TERBUNGKUS WAKTU Rahasia Suamiku

TERBUNGKUS WAKTU Rahasia Suamiku

Dibalik Senyum pengantin

Gemerincing gamelan berpadu dengan alunan musik lembut mengiringi pesta pernikahan yang digelar di ballroom hotel bintang lima. Lampu kristal berkilau di atas kepala, bunga mawar putih dan lily menghiasi setiap sudut ruangan. Semua mata tertuju pada sepasang pengantin yang duduk di pelaminan—Bayu Pratama dan Sekar Ayu.

Sekar menunduk sedikit, jari-jarinya yang halus menggenggam pelan buket bunga di pangkuannya. Hatinya berdebar kencang, bukan karena bahagia sepenuhnya, tapi karena gugup.

Ia merasa asing di tengah kemewahan yang begitu megah. Gaun putih berkilau yang membalut tubuhnya terasa begitu indah, namun juga berat—seakan menandakan tanggung jawab besar yang baru saja ia sandang.

“Angkat wajahmu sedikit, Sekar. Tamu ingin melihat wajahmu,” bisik Bayu lembut di sampingnya.

Nada suaranya tenang, sopan, tanpa nada perintah. Sekar menatap sekilas ke arah pria itu—gagah, berwibawa, mengenakan jas hitam dengan dasi perak. Senyumnya tampak hangat di depan tamu, namun mata itu… begitu sulit dibaca.

Sekar memaksa tersenyum.

Ia tahu, semua orang di ruangan itu menilai, menebak-nebak siapa dirinya—gadis biasa yang tiba-tiba menjadi istri seorang CEO muda ternama.

Beberapa tamu bahkan berbisik pelan, menatap dari jauh. Tapi Sekar hanya diam, menunduk, menahan degup yang seolah berpacu dengan musik.

Ibu Arumi tampak bahagia di kursinya, sesekali menatap menantu barunya dengan senyum penuh kebanggaan.

Bayu menggenggam tangan Sekar pelan, hanya sekilas—gerakan kecil yang seolah menenangkan.

“Aku tahu kamu gugup,” ucapnya lirih tanpa menoleh.

Sekar mengangguk pelan. “Sedikit, Mas.”

Bayu tersenyum tipis. “Tenang saja. Setelah ini, semuanya akan baik-baik saja.”

Namun entah kenapa, kata-kata itu justru membuat Sekar merasa sesak. Ia tak tahu apa arti “baik-baik saja” bagi Bayu—apakah itu tentang mereka, atau hanya tentang kewajiban di mata keluarga.

---

Malam itu, setelah pesta usai dan tamu terakhir pamit, Sekar melangkah pelan ke kamar pengantin yang luas dan wangi bunga segar.

Gaun putih sudah berganti menjadi piyama sutra yang dipilihkan oleh ibu Arumi sendiri. Di cermin besar, wajahnya tampak lelah namun tetap anggun.

Ketika pintu kamar terbuka, Bayu masuk dengan langkah tenang. Jas hitamnya kini berganti kemeja santai berwarna abu.

Ia menatap Sekar sejenak, lalu tersenyum tipis.

“Sudah capek ya?”

Sekar menunduk malu. “Lumayan… hari ini panjang sekali.”

Bayu mengangguk, mengambil segelas air dan meletakkannya di meja samping tempat tidur.

“Minum dulu, lalu istirahat. Aku tahu kamu butuh waktu menyesuaikan diri.”

Sekar menatapnya, bingung, gugup, dan… sedikit lega. Ia sempat membayangkan malam itu akan canggung, mungkin menakutkan. Tapi Bayu tak menunjukkan tanda-tanda ingin mendekatinya lebih jauh.

Ia hanya duduk di kursi dekat jendela, memandang langit malam.

“Sekar,” ucapnya pelan, “kita sudah menikah. Tapi aku ingin kamu tahu… aku tidak akan memaksamu untuk apa pun. Aku ingin kamu nyaman lebih dulu.”

Kata-kata itu membuat dada Sekar hangat. Ada ketulusan di sana, meski terselip jarak yang tak ia mengerti.

“Terima kasih, Mas,” jawabnya lirih.

Bayu tersenyum kecil. “Tidurlah. Aku akan kerja sebentar di ruang sebelah.”

Ia berdiri, berjalan pelan menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh sebentar—tatapan teduhnya menembus lembut ke arah Sekar.

“Selamat malam, istriku.”

Sekar hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh.

Entah kenapa, panggilan itu terasa hangat sekaligus menyakitkan.

Ada sesuatu dalam nada suaranya—bukan kebencian, tapi seolah menyimpan rahasia yang tak ingin ia ungkapkan.

Dan malam pertama itu pun berlalu… tanpa sentuhan, tapi penuh perhatian.

Di mata orang tua mereka, keduanya tampak seperti pasangan bahagia. Namun hanya Sekar dan Bayu yang tahu—ada jarak halus di antara mereka, jarak yang mungkin hanya waktu yang bisa menjembatani.

....

Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, menebar rona lembut ke dalam kamar besar yang kini menjadi tempat tinggal Sekar dan Bayu.

Sekar terbangun perlahan, mendengar derit halus dari pintu kamar mandi. Bayu keluar dengan kemeja putih yang sudah rapi, rambutnya sedikit basah, aroma sabun dan parfum khasnya memenuhi udara.

Ia tersenyum kecil saat melihat Sekar yang masih setengah sadar di tepi ranjang.

“Selamat pagi, Sekar.”

Suara itu lembut, hangat, dan membuat Sekar refleks menegakkan duduknya.

“P-pagi, Mas...” jawabnya pelan, gugup tapi tak bisa menyembunyikan senyumnya.

Bayu mendekat, lalu dengan gerakan ringan, ia menyentuh bahu Sekar—sekilas, tapi cukup membuat jantung Sekar berdegup lebih cepat.

“Jangan buru-buru. Sarapan masih lama. Ibu pasti belum turun,” ucapnya sambil melangkah menuju meja kecil di dekat jendela, mengambil jam tangan dan ponselnya.

Sekar hanya mengangguk.

Ada sesuatu dalam setiap gerak Bayu—tenang, berwibawa, namun tidak berjarak seperti beberapa hari lalu.

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Sekar merasa keberadaannya di kamar itu tidak sepenuhnya asing lagi.

---

Ruang makan keluarga Pratama terlihat megah namun hangat.

Meja panjang dengan taplak krem lembut, peralatan makan berlapis perak, dan aroma kopi memenuhi udara.

Ibu Arumi duduk di ujung meja, tampak anggun dengan balutan kebaya modern. Di sisi lain, duduk Rama, kakak Bayu, bersama istrinya Tania yang selalu ceria dan gemar menggoda.

“Wah, akhirnya pengantin baru turun bareng juga!” goda Tania dengan tawa kecil.

Sekar tersipu, sementara Bayu hanya tersenyum tanpa membalas.

“Dulu waktu aku baru nikah sama Rama, kami juga malu-malu gitu,” lanjut Tania sambil menatap Sekar dengan tatapan jahil.

“Iya, tapi kamu sekarang malah kebanyakan bicara,” sahut Rama sambil tersenyum geli.

Tawa kecil pun memenuhi ruangan, mencairkan suasana.

Sekar ikut tersenyum, meski pipinya memerah. Bayu menoleh sebentar, lalu menatapnya sekilas dengan sorot lembut.

“Kamu suka roti atau nasi pagi ini?” tanyanya pelan, membuat Ibu Arumi yang mendengar ikut tersenyum puas.

“Roti saja, Mas,” jawab Sekar lirih.

“Baik,” ucap Bayu, lalu memotongkan roti dan menaruhnya di piring Sekar.

Sebuah gestur kecil, tapi membuat jantung Sekar berdetak lebih cepat.

Untuk pertama kalinya, di hadapan keluarga, mereka tampak seperti pasangan yang benar-benar saling mengenal.

---

Sore hari, rumah besar itu kembali hening. Angin lembut berhembus dari arah taman, membawa aroma bunga kamboja yang jatuh di sekitar kolam renang.

Sekar baru saja selesai membantu pelayan dapur menyiapkan camilan sore untuk ibu Arumi, ketika matanya menangkap sosok Bayu di tepi kolam.

Ia duduk sendiri di kursi kayu panjang, memandangi air yang berkilau diterpa cahaya senja.

Wajahnya tenang, tapi tatapannya kosong—seperti sedang berbicara dengan masa lalu yang tak terlihat.

Sekar ragu sejenak, lalu melangkah pelan mendekatinya.

“Mas, boleh saya duduk di sini?” tanyanya hati-hati.

Bayu menoleh, sedikit terkejut, tapi kemudian tersenyum hangat.

“Tentu boleh. Duduklah.”

Sekar duduk di sampingnya, menjaga jarak sopan. Hening sejenak, hanya suara gemericik air yang terdengar.

Bayu menatap langit sore yang mulai jingga.

“Kamu cepat menyesuaikan diri,” katanya tanpa menoleh.

Sekar tersenyum samar. “Saya hanya berusaha agar semua nyaman, Mas. Saya tidak ingin Ibu merasa salah menjodohkan kita.”

Bayu menatapnya kini, dalam dan tenang.

“Kamu tidak perlu berusaha keras, Sekar. Ibu menyukaimu bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu tulus. Itu sudah cukup.”

Sekar menunduk, matanya terasa hangat mendengar kalimat itu.

“Terima kasih, Mas…”

Bayu tersenyum, lalu bersandar santai di kursinya.

“Mungkin aku tidak banyak bicara, tapi aku suka kalau kamu di sini. Rumah ini terasa lebih hidup.”

Sekar menatapnya pelan, dan tanpa sadar tersenyum kecil.

Sore itu, di bawah langit yang memerah, keheningan mereka bukan lagi canggung—melainkan hangat.

Mereka berbagi diam yang nyaman, seolah ada sesuatu yang perlahan tumbuh di antara dua hati yang dulu terpisah jarak.

Bayu memejamkan mata sebentar, membiarkan angin sore menyentuh wajahnya.

Sekar diam-diam memperhatikannya.

Dalam hati kecilnya, ia berdoa… semoga perlahan, ia bisa menjadi cahaya kecil yang menghangatkan hati suaminya yang dingin.

Dan senja pun menutup hari itu—dengan tenang, namun menjanjikan awal yang baru bagi cinta yang mulai bersemi.

Terpopuler

Comments

ginevra

ginevra

aku dah mampir thor ...

2025-10-25

1

ginevra

ginevra

baik banget sumpah

2025-10-25

1

ginevra

ginevra

Bayu green flag banget

2025-10-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!