebih dekat, jaraknya kini hanya sejengkal. "Muka lo semuanya merah. Kayak badut yang salah shade foundation."
Zia buru-buru meraba pipinya, memang ia merasa panas. "Ya emang kena matahari! Mau muka gue merah kek, hijau kek, bukan urusan lo, tahu!"
Arza menyeringai kecil, lalu menatapnya lekat-lekat. "Gue cuma bilang lo lucu aja, Zia. Kayak badut kecil yang lagi ngambek."
"Apaan sih, Arza!" Zia mengerutkan hidung, lalu mundur selangkah. "Kalo lo gak punya kerjaan selain gangguin gue, mending lo bantu Maddy tuh, biar gak nyebelin di sini."
Arza menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berujar pelan, hampir tak terdengar, "Gue suka badut."
Zia terdiam sepersekian detik, jantungnya berdetak aneh. Ia hendak membalas, tapi suara Maddy memotong suasana.
"Zia! Cepet ke sini, nanti Pak Beni keburu balik!"
Zia buru-buru berpaling, mencoba menutupi wajahnya yang semakin panas. "Dasar cowok aneh," gumamnya sambil berlari kecil menyusul Maddy.
Arza mendengus pelan melihat ekspresi bodoh Zia, lalu tanpa berkata apa-apa, ia ikut berbalik pergi begitu saja. Zia hanya mengangkat bahu, malas memusingkan tingkahnya, lalu kembali melangkah menghampiri Maddy.
"Lo tadi ngobrolin apa sama Arza?" tanya Maddy sambil memicingkan mata curiga.
"Gak tahu, dia gak jelas," sahut Zia dengan nada tak peduli, sambil mengambil bola yang ada di tanah.
"Beneran?" desak Maddy.
"Em," gumam Zia singkat, tanpa minat.
Tatapan Maddy masih penuh rasa ingin tahu. "Pokoknya, Zia, inget ya lo harus move on! Jangan buang energi lo buat orang aneh kayak dia."
Zia hanya mengangguk-angguk asal. "Iya, iya, Miss Motivator."
Setelah itu, ia mengambil bola voli dan bersiap untuk mempraktikkan apa yang tadi diajarkan Pak Beni.
"Gue apa lo duluan nih?" tanya Zia, melirik ke arah Maddy.
"Lo dulu aja," jawab Maddy sambil mundur beberapa langkah. "Gue takut kena bola nyasar lo lagi."
Zia mendengus, lalu berdiri siap. Bola itu ia tatap dengan malas panas matahari makin menyengat, dan semangatnya makin menurun. Dalam pikirannya, ia malah sibuk membayangkan es teh manis dan nasi goreng kantin yang menunggu setelah pelajaran ini selesai.
Maddy sudah siap di seberang, menunggu umpan. Zia mengayunkan tangan kanannya untuk memukul bola. Namun entah kenapa, bola itu meleset dan terbang ke arah lain, sama sekali tidak menuju Maddy.
"Mampus..." gumam Zia pelan, matanya langsung membulat.
Dari sudut mata, ia melihat Gabriella dan Gina berjalan santai di pinggir lapangan sambil bercanda. Dalam sepersekian detik, Zia sadar bola itu meluncur tepat ke arah mereka.
Matanya melebar panik. "Gawat!"
Ia refleks berteriak, suaranya menggema di seluruh lapangan.
"AWAS!!!"
Teriakan Zia kencang sampai membuat teman-teman sekelasnya menoleh serempak. Gaby dan sahabatnya, Regina ikut menoleh kaget melihat bola melayang ke arah mereka, tapi sayangnya sebelum mereka berdua menyingkir, bola itu sudah mendarat mulus di kepala Gaby.
"Gaby!" Gina berteriak panik ketika Mentari tergeletak pingsan.
Zia buru-buru menghampiri dua orang itu dan meringis pelan melihat adiknya sudah pingsan tak berdaya.
"Sorry, sorry, gue gak sengaja. Ayo gue bantu bawa Gaby ke UKS," ucap Zia dengan penuh rasa bersalah.
Gina yang masih panik berusaha membangunkan Gaby, langsung menengok ketika mendengar suara itu. Matanya menajam marah, mengetahui ternyata Zia yang telah melempar bola itu, lalu berdiri kemudian mendorong Zia kencang. Zia yang dasarnya sudah lemas karena kepalasan langsung terjatuh begitu saja.
"Lo sengaja kan? Ngaku!" bentak Gina, ia menunduk melihat Zia.
"Gue tahu lo benci sama Gaby, Kak. Tapi dia juga adik lo, kenapa lo tega nyelakain dia?" Nada suara gadis itu semakin tinggi.
Zia menghela napas kemudian bangkit berdiri. "Gue gak sengaja," jawab Zia jujur.
"Halah! Lo pikir gue percaya sama orang jahat kayak lo, ini udah kesekian kalinya lo berusaha nyakitin Gaby di depan umum!" Rahang Gina mengeras menahan emosi, kekesalannya pada Zia semakin menggungung setelah kejadian ini.
Maddy yang melihat Zia didorong oleh Gina langsung menghampiri mereka dengan langkah marah. Teman-teman sekelasnya pun ikut mengerubungi di belakang karena penasaran.
"Heh! Anak sok suci!" Maddy menarik belakang kerah seragam Gina hingga menghadapinya. Ia melirik Zia, setelah memastikan sahabatnya aman, dia kembali menatap Gina tajam.
"Berani banget lo bentak-bentak sabahat gue!" Maddy mencengkeram rahang Gina kencang dengan mata marah.
"Lepas!" Gina berusaha melepaskan cengkeraman Maddy. "Dia udah buat Gaby pingsan." Gina kesulitan berbicara karena rahangnya dicekik.
"Zia gak sengaja, tolol!" teriak Maddy di depan wajah Gina. "Teman lo aja yang lemah, kesenggol bola doang pingsan. Cih!" Maddy berdecik muak.
Melihat pertengkaran antara Maddy dan Gina, Zia hanya dapat menghela napas panjang. Mereka ini kenapa malah bertengkar, padahal di sini ada orang yang butuh pertolongan.
Zia melangkah mendekati Gaby untuk mengecek keadaan gadis itu, tapi lagi-lagi pundaknya ditarik kasar ke belakang. Jika di belakangnya tidak ada yang menahan, mungkin saat ini dirinya sudah jatuh lagi.
"Lo gak apa-apa?"
Suara bernada cemas itu membuat Zia mendongak, ternyata itu Leonis, tunangannya. Sontak Zia tak bisa menutupi rasa terkejutnya.
"Kenapa lo ada di sini?" Tanya Zia syok.
Leon tersenyum tipis. "Gue pindah sekolah, lo belum jawab pertanyaan gue, Zi."
"Gue nggak apa-apa. Thanks," jawab Zia cepat.
Ia buru-buru melepaskan tangan Leon yang menahan pundaknya. Karena terlalu dekat, Leon pun langsung menjauh canggung.
Bibir Zia terkatup rapat ketika menoleh kembali ke tempat Gaby berada, di sana sudah ada Arza yang dengan sigap menggendong gadis itu. Sekarang ia menyadari ternyata pemuda itu yang menarik pundaknya hingga nyaris jatuh.
Arza membalikkan badan dengan Gaby yang ada di gendongannya, saat mata mereka bertabrakan tiba-tiba pandangan Arza menjadi dingin.
"Minggir!" sentak pemuda itu pada Zia yang menghalangi langkahnya.
Zia membasahi bibirnya dengan kaku. Ia menghela napas, pemuda itu pasti kembali salah paham. Baru saja Zia ingin menyingkir tiba-tiba kepalanya berdenyut, ia terdiam memegang dahi menahan sakit.
"Aduh, kenapa kepala gue cenut-cenut begini, ya?"