di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Valerian mengulurkan tangannya seketika, dan dalam sekejap ia berteleportasi ke Istana Utara. Alaric, yang sedang bersiap untuk tugasnya, melihat pangerannya muncul di depan matanya.
“Anda tidak apa-apa, Pangeran? Ada yang terluka?” tanya Alaric dengan panik, segera menghampiri Valerian.
Valerian menepuk bahu pelayannya dengan lembut. “Aku tidak apa-apa. Oh ya, Alaric, tolong siapkan aku makanan. Rasanya aku lapar setelah menghabiskan banyak pikiran.”
Alaric tertawa pelan mendengar ucapan Pangeran. “Baiklah, saya akan menyiapkan makanan untuk Anda,” jawabnya sambil tersenyum.
Valerian menganggukkan kepala, lalu melangkah ke kamarnya. Sementara itu, Alaric segera pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Valerian membaringkan tubuhnya di kasur, menarik napas panjang.
“Memang kasur ini yang paling nyaman,” ujarnya pelan sambil menutup mata, membiarkan pikirannya melayang sejenak menenangkan diri.
Sementara itu, di Istana Pusat, Putra Mahkota Kael dan Raja sedang berbicara serius di ruang pribadi. Masalah Pangeran Ketiga yang tiba-tiba muncul di rapat negara membuat para bangsawan bergosip dan membuat posisi Kael terancam.
“Ayah, kita tidak bisa membiarkan anak itu lebih lama lagi! Posisi ku sebagai Putra Mahkota bisa terancam,” tegas Kael, matanya menyala amarah.
Raja memijit pangkal hidungnya, jelas lelah dan pusing karena masalah politik yang bertubi-tubi, ditambah lagi Duke Ravion yang baru saja meminta agar Valerian dipindahkan ke Istana Phoniks—istana peninggalan Ratu Serephina.
“Ia datang ke rapat negara dan… mengacaukannya,” ujar Ratu Diana yang baru saja masuk ke ruangan. Raja dan Kael menatapnya tajam.
“Ibu! Aku tidak mau posisi ku sebagai Putra Mahkota terancam hanya gara-gara anak itu,” Kael protes, suaranya tegang.
Ratu Diana duduk di samping Raja, menatap Putra Mahkota dengan penuh kepedihan dan tipu muslihat. “Sayang, seharusnya dulu kita juga membunuhnya bersama jalang itu. Sekarang dia muncul, dan para pendukungmu mulai berpaling darimu.”
Ratu Diana dulunya hanyalah seorang selir. Karena Raja menikah dengan Ratu Serephina terlebih dahulu dan mereka belum dikaruniai anak, Diana lebih dulu hamil dan melahirkan seorang putra. Posisi Putra Mahkota tidak bisa diberikan kepada anak Ratu Diana karena statusnya sebagai selir. Baru setelah Ratu Serephina melahirkan Valerian, putra mahkota yang sah, Ratu Diana mulai merencanakan pembunuhan terhadap Serephina karena rasa iri.
Valerian, yang baru berusia 7 tahun, tidak mampu berbuat apa-apa. Raja memutuskan untuk mengasingkannya ke Istana Utara—tempat pembuangan bagi bangsawan tersisih—dan posisi putra mahkota pun diberikan kepada Kael. Sementara itu, Selir Diana diangkat menjadi Ratu, mengamankan posisinya dan anaknya.
####
Beberapa saat kemudian, Alaric masuk ke kamar Valerian sambil membawa nampan berisi makanan hangat. Aroma sup dan roti panggang langsung menyebar di ruangan, membuat Valerian tersenyum tipis.
“Ini makanan untuk Yang Mulia Pangeran,” ucap Alaric sambil menunduk hormat, meletakkan nampan di meja kecil di samping kasur.
Valerian menatap Alaric dengan mata emasnya yang lembut. “Alaric… ikutlah makan denganku. Aku ingin makan bersama.”
Alaric terkejut sejenak. “Maaf, Yang Mulia… tapi saya rasa… saya tidak bisa. Saya hanya pelayan, saya tidak pantas…”
Valerian menggeleng pelan, menyibakkan selimut dan menunjuk kursi di sampingnya. “Aku tidak peduli soal itu. Aku memintamu ikut makan, dan aku ingin kau di sini. Jangan menolak.”
Alaric menatap pangerannya dengan ragu, lalu tersenyum gugup. “Yang Mulia… jika itu yang Pangeran inginkan, saya… akan mencoba,” jawabnya akhirnya.
Valerian tersenyum tipis, menganggukkan kepala. “Bagus. Jangan malu. Duduklah di sini. Kita akan makan bersama.”
Alaric perlahan duduk di kursi, mengambil satu porsi sup dan roti. Valerian memandangnya sejenak, lalu mulai mengambil sendok, menatap Alaric dengan tatapan hangat.
“Rasanya… sup ini sangat enak,” ujar Valerian, menyeruput sup perlahan.
Alaric tersenyum malu. “Saya senang Yang Mulia menyukainya… saya memang menyiapkannya sendiri.”
Valerian mencondongkan tubuh sedikit ke arah Alaric, mata emasnya menatap dengan penuh perhatian. “Alaric… kau selalu ada untukku. Aku ingin kau di sisiku, bukan hanya sebagai pelayan, tapi sebagai teman saat aku… merasa lelah atau bingung.”
Alaric terdiam sejenak, terharu mendengar ucapan pangerannya. “Saya… saya akan selalu ada untuk Yang Mulia, Pangeran,” jawabnya mantap.
Valerian tersenyum puas, lalu menatap piringnya lagi. Momen sederhana itu—makan bersama Alaric—memberikan rasa hangat dan sedikit ketenangan di tengah segala masalah dan intrik yang membayangi hidupnya.
Setelah selesai makan, Valerian memutuskan untuk berjalan-jalan di taman Istana Utara, ditemani Alaric. Angin sore berhembus lembut, aroma bunga dan rerumputan memenuhi udara, membuat suasana sedikit tenang meski Istana Utara dikenal sepi dan jauh dari hiruk-pikuk Istana Pusat.
Valerian duduk di bangku batu, menatap langit sore dengan mata emasnya yang bersinar lembut. Alaric duduk di sampingnya, menatap pangeran dengan penuh perhatian.
“Pangeran… sepertinya hari ini sedikit tenang, ya?” ujar Alaric sambil tersenyum, meski matanya tetap waspada.
Valerian tersenyum tipis, menepuk bahu Alaric. “Iya… tapi tenang sebentar saja. Dunia di luar sini penuh intrik, Alaric. Kita harus selalu siap.”
Tiba-tiba, langkah berat terdengar di jalan setapak. Sebuah bayangan muncul di depan mereka—pengawal Raja, berpakaian resmi dan membawa gulungan surat yang tertata rapi. Ia membungkuk hormat.
“Yang Mulia Pangeran Valerian… surat perintah dari Raja,” ucapnya, menyerahkan gulungan surat itu kepada Valerian.
Valerian menerima surat itu dengan tenang, membuka segel dengan satu gerakan cepat. Ia membaca perintah itu dengan seksama. Raja memerintahkan Valerian untuk segera pindah ke Istana Phoniks, sesuai arahan Duke Ravion.
Valerian menatap gulungan surat itu sejenak, lalu tersenyum miring. Tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa semuanya sudah sesuai dengan rencananya.
Alaric, yang berdiri di sampingnya, memperhatikan ekspresi pangeran dan bertanya dengan hati-hati, “Pangeran… apakah… ini baik-baik saja?”
Valerian menatap Alaric dengan mata emasnya, senyum tipis di bibirnya, penuh misteri. “Tenang saja, Alaric. Semuanya berjalan sesuai rencana. Aku hanya perlu sedikit waktu dan… kesempatan yang tepat.”
Alaric mengangguk, meski masih sedikit khawatir. Ia belum sepenuhnya memahami rencana pangerannya, tapi percaya bahwa Valerian—meski baru berusia tujuh tahun—selalu memiliki maksud di balik setiap langkahnya.
Valerian menutup mata sejenak, membiarkan angin sore menyapu wajahnya, sambil menyusun langkah-langkah berikutnya. Istana Phoniks adalah langkah selanjutnya—tempat di mana ia bisa membangun aliansi, menguatkan posisinya, dan mulai merebut kembali apa yang seharusnya menjadi haknya.
Begitu surat perintah dari Raja diserahkan oleh pengawal, Valerian langsung menatap Alaric dengan mata emasnya yang tajam.
“Alaric… kita harus segera pindah ke Istana Phoniks,” ucapnya tenang, namun tegas.
Alaric menelan ludah sejenak, lalu membungkuk hormat. “Baik, Yang Mulia. Saya akan menyiapkan semuanya segera.”
Tanpa membuang waktu, Valerian mulai mengemas barang-barang pribadinya—buku catatan, gulungan strategi, dan beberapa peralatan latihan kecil yang selalu ia bawa. Alaric memeriksa semua perlengkapan, memastikan tidak ada yang tertinggal, sambil memperhatikan pangeran yang tetap tenang meski usianya baru tujuh tahun.
“Pangeran… apakah anda yakin siap meninggalkan Istana Utara sekarang juga?” tanya Alaric, sedikit khawatir.
Valerian tersenyum tipis, matanya bersinar penuh tekad. “Iya, Alaric. Waktunya bergerak ke arena yang lebih besar. Istana Utara hanyalah tempat persinggahan… tempat aku menenangkan pikiran. Tapi di Istana Phoniks, aku akan mulai membangun kekuatanku—diam-diam, tapi pasti.”
Alaric mengangguk mantap. “Saya mengerti, Pangeran. Kita akan melakukan ini bersama.”
Mereka segera berangkat, meninggalkan Istana Utara. Dalam perjalanan, Valerian terus memikirkan langkah-langkahnya: siapa yang bisa menjadi sekutu, siapa yang harus diwaspadai, dan strategi untuk memperkuat posisinya.
Sesampainya di Istana Phoniks, Valerian menatap lingkungan barunya—bangunan megah, ruang-ruang rapat luas, dan taman yang indah. Ia tersenyum tipis, menyadari di sinilah kekuatannya akan mulai terbentuk.
“Alaric,” ucapnya pelan, “di sinilah kita akan memulai babak baru. Kita akan mengamati, memilih sekutu, dan perlahan membangun pengaruh. Tidak ada yang akan menyadari apa yang sedang kita rencanakan… sampai waktunya tiba.”
Alaric mengangguk setia. Bersama-sama, mereka mulai menata ruang kerja Valerian, menyiapkan buku-buku strategi, dan merancang langkah-langkah awal untuk membangun kekuatan politik dan pengaruhnya di Istana Phoniks.
Valerian menatap keluar jendela, mata emasnya berkilau. Dunia baru ini penuh peluang, dan setiap langkahnya akan dihitung dengan cermat—tanpa ada kesalahan sedikit pun.