Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Psike yang Terjerat
Di ruang kerjanya yang luas dan sunyi, Azey baru saja menandatangani berkas terakhir untuk distribusi mesin sport ke salah satu tim balap ternama. Ia melakukannya dengan gerakan cepat dan efisien, tanpa sedikit pun ekspresi di wajahnya. Sekretarisnya, Eva, berdiri di dekatnya dengan tenang.
"Pastikan semuanya berjalan dengan sempurna," ucap Azey datar tanpa sedikit pun menoleh ke arah Eva. Nada suaranya dingin dan mengancam. "Aku tidak menerima alasan apapun. Jika ada satu kendala saja yang mencoreng nama baik perusahaan, ini akan menjadi berkas terakhir yang kau sentuh."
Eva menelan ludah gugup. Kata-kata Azey bagai pisau yang mengiris hatinya. "Tentu, Tuan. Saya akan memastikan semuanya berjalan sesuai perintah Anda," ujarnya dengan suara yang sedikit bergetar, namun matanya tak bisa berhenti mengagumi ketampanan Azey yang dingin.
"Tuan..." panggil Eva pelan, mengubah intonasi suaranya menjadi lembut dan menggoda. Ia melangkah perlahan mendekati Azey dari belakang, gerakannya seperti kucing yang mengintai mangsanya. "Bagaimana kalau saya bantu sedikit menghilangkan rasa lelah Anda? Saya punya beberapa cara yang cukup ampuh untuk meredakan ketegangan otot Anda."
Eva terkekeh pelan, lalu dengan berani mengusap bahu Azey dengan lembut, memberikan pijatan ringan sebelum menurunkan tangannya ke dada bidang pria itu. "Saya juga cukup berpengalaman dalam memuaskan pria seperti Anda. Apakah Tuan tertarik untuk mencobanya?" bisiknya manja di telinga Azey, mencoba memancing reaksinya.
Rahang Azey mengeras. Sentuhan wanita lain, apalagi dengan maksud menggoda, adalah sebuah pelanggaran besar. Hanya Taeri yang berhak menyentuhnya, dan pikiran bahwa ada orang lain yang berani melakukannya membuatnya muak. Instingnya berteriak untuk menghukum Eva, dan dengan gerakan cepat, tangannya sudah meraih gagang pistol yang terselip di pinggangnya.
Namun, sebelum Eva merasakan timah panas bersarang di kepalanya, suara getar ponsel di atas meja menginterupsi niatnya. Sebuah pesan singkat dari Leonardo muncul di layar, membuyarkan amarahnya. Tuan, Nona Kim ingin bertemu dengan Anda. Saya sedang mengantarnya ke ruangan Anda sekarang.
Napas Azey yang tadinya memburu kini perlahan melambat. Jemarinya perlahan terlepas dari gagang pistol, dan senyum licik mulai menghiasi wajahnya yang tadinya tegang. Baiklah, gadis kecil, batinnya bergumam, obsesinya pada Taeri semakin menguat. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk membuktikan padamu bahwa kamu juga tidak rela jika aku disentuh wanita lain. Kita lihat seberapa besar kamu bisa menyangkal perasaanmu yang sebenarnya.
Tanpa sedikit pun menoleh, Azey mencengkeram pergelangan tangan Eva dengan cengkeraman kuat yang menyakitkan. "Jika kau benar-benar seberpengalaman itu dalam memanjakan seorang pria, tunjukkan padaku sekarang. Hibur aku," ucapnya dingin, tatapannya kosong dan tidak menunjukkan minat sedikit pun.
Eva tertegun sejenak, namun dengan cepat ia menguasai diri. Jantungnya berdetak kencang, campuran antara takut dan terangsang. Ia merasa tertantang oleh sikap dingin Azey. "Tentu saja, Tuan. Saya akan membuktikan kemampuan saya," ujarnya dengan nada percaya diri yang dibuat-buat, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya yang mulai menyerang.
Dengan gerakan anggun, ia melangkah ke depan dan dengan sengaja mendudukkan dirinya di pangkuan Azey, menantang batasan yang ada. "Kalau boleh saya tahu... permainan seperti apa yang Tuan inginkan saat ini? Apakah Tuan ingin saya yang memimpin dan memanjakan Anda sepenuhnya, atau Anda lebih suka menikmati tubuh saya secara langsung dengan sentuhan Anda sendiri?" bisiknya dengan suara menggoda sambil dengan berani mulai membuka satu per satu kancing kemeja Azey, berusaha membangkitkan hasrat pria itu.
Namun, sebelum Eva sempat melakukan apapun lebih jauh, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan kasar, membentur dinding dengan suara keras. Eva tersentak dan menoleh cepat. Matanya membulat saat melihat sosok gadis yang tidak dikenalnya berdiri di ambang pintu. Wajah gadis itu memerah padam karena amarah yang membara.
Azey hanya menyunggingkan senyum sinis ke arah Taeri, tatapannya penuh kemenangan. Ia menikmati setiap detik dari kekacauan yang sedang terjadi di hadapannya, puas melihat emosi Taeri yang akhirnya keluar. "Bajingan murahan!" umpat Taeri dengan suara bergetar hebat, emosinya meluap tak terkendali. Nada suaranya mencerminkan kekecewaan mendalam yang bahkan belum sepenuhnya ia sadari.
Tanpa bisa menahan diri, Taeri melangkah cepat ke arah Eva yang masih duduk di pangkuan Azey. Dengan gerakan kasar, ia menjambak rambut wanita itu dan menariknya hingga tubuhnya terhempas ke lantai dengan keras. "Dasar wanita gila! Apa yang kamu lakukan pada bosmu sendiri?! Di mana harga dirimu, hah?! Jalang murahan! Beraninya kamu menggoda atasanku sendiri, dasar menjijikkan!" bentaknya dengan suara melengking, napasnya terengah-engah karena amarah yang memuncak.
Kemudian, Taeri berbalik dan menatap Azey dengan tatapan penuh benci dan terluka. Tanpa ragu, ia mengangkat tangannya dan menampar pipi Azey dengan sekuat tenaga. Suara tamparan itu menggema di ruangan yang tiba-tiba menjadi sunyi senyap.
"Pria bajingan!" serunya dengan lantang, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kamu bilang dengan begitu percaya diri bahwa kamu tidak pernah menyentuh wanita lain, tapi sekarang... dengan santainya kamu membiarkan bawahan rendahan ini merayap di tubuhmu! Apa semua perkataanmu itu hanya kebohongan belaka?!"
Nada suaranya tajam dan menusuk, mencerminkan luka yang mendalam. Ia tidak tahu pasti apakah rasa sakit yang ia rasakan itu berasal dari rasa jijik atau karena kekecewaan yang tak ingin ia akui. Yang jelas, hatinya hancur berkeping-keping.
Eva yang sejak tadi berusaha menahan sakit akhirnya bangkit berdiri dengan amarah yang membara. Tanpa ampun, ia menjambak balik rambut Taeri dengan keras hingga kepala gadis itu tersentak ke belakang, membuat Taeri meringis kesakitan. "Dasar gadis gila! Apa-apaan kamu ini?! Main masuk sembarangan lalu langsung menyerang orang tanpa alasan!" bentaknya dengan nada histeris.
Namun, Taeri tidak tinggal diam. Rasa sakit dan amarahnya justru semakin memuncak. Dengan gerakan cepat dan brutal, ia meraih pergelangan tangan Eva dari belakang dan menariknya dengan paksa untuk melepaskan jambakannya. Kemudian, tanpa ampun, ia menampar wajah Eva dengan keras hingga wanita itu terhuyung ke belakang. "Eh, jalang sialan! Kamu tahu siapa aku, hah?!" serunya dengan nada tajam dan merendahkan. "Sepertinya kamu belum sadar atas kebodohan besar yang baru saja kamu lakukan!"
Taeri bersiap untuk melayangkan tamparan kedua, namun sebelum tangannya sempat bergerak, Azey dengan sigap menarik pinggangnya hingga ia terduduk paksa di pangkuannya, menghentikan aksinya.
"Lepaskan aku, pria bodoh! Aku ingin memberi pelajaran yang pantas pada jalangmu itu!" geram Taeri dengan nada marah sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Azey.
Azey dengan lembut menempelkan jari telunjuknya di bibir Taeri, membungkamnya. "Ssttt... tenanglah, kelinci kecil," bisiknya pelan namun penuh perintah di telinga Taeri, mencoba meredakan amarahnya. Ia tidak ingin keributan ini berlanjut lebih jauh. Tanpa mengalihkan pandangannya dari Taeri, Azey berkata dengan nada dingin dan menusuk ke arah pintu. "Leonardo, seret jalang bodoh ini keluar dari sini sekarang juga. Sebelum dia mati mengenaskan di tangan kelinciku."
Leonardo dengan sigap melangkah mendekat dan langsung meraih lengan Eva, mencengkeramnya dengan kuat hingga wanita itu meringis kesakitan. "Hei! Apa-apaan ini?! Tuan, saya belum selesai dengan wanita gila ini! Dia sudah berani menampar saya!" bentak Eva dengan nada histeris, berusaha memberontak dari cengkeraman Leonardo.
Mendengar itu, emosi Taeri kembali tersulut dan ia berusaha bangkit untuk kembali menyerang Eva, namun Azey dengan sigap menahan pinggangnya agar tetap duduk di pangkuannya.
"Cepat bawa dia keluar dari sini, Leo," perintah Azey dengan nada datar dan tanpa emosi, bahkan tanpa sedikit pun menoleh ke arah Eva.
Leonardo hanya mengangguk patuh. Ia menarik Eva yang masih memberontak dan berteriak-teriak dengan kasar keluar dari ruangan, lalu menutup pintu dengan rapat, menyisakan keheningan yang mencekam.
Taeri menoleh ke arah Azey dengan napas masih tersengal-sengal karena amarah yang belum sepenuhnya mereda. "Dasar pria—" umpatnya dengan nada setengah marah. Namun, kalimatnya terhenti begitu saja ketika Azey tiba-tiba mengecup bibirnya dengan singkat, membuat tubuhnya menegang dan jantungnya berdebar tak karuan.
"Tenanglah, sayang," bisik Azey dengan nada pelan dan lembut, suaranya nyaris seperti desahan yang menggelitik telinga Taeri. "Jangan salah paham dulu. Aku sama sekali tidak tertarik pada jalang murahan itu. Bagiku, hanya kamu yang menarik."
Dengan gerakan tanpa ekspresi, Azey meraih ponselnya di atas meja dan menyodorkannya ke arah Taeri. Layar ponsel itu menampilkan pesan dari Leonardo yang mengabarkan kedatangan Taeri ke ruangannya, membuktikan bahwa ia tidak berbohong. Taeri menatap layar itu sesaat, lalu mengalihkan pandangannya ke wajah dingin Azey.
"Aku bukan pria murahan yang akan menyentuh wanita sembarangan," bisik Azey pelan, suaranya datar dan tanpa emosi. "Tujuanku tadi sama sekali bukan untuk melampiaskan nafsu birahi, aku hanya ingin membuktikan sesuatu kepadamu. Membuktikan bahwa perasaan yang selama ini selalu kau sangkal dan bantah itu nyata adanya."
Ucapan Azey itu bagai tamparan keras bagi Taeri, menegaskan bahwa semua perasaan yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam bukanlah rekayasa belaka. Ia tersipu malu, pipinya merona merah karena gugup. Dengan cepat, ia menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya. "A-aku tadi cuma... aku tidak suka melihat hal yang tidak senonoh terjadi di kantor. Bukan... bukan karena dia menyentuhmu," ucapnya terbata-bata, mencoba mencari alasan yang masuk akal untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.
Azey menatapnya dengan tatapan dingin dan menusuk, seolah bisa melihat menembus ke dalam hatinya yang paling dalam. Kemudian, dengan santai ia mengambil pistol dari pinggangnya, gerakannya tenang dan tidak terburu-buru.
"Apapun alasanmu, itu bukan urusanku," ucapnya datar sambil memainkan pistol itu di tangannya. "Tapi, jika kau tidak datang ke sini tadi, aku pastikan wanita itu sudah tidak bernyawa lagi saat ini." bisiknya dengan nada mengancam yang membuat bulu kuduk Taeri meremang.
Ancaman itu bukan sekadar gertakan belaka, melainkan sebuah pernyataan tegas bahwa ia bersedia bertindak ekstrem demi menjaga apa yang menjadi miliknya dan menyingkirkan siapapun yang berani mendekatinya. Taeri menelan ludah dengan susah payah, matanya berkaca-kaca karena takut dan terkejut. "Dasar psikopat... kau benar-benar tidak punya hati nurani sedikit pun, Tuan," lirihnya dengan suara yang nyaris tidak terdengar, hatinya dipenuhi kekecewaan dan ketakutan yang mendalam.
Azey terkekeh pelan mendengar ucapan Taeri, seringai sinis menghiasi bibirnya. "Kau menyebutku psikopat, sayang? Lucu sekali," bisiknya datar di telinga Taeri. "Padahal, kau juga baru saja menampar wanita itu dengan membabi-buta, menunjukkan perasaan yang selama ini kau sembunyikan."
Tanpa menunggu jawaban, ia menunduk dan menggigit leher Taeri dengan lembut namun menggoda, memberikan sensasi geli bercampur nyeri yang membuat gadis itu menggeliat di pangkuannya. Sentuhan itu bukan sekadar untuk meredam amarah Taeri, tetapi juga untuk menguji batas ketahanannya, membangkitkan hasrat terpendam yang selama ini berusaha ia tekan.
"Aku... aku tidak berniat membunuhnya," bantah Taeri dengan suara tergagap, berusaha menyembunyikan gejolak yang timbul akibat sentuhan Azey. Wajahnya semakin memerah, karena hasrat yang mulai menguasai dirinya. "Itu berbeda dengan pikiranmu yang... yang tidak waras." Dengan tangan gemetar, ia mendorong kepala Azey menjauh. "Tolong berhenti menggigitku, nanti ada orang yang masuk," tambahnya dengan napas pendek, berusaha menciptakan jarak di antara mereka.
Azey menghentikan gigitannya, menyadari bahwa Taeri sedang berusaha keras untuk menekan perasaan yang tidak ingin ia akui. Senyum licik kembali muncul di bibirnya. lalu memeluk Taeri dengan erat. "Ssttt..." desisnya pelan di telinga Taeri, menempelkan dagunya di kepala gadis itu. "Tetap saja, itu tidak mengubah apapun. Kau marah saat tubuhku disentuh wanita lain, sayang. Kau cemburu," bisiknya menggoda, sengaja memprovokasi Taeri untuk mengakui perasaannya yang sebenarnya.
Taeri menahan napas, matanya terpejam rapat, menolak untuk bertemu dengan tatapan intens Azey. Pria itu telah berhasil mengacaukan perasaannya, membuatnya benci sekaligus menginginkannya dalam waktu yang bersamaan.
"Tuan... aku lelah sekali. Aku ingin pulang," pinta Taeri dengan suara lirih, kelelahan yang mendalam terpancar dari setiap katanya. "Aku ingin segera beristirahat. Tolong antarkan aku ke mansion."
Azey menatapnya sesaat, tatapannya intens namun sulit dibaca, seolah menyimpan rahasia yang dalam. Ekspresinya tetap datar seperti biasa, tidak memberikan petunjuk tentang apa yang sedang ia pikirkan. "Baiklah," jawabnya singkat, nada suaranya tenang namun mengandung kekuatan yang tak terbantahkan. "Kita akan pulang sekarang."
Tanpa menunggu persetujuan Taeri, Azey menunduk dan dengan mudah mengangkat tubuhnya ke dalam gendongannya. Taeri tidak lagi melawan, tenaganya sudah terkuras habis, pikirannya terlalu lelah untuk berpikir jernih. Ia hanya menunduk, menyembunyikan wajahnya di dada bidang Azey yang terasa hangat namun juga menekan, seolah menjeratnya dalam sebuah ikatan yang tak terlihat. Dalam diam, hatinya bergejolak, dipenuhi rasa takut karena ia belum siap untuk mencintai Azey, pria yang misterius dan berbahaya ini.
Ketika mereka melangkah keluar dari ruangan kantor, keheningan tiba-tiba menyelimuti seluruh ruangan yang tadinya sibuk. Para pegawai menatap mereka dengan tatapan penuh tanda tanya dan rasa ingin tahu yang besar.
"Siapa sebenarnya gadis itu?" gumam salah satu staf pelan, berusaha memecah kesunyian.
"Aku juga memperhatikan tadi, bahkan Tuan Leonardo tampak sangat menghormatinya," jawab pegawai lain dengan nada rendah, mencoba mencari tahu identitas Taeri. Namun, bisikan itu segera dipotong oleh suara rekan di sebelahnya yang memperingatkan.
"Sudahlah, jangan ikut campur urusan orang atasan. Lebih baik pikirkan saja pekerjaanmu sebelum Tuan Azey memecatmu karena kurang ajar," bisiknya dengan nada cemas.
Bisikan-bisikan penuh rasa ingin tahu itu memudar seiring langkah Azey yang semakin menjauh, membawanya dan Taeri keluar dari gedung megah itu. Di luar, sebuah mobil hitam mewah telah menunggu dengan setia, siap mengantar mereka kembali ke kerajaan kegelapan milik Azey, tempat di mana Taeri akan semakin terjerat dalam pesona dan bahaya pria itu.