Sekar Ayu, gadis sederhana lulusan SMK, hidup di bawah naungan paman dan bibinya yang sukses di dunia fashion. Meski tumbuh di lingkungan materialistis, Sekar tetap menjaga kelembutan hati. Hidupnya berubah ketika bertemu Arumi, istri seorang konglomerat, yang menjodohkannya dengan Bayu Pratama, CEO muda dan pewaris perusahaan besar.
Namun, Bayu menyimpan luka mendalam akibat pengkhianatan cinta masa lalu, yang membuatnya membatasi dirinya dari kasih sayang. Pernikahan mereka berjalan tanpa cinta, namun Sekar berusaha menembus tembok hati Bayu dengan kesabaran dan cinta tulus. Seiring waktu, rahasia masa lalu Bayu terungkap, mengancam kebahagiaan mereka. Akankah Sekar mampu menyembuhkan luka Bayu, atau justru masa lalu akan menghancurkan hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Sen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
memilih antara dua
Malam hari di sebuah kafe eksklusif di pusat kota.
Lampu-lampu gantung temaram memantulkan kilau hangat di atas meja marmer. Musik lembut mengalun, samar menutupi ketegangan di antara dua orang yang duduk berhadapan di sudut ruangan.
Bayu duduk tegak, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Jemarinya menggenggam gelas kopi yang sudah lama dingin, sementara matanya menatap Alira dengan tatapan tajam, berusaha membaca setiap gerak bibir dan bahasa tubuh wanita itu.
Alira bersandar santai, mengenakan gaun merah dengan belahan halus di sisi pahanya, terlalu mencolok untuk tempat sesederhana kafe itu. Bibirnya tersenyum, tapi matanya menyimpan ancaman.
“Bayu,” katanya pelan namun tegas, “aku tidak datang ke hidupmu lagi hanya untuk main-main.”
Ia menyilangkan kaki, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
“Aku cuma memberimu dua pilihan. Pertama, kita menikah secara sirih. Diam-diam. Tak perlu semua orang tahu.”
Ia berhenti sejenak, menatap wajah Bayu dengan senyum kecil. “ dan Kedua, jika kamu menolak, aku tunjukkan dan sebarkan video malam itu saat kamu bersamaku. Juga beberapa foto yang bisa dengan mudah menghancurkan reputasimu… dan rumah tanggamu.”
Bayu menatapnya lama. Napasnya berat, rahangnya mengeras.
“Jadi ini tujuanmu dari awal, ya?” suaranya rendah dan serak.
“Semua tentang kekuasaan. Tentang menghancurkan apa pun yang aku punya.”
Alira hanya terkekeh kecil, memutar sendok di cangkir tehnya. “Oh, Bayu... jangan terdengar seperti korban. Bukankah kamu juga menikmati sedikit dari permainan ini? Aku, dari dulu tidak pernah menuntut banyak darimu, hanya kamu mau menerima tawaranku itu saja.”
Bayu mengepalkan tangan di bawah meja. Dalam dadanya, amarah menyalak, ingin sekali menghabisinya, namun ia tahu' semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Bayu ingin melihat Alira tersiksa hidup-hidup, tanpa tangannya harus mengotori.
“Baiklah,” katanya akhirnya, pelan tapi tegas. “Aku akan menuruti keinginanmu. Kita akan menikah… secara sirih.”
Tatapannya tajam menusuk Alira. “Tapi setelah itu, kamu akan berhenti mengancam. Dan aku ingin melihat bayi itu. Kalau memang benar dia anakku, aku mau tahu dengan mata kepalaku sendiri, meski saat itu aku pernah melihatnya, aku belum yakin.”
Senyum di bibir Alira makin lebar, penuh kemenangan.
“Aku tahu kamu akan memilih dengan bijak,” ujarnya lembut, menyentuh punggung tangan Bayu dengan ujung jarinya. “Dan tentu saja… kamu akan melihat anak kita nanti. Tapi malam ini, tenangkan dulu pikiranmu.”
Ia memberi isyarat pada pelayan, lalu memesan dua gelas anggur merah.
Bayu menatap gelas itu dengan curiga, namun demi menyembunyikan kegugupannya, ia tetap meneguknya perlahan.
Rasa pahit anggur itu terasa aneh di lidahnya, sedikit logam, sedikit getir.
Dalam beberapa menit, pandangan Bayu mulai buram. Suara-suara di sekitar kafe mengambang, dan bayangan Alira tampak menari-nari di depannya.
“Alira… apa yang kamu… taruh di sini?” suaranya nyaris tak terdengar.
Alira tersenyum samar. “Tenang saja, sayang. Aku hanya ingin kamu beristirahat di tempat yang lebih nyaman.”
Bayu mencoba berdiri, tapi tubuhnya lemas. Dunia di sekitarnya berputar cepat, dan pandangannya gelap seketika.
Beberapa pria berpakaian hitam datang menghampiri dari arah belakang kafe, anak buah Alira yang dengan cepat menuntun tubuh Bayu keluar lewat pintu belakang.
Alira berdiri, mengambil tasnya, lalu menatap gelas anggur yang masih setengah penuh.
“Maaf, Bayu,” bisiknya dengan senyum penuh kepuasan. “Kamu memang harus jatuh dulu sebelum aku habisi sepenuhnya.”
***
Malam di kediaman Bayu.
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam.
Sekar duduk di ruang tamu dengan wajah cemas, kedua tangannya tak henti meremas ujung daster yang dikenakannya. Ponselnya berulang kali ia lihat, namun tak ada satu pun pesan masuk. Nomor Bayu pun tidak bisa dihubungi sejak sore.
“Mas… kamu di mana, sih?” gumamnya lirih, matanya mulai berkaca-kaca.
Ia berdiri dan berjalan mondar-mandir di depan sofa, lalu menghampiri jendela, berharap mendengar suara mobil Bayu.
Namun halaman tetap sunyi.
Tak tahan, Sekar akhirnya keluar menuju teras. Di sana tampak Joni, sopir Bayu, tengah duduk dengan Pak Tarman, suami Mbok Rini.
“Joni,” Sekar memanggil dengan nada panik, “Mas Bayu belum pulang, ya? Dari tadi teleponnya nggak Aktif.”
Joni yang sedari tadi sudah gelisah, buru-buru berdiri. “Iya, Bu… saya juga heran. Tadi siang Pak Bayu bilang nggak usah dijemput, katanya mau nyetir sendiri, saya tadi pagi di jemput pak Seno, waktu beliau belum sampai di kantor.”
Ia menunduk, suaranya sedikit bergetar. “Mungkin… mungkin beliau masih di luar, Bu.”
Sekar menghela napas panjang, menatap jalan di depan rumah yang gelap.
“Ada apa? Dia jarang seperti ini… biasanya kalau lembur pun pasti kabarin.”
Pak Tarman mencoba menenangkan, “Sudah, Bu Sekar. Mungkin Tuan Bayu cuma ketiduran di kantor. Nanti juga pulang.”
Sekar mengangguk pelan, tapi hatinya tetap tak tenang.
Dalam benaknya, ada rasa takut yang samar entah takut Bayu sakit lagi, atau takut ada sesuatu yang lebih buruk.
***
Sementara di kejauhan, di tempat yang berbeda, Bayu masih tak sadarkan diri di rumah Alira tubuhnya terbaring di ranjang berseprai putih, sementara Alira duduk di sisi ranjang dengan tatapan puas dan licik.
“Sekarang, Bayu,” bisiknya lembut, mengusap rambut pria itu,
“kamu benar-benar milikku lagi…”
....
Pagi hari di rumah Alira.
Cahaya matahari menembus tirai tipis berwarna krem, menyorot lembut ke arah ranjang besar dengan seprai putih yang kusut. Suara samar burung di luar jendela terdengar jauh, bertolak belakang dengan suasana mencekam di dalam kamar itu.
Bayu membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, kepala terasa berat, dan tenggorokannya kering seolah ia baru saja tertidur berhari-hari. Ia berusaha bangun, namun tubuhnya lemas, seperti kehilangan tenaga.
“Di… mana aku?” gumamnya lirih, suaranya serak.
Seketika ia terdiam saat melihat keadaan sekelilingnya, kamar yang asing, terlalu feminin, dengan aroma parfum melati yang menusuk inderanya. Aroma itu sama seperti yang dulu menempel di bajunya malam ia pingsan, aroma Alira.
Bayu segera mencoba duduk, namun tubuhnya kembali ambruk ke atas bantal. Dari arah pintu, terdengar suara langkah pelan.
“Pagi, sayang…”
Suara itu lembut namun menusuk, membawa getar samar di udara.
Alira muncul dengan balutan kimono satin berwarna merah muda, rambutnya terurai lembut, dan senyum puas di bibirnya. Ia membawa nampan berisi segelas air putih dan sepiring kecil roti panggang.
Bayu menatap tajam. “Apa yang kau lakukan padaku, Alira?” suaranya berat, tapi jelas menggambarkan amarah yang ditahan.
Alira hanya terkekeh kecil, meletakkan nampan di meja sisi ranjang. “Tenang saja, aku cuma membuatmu istirahat lebih lama. Kamu butuh itu setelah malam panjang, kan?”
“Malam panjang?” Bayu mengerutkan kening, berusaha mengingat. Kepalanya berdenyut, potongan samar menari di benaknya, cahaya redup, suara tawa Alira, bibir yang menyentuh kulitnya…
Ia memejamkan mata, menahan mual yang datang tiba-tiba.
“Jangan bilang kalau kamu—”
Alira menatapnya dengan ekspresi puas, memotong ucapannya. “Sudah terlambat untuk bertanya, Bayu. Apa pun yang terjadi tadi malam, tidak bisa kamu ubah.”
Ia duduk di tepi ranjang, mendekat perlahan. “Dan… kamu tahu apa artinya itu?”
Bayu memalingkan wajah, rahangnya mengeras. “Aku tidak percaya padamu. Semua ini permainan kotor.”
Alira tersenyum dingin. “Permainan, ya? Tapi permainan yang sekarang kamu tidak bisa hentikan.”
Ia berdiri, lalu berjalan ke arah meja rias, mengambil sebuah ponsel. “Kalau kamu tidak percaya, aku bisa tunjukkan… video semalam. Tapi aku rasa kamu tidak perlu lihat, cukup tahu bahwa semuanya terekam.”
Bayu menatapnya dengan amarah yang hampir meledak.
“Alira! Kamu keterlaluan!”
Alira menoleh dengan senyum tenang, matanya memantulkan dingin dan kuasa.
“Jangan salahkan aku, Bayu. Aku hanya ingin memastikan kamu tetap di sisiku. Kamu sudah berjanji untuk menikah sirih denganku, ingat? Dan setelah semalam… janji itu sudah setengah terpenuhi.”
Bayu mengepalkan tangan, tubuhnya bergetar menahan marah. Ia ingin berteriak, tapi suaranya serak tertahan di tenggorokan.
Dalam hati, ia menjerit, bukan karena ketakutan, tapi karena jijik pada dirinya sendiri yang lagi-lagi terjebak.
“Harusnya aku tidak datang malam itu. Aku bodoh…” batinnya bergema dalam dada.
Alira berjalan mendekat lagi, kali ini lebih pelan, suaranya merendah seperti bisikan.
“Tenang saja, Bayu. Aku tidak akan membuatmu sengsara… selama kamu tetap menuruti keinginanku.”
Ia menyentuh pipi Bayu dengan ujung jarinya, membuat Bayu spontan menepis tangannya.
“Jangan sentuh aku,” ucap Bayu dingin.
Ia memaksa duduk, lalu menatap tajam. “Kau pikir aku akan diam saja? Kau pikir aku akan jadi bonekamu selamanya?”
Alira tersenyum tipis. “Kau akan tetap jadi milikku… sampai aku bosan.”
Bayu terdiam sesaat, menatap lantai, lalu perlahan menarik napas dalam.
“Baik,” katanya lirih namun mantap. “Aku akan menuruti permintaanmu.”
Tatapannya kini datar, tapi di baliknya ada api kecil yang mulai tumbuh.
“Tapi ingat, Alira' tidak ada permainan yang berlangsung selamanya.”
Alira menatapnya heran sejenak, lalu tersenyum samar. “Kita lihat saja, Bayu.”
...
Usai beberpa menit Bayu akhirnya pergi dari rumah Alira menjelang siang. Wajahnya tampak lelah, mata sayu, dan pikirannya penuh amarah yang ia pendam rapat-rapat.
Saat mobilnya melaju meninggalkan halaman rumah Alira, ia menggenggam erat kemudi sambil bergumam pelan, nyaris seperti janji pada dirinya sendiri:
“Aku akan buktikan. Bayi itu bukan anakku. Dan setelah itu, Alira… kau akan kehilangan segalanya.”
...
Sore hari tepatnya setengah tiga di kediaman Bayu.
Suara mesin mobil terdengar berhenti di halaman depan. Dari balik jendela, Sekar yang tengah merasa cemas di ruang tamu menoleh cepat. Ia melihat Bayu keluar dari mobil dengan langkah gontai, wajah pucat, kemeja kusut, dan mata yang tampak kehilangan cahaya.
Sekar buru-buru menghampiri, rasa khawatir langsung memenuhi dadanya.
“Mas… kok pulang siang? Mas sakit lagi, ya?” tanyanya lembut, menahan nada panik.
Bayu tidak menjawab. Ia hanya berjalan lurus menuju pintu rumah, melewati Sekar seolah tak melihat keberadaannya. Gerakannya cepat tapi lemah, seperti seseorang yang sedang berusaha kabur dari pikirannya sendiri.
“Mas, tunggu…!” Sekar mengejar, memegang lengan Bayu pelan.
Bayu spontan menghentikan langkahnya, lalu menoleh tajam.
“Jangan ikuti aku, Sekar!” serunya keras tanpa sadar, nada suaranya memotong udara seperti cambuk.
Sekar tertegun. Matanya berkaca-kaca, menatap suaminya yang jarang, bahkan hampir tak pernah meninggikan suara, meski Sekar nampak seperti tak di anggap istri.
“Mas… aku cuma khawatir. Aku..."
Bayu memalingkan wajah, matanya menunduk penuh sesal tapi juga tekanan. “Maaf,” ucapnya singkat, lalu bergegas menuju kamarnya di lantai dua, masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam.
Sekar tetap mengikuti ia seketika berdiri di depan kamar dengan napas tercekat. Ia hanya bisa menatap pintu kayu yang menutup rapat itu, mencoba menenangkan diri.
“Mas, aku cuma ingin bantu…” suaranya bergetar, namun tak mendapat balasan.
Di dalam kamar.
Bayu berdiri di depan cermin, tubuhnya masih basah keringat. Ia menatap bayangan dirinya sendiri, wajah kusut, mata merah, dan bekas lelah yang tidak hanya berasal dari tubuh.
Ia menyalakan shower, menunduk di bawah guyuran air dingin, mencoba menghapus semua pikiran tentang Alira, tapi suara wanita itu terus berbisik di kepalanya.
“Kau tidak bisa lari, Bayu. Kau sudah terikat padaku…”
Bayu menekan kedua pelipisnya keras-keras, menatap cermin dengan tatapan putus asa.
“Haruskan dengan cara menjijikkan seperti ini, agar aku bisa lepas darimu… agar aku tahu kebenaran tentang bayi itu?” gumamnya pelan tapi penuh kemarahan.
Air terus mengalir, mengguyur wajahnya yang kini menegang antara rasa benci dan penyesalan.
....
Beberapa jam kemudian, menjelang malam.
Bayu keluar dari kamar dengan pakaian bersih. Wajahnya terlihat sedikit lebih tenang, meski matanya masih menyimpan beban berat. Sekar sedang duduk melamun di ruang tamu dengan berpangku tangan di atas bantal sofa, menatapnya ragu saat Bayu melangkah mendekat.
“Sekar…” panggil Bayu dengan suara pelan.
Sekar menoleh cepat, sedikit terkejut. “Iya, Mas?”
Bayu menunduk sejenak lantas duduk di samping sekar, lalu menarik napas panjang. “Aku… maaf. Tadi aku emosi. Aku kecapekan, dan—”
Belum sempat ia lanjutkan, Sekar menggeleng lembut. “Tidak apa-apa, Mas. Aku tahu Mas banyak pikiran. Aku cuma khawatir.”
Bayu menatap wajah lembut istrinya yang polos itu. Dalam hatinya, ada rasa bersalah yang semakin menusuk. Ia tahu, apa pun alasan yang akan ia katakan selanjutnya hanyalah kebohongan lain untuk menutupi kebenaran yang busuk.
“Aku harus pergi ke luar kota besok,” ucap Bayu akhirnya, mencoba terdengar tenang. “Ada project besar yang harus aku tangani langsung. Mungkin… satu minggu.”
Sekar tampak kaget. “Satu minggu? Tapi Mas baru sembuh, dan...”
Bayu tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Aku janji nggak akan maksa diri. Aku cuma… ingin menyelesaikan semuanya cepat.”
Ia memegang tangan Sekar sebentar, genggamannya dingin tapi lembut. “Kamu jangan khawatir, ya. Aku akan kabari setiap hari.”
Sekar menatap matanya, mencari kejujuran di sana, tapi yang ia temukan hanya kelelahan dan bayangan asing yang tak bisa ia mengerti.
“Baiklah, Mas,” katanya pelan, meski nadanya terdengar berat. “Hati-hati, ya. Aku akan doakan semuanya lancar.”
Bayu mengangguk. Ia tersenyum tipis, lalu mencondongkan badannya menunduk untuk mencium kening Sekar, kesekian kalinya yang sangat teramat jarang. Namun di balik senyum itu, pikirannya sudah jauh, menuju satu nama yang kini mengikatnya dalam belenggu beracun: Alira.
“Besok, semuanya dimulai… Pernikahan sirih, dan mungkin, akhir dari semua kebebasanku.”
cantik dan Sekar pun gosip lahh di dengar Arifal dong 😄😄
duhhh semoga pak Hasan selamat yaa biar kasih tau yang sebenarnya sama Bayu gmn hasil Tes DNA itu 🥲🥲
pst perbuatan Pelakor Stress si Alira bikin Pak Hasan kecelakaan 🥲🥲
penasaran dg lanjutannya...
di tunggu updatenya kesayangan kuuu tetap semangat ya Sayyy quuu lanjutkan karya mu 💪💪🥰🥰🤗🤗
ehmmm jgn sampai Sekar jatuh cinta sama Arifal 😄😄
Sekar jgn percaya begitu saja sama Alira dong 🥲🥲 Bayu cuma di jebak 🥲🥲
Alira pelakor stress 😅😅😅
kasihan Sekar semoga Sekar percaya begitu saja sama perkataan Alira 🥲🥲
akhirnya Sekar bakal kerja di toko nya Arifal 😄😄
penasaran sama lanjutannya...
di tunggu updatenya Author kesayangan kuuuu tetap semangat terus yaa Sayyy quuu lanjut kan karya mu 💪💪🥰🥰🤗🤗
penasaran dg lanjutannya..
di tunggu updatenya Author Kesayangan kuuu tetap semangat terus Sayyy 🤗🥰💪💪
semoga nnt Sekar bisa kerja di Toko..
bagus juga Sekar Mandiri 😁😁
penasaran dg lanjutannya...
di tunggu updatenya ya Author kesayangan kuuu tetap semangat terus yaa Sayyy quuu 💪💪🤗🤗🥰🥰
gmn jika nnt Bayu tau yaa 😆😆
penasaran dg lanjutannya...
di tunggu updatenya yaa Author kesayangan kuuu tetap terus semangat ya Sayyy 🥰🤗💪💪🤗
di tunggu updatenya Author kesayangan kuuu Emak Ncingg si Gemoyyy tetap semangat Sayy 🤗🥰💪
penasaran dg lanjut nya gmn yaa nnt jika Bayu tau Sekar kecelakaan?? di tunggu updatenya Author kesayangan kuuu tetap semangat Sayyy 🤗🥰💪