"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SANDIWARA MEMILUKAN MAIRA
Kuraih tangan Zahra begitu Dokter dan yang lain tak lagi terlihat. Aku membawanya masuk ke dalam, namun ia tak lantas melangkah. Melainkan hanya terdiam, menatap nanar puing-puing bangunan yang kini telah rata. Ya, aku meminta para warga membantu merapikan, agar Zahra tidak trauma setiap melihatnya ketika kami harus pulang. Akan tetapi, sepertinya usahaku tak begitu berhasil. Sekarang kulihat Zahra menatap rumah miliknya dengan tatapan sendu.
"Zahra, ayo masuk, Sayang."
"Rumah Zahra udah nggak ada sekarang," ujarnya dengan mata berkaca lalu tertunduk dalam.
Aku beringsut menyejajarkan tubuhku dengan Zahra.
"Tadi Zahra janji apa sama Om Dokter. Nggak boleh nangis, kan? Sekarang Zahra tinggal sama Bunda, di rumah Bunda. Tuh, lihat. Rumah baru, bagus, kan?" bujukku sembari menunjuk ke arah rumah baru yang terlihat begitu indah di pandang meski sejatinya bagiku itu suram setiap mengingat siapa yang membangun sedemikian rupa dan kenangan apa yang ada di dalamnya.
"Ya udah yuk. Masuk. Kita lihat rumah baru."
Tak ingin melihatnya berlarut-larut dalam kesedihan,
Aku pun membawanya masuk ke dalam rumah dua lantai dengan sedikit memaksa.
"Assalamualaikum," sapaku pada para ibu yang sudah
berkumpul di dalam. Tampaknya mereka tengah sibuk
menyiapkan acara tahlilan. Aku tinggal jauh dari perkotaan sehingga rukun tetangga masih terjaga. Beberapa hari yang lalu, aku meminta acara tahlilan Bude yang sebelumnya diadakan di rumah Bu Sarah, Kepala desa, dipindah ke rumahku. Namun, karena aku lupa kunci tidak aku pegang maka semua tertunda, hingga pagi tadi setelah kunci berhasil terbuka, aku kembali meminta untuk dialihkan tepat di hari terakhir.
"Wa'alaikumsalam Eh, Zahra sudah pulang. Anak-anak sini, Zahra sudah pulang," seru Bu Sarah begitu melihat kami, lalu bergegas menyambut bersama yang lain.
"Zahra," sapa teman-teman yang ternyata juga sudah berkumpul di rumah kami. Mereka segera menghampiri Zahra dengan binar kebahagiaan.
"Tadi dokter menghubungi, suruh bawa temen-temennya ke sini, Zahra mau pulang katanya," jelas Bu Sarah dengan raut sungkan. Aku mengerti kehadiran anak-anak di acara seperti ini mungkin mereka pikir akan mengganggu, tapi sesungguhnya tidak begitu bagiku. Bagiku asal Zahra bisa tersenyum itu sudah lebih dari cukup.
"Iya, saya malah nggak kepikiran sampe situ."
"Zahra, tuh, temen-temennya udah pada dateng mau
nemenin Zahra. Jangan cemberut aja," bujukku pada Zahra yang masih menekuk wajahnya meski semua teman sudah ada di dekatnya.
"Bilang sama mereka kalau boneka Zahra banyak. Mau pinjem nggak gitu," bisikku di telinga Zahra. Seketika Zahra mengangkat wajahnya.
"Temen-temen, Zahra punya banyak... banget boneka lebah. Dikasih Om Dokter. Temen-temen mau lihat nggak?"
"Mau, Zahra. Mana."
Aku keluarkan satu kantong besar boneka yang memang sudah dikemas sebelumnya. Lalu kubawa ke rumah tengah bersama mereka yang saat ini begitu antusias, tak terkecuali Zahra.
Aku tersenyum melihat polah tingkah mereka. Lalu senyumku memudar kala ingatanku tentang Bude masuk ke dalam kepala.
Untuk saat ini, mungkin aku bisa sedikit bernapas lega, melihat Zahra bisa tersenyum melupakan lukanya.
Tapi, nanti setelah semua pergi, entah.
Aku bergegas membersihkan diri, mengambil wudhu dan sholat Maghrib sebelum waktu habis. Meski kebencianku pada Illahi belum terlalu sembuh. Tapi, di dalam sini masih merasa tak nyaman jika harus meninggalkan kewajiban.
Usai kewajiban aku jalankan. Segera kuambil gamis
dan pashmina senada dari dalam lemari yang sudah lama aku tak mengenakannya. Pas.
Tak lupa kububuhkan sedikit bedak ala kadarnya.
Meskipun aku tak begitu pandai dalam merias wajah, tapi setidaknya aku tak terlalu berbeda dengan ibu-ibu di luar sana yang terlihat rapi dengan dandanan paripurna.
Entah, apa yang ada di pikiran mereka. Mau mengaji atau kondangan.
Perlahan aku membuka pintu, lalu bergegas turun.
Aku memindai ke arah bawah. Kegaduhan yang sebelumnya terjadi karena banyak sekali celoteh anak-anak kini tidak lagi terdengar, mereka tampak tenang.
"Kok bisa?" tanyaku dalam hati.
"Oh dia," gumamku saat kulihat sang dokter duduk bersila di tengah-tengah mereka.
Jemper yang ia kenakan kini sudah berganti sarung hitam, koko cokelat, lengkap dengan peci. Penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat.
Begitu juga dengan sikapnya. Berubah lembut seketika, sangat berbeda saat berhadapan denganku, bak singa yang siap menerkam mangsa ketika sedikit saja mangsa itu menggerakkan mulut entah untuk menjawab pertanyaan atau menyanggah ucapannya.
Saat ini ia bercerita menggunakan boneka lebah yang ada di tangan, sesaat aku terpana dengan caranya berdialog dengan anak-anak. Namun, aku segera membuang muka dan bergegas ke arah dapur saat aku
menangkap manik hitam miliknya juga menatapku.
Selain tak mau terlihat kagum, ada hal yang aku lupakan, melihat menu dan makanan yang akan dihidangkan.
"Bu, ada yang bisa dibantu? Oh, ya, apa uang yang saya berikan untuk membeli semua kebutuhan ada kekurangan?" tanyaku pada Bu Sarah yang saat ini terlihat sibuk menyiapkan berbagai menu.
"Lah, kamu kasih uang sama siapa?" Bukan jawaban namun ia justru balik bertanya.
"Bu RT, kemarin."
"Neneng?!"
"Iya, Bu Neneng." Seraya mengangguk aku berujar.
"Oalah apa-apaan Neneng. Neng!" gerutunya lalu berteriak memanggil Bu Neneng yang saat ini di serambi dapur.
"Neng!" teriaknya semakin tak sabar.
"Iya, Bu." Dengan tergopoh Bu Neneng datang menghampiri kami.
"Kamu terima uang dari Maira? Kapan?" tanya Bu Sarah pada Bu Neneng tanpa basa-basi kemudian dahinya mengerut menatap Bu Neneng.
Aku menyipitkan mata bingung.
"Neng, saya tanya!" bentak Bu Sarah.
"Eh, iya, kemarin, Bu. Waktu saya ke rumah sakit disuruh sama Ibu jenguk Zahra."
"Lah, terus? Kamu kemanakan uangnya? Ini semua kan dari Mas Dokter?!"
Mas Dokter?
"Iya, Bu. Kemarin kan Mas Dokter nggak datang buat ngaji dua hari. Jadi saya pikir hari ini juga nggak dateng..
"Neng! Mau datang atau nggak kan emang uangnya sudah ada sama saya untuk kebutuhan pengajiannya Bu Ayu. Kamu mulai lagi?! Memanfaatkan keadaan?" Nada suara Bu Sarah mulai meninggi. Ia terlihat marah dan aku semakin bingung.
"Ini ada apa, kenapa saya jadi bingung? Apa uangnya kurang tau gimana?" tanyaku sekaligus menengahi. Aku tak mau ada keributan.
"Gini, Mai. Semua biaya dari pemakaman hingga pengajian itu yang mengeluarkan Mas Dokter dan sudah dikasih semua sama saya dari pertama kejadian, karena Mas Dokter sibuk ngurus Zahra juga."
"Mas Dokter? Mas dokter maksudnya?"
"Ya Dokter Sean. Yang nolong Zahra dan Bu Ayu."
Seketika aku tercekat. Menelan ludah dengan susah payah akibat rasa tak percaya.
Dengan percaya diri aku membayar hutang kopi,
makanan, dan kebersihan taksi, tapi nyatanya hutangku tak sebatas kopi dan makanan yang kujatuhkan. Kenyataan macam apa ini.
"Neng Maira. Maaf, Neng, maaf. Uangnya masih ada, kok, tapi...." Bu Neneng memegang tanganku dan berujar dengan wajah ketakutan.
"Nggak genep, awas, lo, kalau ketahuan Pak RT," sergah Bu Sarah memotong perkataan Bu Neneng yang menggantung.
Selama ini, yang kudengar dari beberapa orang memang Bu Neneng suka berhutang. Tapi, aku tak begitu percaya dan aku sendiri tak begitu menghiraukan karena memang tak suka mengurusi orang lain.
"Jangan dong, jangan dikasih tahu suami saya." Bu Neneng dengan wajah penuh permohonan memegang kedua tangan Bu Sarah lalu beralih kembali memegang tanganku.
"Ya udah, nggak usah bahas itu dulu, nggak enak sama yang lain. Kita siapin aja yang perlu disiapin, udah mau isyak," putusku pada akhirnya.
Bersama beberapa ibu-ibu dan juga Bu Sarah. Aku mengemas semua yang sudah tersedia, dari makanan hingga bingkisan. Aku sempat bertanya dalam hati saat kulihat makanan dan bingkisan yang disediakan tergolong mewah. Bahkan, souvenir yang akan diberikan untuk para tamu berupa buku tahlil dan sajadah dengan kualitas cukup tinggi membuatku sangat terkesan.
Rasa haru pun menyusup ke dalam relung jiwa, meskipun Bude pergi tanpa siapa-siapa. Namun, ia diperlakukan istimewa. Siapa dia sebenarnya yang tak segan mengeluarkan banyak dana untuk orang yang baru dikenal?
"Nak Pandu ke mana? Kok, dari pertama kamu ke sini, Ibu nggak lihat," celetuk Bu Sarah di sebelahku, aku terkejut sekaligus terperangah dengan pertanyaan tersebut.
"Mai? Kok, bengong?" panggilnya menggoncang pelan pundakku.
"Mas Pandu. Kami sudah tidak bersama. Kami sudah pisah. Dia menikahi wanita lain di belakang saya dan sekarang sudah mempunyai anak," jawabku jujur, untuk apa ditutupi. Toh, aku sendiri sudah benci dan tak mungkin kembali.
"Apa?!" sentak Bu Sarah dengan mata membulat kaget.
Sebuah ide menarik tiba-tiba muncul di kepala.
Momen seperti ini tidak bisa aku lewatkan. Kekuatan netizen kampung rambutan dalam bersosial media harus dimanfaatkan sedemikian rupa. Agar Viona cepat viral.
Kukeluarkan ponsel dan kucari akun sosial media milik Viona. Lalu aku bercerita sedemikian rupa, bahkan, tak jarang dari mereka meneteskan air mata mendengar cerita yang kubuat berlebihan. Aku pun sama, memasang wajah sesendu mungkin agar terlihat lebih natural, sebagai wanita teraniaya yang suaminya direbut paksa hingga akhirnya disekap dan diperlakukan tidak manusiawi oleh keluarga sang madu. Tak jauh dari cerita drama yang sedang diminati. Cerita kubuat semenyedihkan mungkin, agar mereka terbawa suasana dan emosi.
"Yang sabar, ya, Neng," ujar Bu Sarah seraya mengusap punggungku lembut setelah mengusap sudut matanya yang sedikit basah kala mendengar cerita memilukan dariku.
Aku mengangguk.
"Sudah siap semuanya?!" Dokter Sean datang dari balik pintu. Cepat aku menoleh setelah menghapus air mata palsuku. Ya, kali menangis untuk Pandu dan Viona lagi. Najis.
"Ini kenapa malah pada nangis. Yang pergi jangan ditangisi. Dido'akan!" ujarnya masih di ambang pintu yang menghubungkan dapur dan ruang tengah menasehati kami yang sebagian masih sesenggukan.
"Bu-kan...."
"Iya, maaf kami hanya larut dengan suasana,"
sergahku sebelum Bu Sarah membocorkan masalah rumah tanggaku yang memalukan. Aku sudah cukup malu atau lebih tepatnya dipermalukan dengan semua yang terjadi setiap bertemu dengan Dokter Sean, maka aku tak ingin malu-ku terus bertambah.
"Yasudah, tamu sudah pada datang, anak-anak tolong dibawa ke ruangan lain dulu. Bisa?"
"Oh, iya, Dok." Bu Neneng beranjak dari tempat duduk dan aku mengikuti, sebagai tuan rumah, aku yang akan mengantar ke ruangan tersebut.
"Kecuali Zahra, dia mau ikut berdo'a katanya," katanya begitu aku sampai tepat di sebelahnya. Aku menganggukkan kepala paham, lalu bergegas mengikuti Bu Neneng.
"Tunggu," panggilnya menghentikan langkahku.
"Ya."
"Apa ada yang kurang untuk acara malam ini?"
tanyanya.
"Enggak, semua sudah cukup. Terimakasih."
***
Lantunan ayat suci memenuhi sudut ruangan. Aku dan ibu-ibu berada di ruang tengah sedangkan para lelaki di ruang tamu. Lalu bagaimana dengan Zahra? Ia duduk di pangkuan Dokter Sean dan ikut larut dalam do'a.
Kukira dia tak beragama, tapi nyatanya aku salah. Suara lantunan ayat suci yang keluar dari mulut lelaki yang masih terlihat seperti anak ingusan itu justru yang paling menyita perhatian. Suaranya merdu, makharijul hurufnya pun sudah seperti orang yang begitu fasih dalam membaca Al-Qur'an. Jujur aku terpana melihat kefasihannya dalam melantunkan ayat.
Usai penutupan akhirnya semua berpamitan, kini hanya tinggal dokter Sean yang ditemani Pak RT
berbincang di ruang tamu, tak ketinggalan Zahra yang terus bergelayut di lengan Dokter Sean. Zahra tak mau ditinggal olehnya, aku pun bingung harus bagaimana. Padahal segala bujuk rayu sudah aku keluarkan.
Malam merambat naik, jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan otakku masih berpikir bagaimana caranya membuat Zahra mau berpisah dengan dia.
"Bu Maira." Terdengar suara Dokter Sean memanggil namaku. Aku bergegas menemui.
"Iya, Dokter."
"Bisa saya bicara sama ayahnya Zahra?"
Degh!
Mati.