Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BABAK I: MASA DAMAI YANG TERLALU MUDA ADIEGAN 5: RITUAL PAGI MENUJU
Setelah sarapan nasi goreng yang lezat dan ritual mandi yang hangat, kini tiba saatnya Reza bersiap untuk dunia luar: sekolah. Di rumah itu, segala sesuatu bergerak dengan ritme yang pasti, diciptakan oleh Nawangsih demi memberikan stabilitas pada kehidupan Reza.
Nawangsih (yang penampilannya masih menipu usia) berdiri di ambang pintu kamar, mengawasi Reza yang sedang mengenakan seragam taman kanak-kanak (TK). Seragam putih-merah itu tampak pas di tubuh mungil Reza. Nawangsih mendekat, merapikan kerah baju yang sedikit miring, lalu mengancingkan kancing paling atas yang selalu luput dari perhatian Reza.
"Nah, begitu baru anak Mama. Rapi sekali, seperti pangeran kecil," pujinya, sambil menyisir rambut Reza yang masih agak basah dengan jari-jarinya.
Reza, yang berdiri tegak seperti sedang baris, tersenyum bangga. Ia mengambil tas ransel bergambar superhero kesukaannya yang sudah disiapkan Nawangsih di kursi belajar. Di dalam tas itu, terdapat buku, pensil warna, dan kotak bekal yang wangi, berisi sandwich dan buah potong yang disiapkan penuh cinta oleh ibunya.
Ritual sebelum berangkat harus dilakukan. Reza berjalan menghampiri Nawangsih yang kini berdiri di ambang pintu utama, siap mengantarnya. Ia berhenti, membungkuk sedikit, dan mencium punggung tangan Nawangsih dengan hormat—sebuah kebiasaan yang diajarkan ibunya sejak ia bisa berjalan.
"Reza pamit ya, Ma," ucapnya tulus.
"Iya, Nak. Belajar yang rajin, ya. Dengarkan Bu Guru," balas Nawangsih, lalu mencium puncak kepala Reza dengan kasih sayang yang melimpah.
Setelah ciuman dan doa singkat, Reza menegakkan tubuh. Saat itulah, ia menjalankan bagian terpenting dari ritual pagi seorang anak TK: meminta ongkos jajan.
"Ma, ongkos?" Reza menengadahkan tangan kecilnya yang bersih.
Nawangsih tersenyum lagi. Ia selalu menyiapkan uang jajan itu di saku celemeknya. Ia mengeluarkan selembar uang pecahan kecil, yang nilainya cukup untuk membeli beberapa kue atau permen di kantin sekolah. Nawangsih memastikan ia tidak memberikan terlalu banyak, agar Reza tidak berlebihan dalam jajan.
"Ini. Ingat ya, jangan beli permen yang warnanya terlalu mencolok. Cari yang sehat," pesan Nawangsih, sambil menyelipkan uang itu ke genggaman Reza.
"Siap, Bu Komandan!" Reza tertawa gembira.
Reza berbalik, membuka gerbang kecil, dan mulai berjalan menyusuri jalanan kompleks perumahan. Ia berjalan dengan langkah riang, sesekali melompat kecil, menikmati bekal cinta dari ibunya. Nawangsih berdiri di ambang pintu, menatap punggung putranya hingga ia berbelok di tikungan, menghilang dari pandangan. Ia baru menutup pintu ketika bayangan Reza benar-benar tidak terlihat lagi—sebuah kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan, sebagai bentuk perlindungan tak terlihat bagi putranya.
Langkah Kaki Menuju Ilmu
Reza menyusuri trotoar yang tidak terlalu ramai. Matanya yang polos mengamati lingkungan sekitar. Ia menikmati momen ini, momen kemandirian singkat sebelum kembali bertemu ibunya di siang hari. Uang di sakunya terasa hangat, dan janji untuk membeli jajan sehat—walau godaan permen sangat besar—masih kuat di benaknya.
Tak lama, ia tiba di gerbang sekolahnya, TK "Cahaya Ilmu." Sekolah itu dipenuhi suara riuh anak-anak dan sapaan ramah dari guru piket. Reza segera bergabung dengan teman-temannya.
Di dalam kelas, suasana terasa ramai. Ada puluhan anak lain, tetapi Reza tetap fokus. Ia meletakkan tasnya, mengeluarkan buku dan alat tulis. Saat jam pelajaran dimulai, Reza duduk dengan tegak di bangkunya. Ia memperhatikan Bu Guru yang sedang menulis di papan tulis.
Reza bukanlah anak paling pintar, tetapi ia adalah anak yang tekun. Ketekunan itu datang dari satu motivasi utama: membahagiakan Mamanya. Ia ingat janji yang ia buat saat sarapan: menjadi Nahkoda sukses agar Mamanya tidak perlu lelah bekerja lagi. Dan untuk menjadi Nahkoda, ia harus pintar.
Saat pelajaran mewarnai dimulai, Reza fokus pada kotak pensil warnanya. Ia memilih warna dengan hati-hati, memastikan ia tidak keluar dari garis. Saat Bu Guru memberikan instruksi untuk menggambar rumah impian, Reza segera mengambil kertas dan pensil.
Reza menggambar rumah yang besar, berlantai dua, dengan halaman luas. Di halaman itu, ada sepeda roda tiga, dan di jendela, ia menggambar dua sosok: dirinya yang gagah berani, dan Mama cantiknya yang tersenyum. Di bagian atap rumah, Reza menambahkan bendera kecil yang bertuliskan: "Rumah Nahkoda Reza dan Mama Nawangsih."
Ketekunan Reza dalam belajar dan menggambar adalah cerminan dari cinta yang ia terima di rumah. Dalam benaknya, dunia sangat sederhana: ia mencintai Mamanya, Mamanya mencintainya, dan ia harus rajin agar cinta itu tetap utuh.
Sepanjang hari, Reza belajar, bermain, dan mendengarkan. Ia melahap bekal yang disiapkan ibunya saat jam istirahat. Setiap gigitan sandwich terasa istimewa, mengingatkannya pada aroma lembut dapur dan senyum Nawangsih. Saat ia menghabiskan jajan yang dibeli dengan uang pemberian ibunya, ia merasa terlindungi dan dicintai.
Siang hari tiba. Bel berbunyi, menandakan akhir pelajaran. Reza merapikan tasnya, menyimpan pensil warna yang baru saja ia gunakan, dan bergegas ke gerbang sekolah.
Ia tahu, di sana, Nawangsih sudah menunggunya—sosok yang terlalu muda, terlalu cantik, terlalu baik untuk menjadi ibunya, namun bagi Reza, ia adalah seluruh dunia. Nawangsih-lah cinta pertama, cinta abadi, dan obsesi terbesar dalam hidupnya.
Reza tidak tahu bahwa hari-hari damai ini, di mana cinta mereka begitu murni, adalah fondasi rapuh bagi tragedi yang akan datang.